Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di Pemilu

Haknya diatur dalam undang-undang

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur#MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Jakarta, IDN Times - Hak bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) untuk menjadi peserta pemilu kini masih menjadi perdebatan bagi sejumlah pihak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan ODGJ memiliki hak yang sama menjadi peserta pemilu lainnya.

Pada Maret lalu, KPU menyatakan akan memfasilitasi seluruh masyarakat untuk dapat menjalankan haknya pada Pemilu 2019. Dalam penjelasan itersebut, KPU menyebutkan hal yang sama diberlakukan bagi mereka yang mengalami orang dengan gangguan kejiwaan.

Baca Juga: Ma’ruf Amin Mendapat Dukungan dari Komunitas Disabilitas

1. ODGJ berhak menjadi peserta pesta demokrasi

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas, bahwa penyandang disabilitas mental atau ODGJ juga merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang harus dilindungi hak-haknya.

Hak yang dimaksud termasuk juga hak menjadi peserta pesta demokrasi atau pemilu. Kelompok ODGJ menjadi salah satu kelompok yang diakui secara sah menjadi pemilih dalam pemilu.

2. Hak ODGJ jadi peserta pemilu sudah diperjuangkan sejak lama

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Perjuangan agar ODGJ mendapat haknya sebagai pemilih telah dimulai sejak lama. Hal ini disampaikan Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti.

“KPU mendaftar orang gangguan jiwa adalah sebagai pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental yang sudah diperjuangkan sejak lama dan bertahun-tahun,” kata Yeni di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Sabtu (24/11) seperti dikutip dari hukumonline.com.

3. Hak politik ODGJ jadi salah satu HAM yang mereka punya

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Pada 2014, KPU RI sudah mulai mendaftarkan ODGJ sebagai pemilih dalam Pemilu 2014. Berdasarkan surat Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, KPU melakukan pendaftaran pemilih dengan gangguan jiwa menjadi bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi semua warga negara.

ODGJ juga memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya. Dalam hal ini diartikan, mereka berhak terdaftar dan dilindungi hak politiknya sebagai pemilih yang juga merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mereka punya.

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluIDN Times/Sukma Shakti

4. Ada syarat yang harus dipenuhi ODGJ

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Pada Maret 2018, Komisioner KPU Ilham Saputra menjelaskan berdasarkan putusan perkara Mahkamah Konstitusi (MK), ODGJ dapat memperoleh hak memilih pada pemilu. Hak ini diperoleh selama orang tersebut tidak mengidap gangguan jiwa permanen.

Namun, kata Ilham, jika penderita tidak dapat membedakan partai politik, maka secara otomatis hak pilihnya akan dianggap gugur. “Jadi kriteria yang tidak berhak memilih adalah diberi surat bahwa yang bersangkutan tidak memilih karena kadar atau level disabilitas mentalnya itu tidak memungkinkan dia untuk memilih,” kata dia.

“Misalnya dia tidak bisa membedakan mana partai, mana calon dan sebagainya, itu tidak bisa memilih,” Ilham melanjutkan.

5. Hak memilih ODGJ diatur resmi secara yuridis

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Secara yuridis, hak orang dengan gangguan jiwa diakui sebagai pemilih juga telah diatur. Sejumlah pasal dan undang-undang mengatur tentang hal tersebut.

Mulai dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Ada pula Pasal 5 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan, penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan mempunyai kesempatan yang sama sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, calong anggota DPD, dan sebagainya.

Hal ini juga dilindungi alam UU Penyandang Disabilitas, utamanya di Pasal 75 ayat (1). Juga pada Pasal 77. Pada Pasal 148 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 dijelaskan bahwa penderita skizofrenia, bipolar, atau depresi beat tidak otomatis kehilangan kapasitas untuk menentukan pilihannya di pemilu.

6. Hak pilih ODGJ merupakan hak yang tidak bisa dilarang siapapun

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Agus Setiawan

Anggota DPRD dari Kalimantan Tengah berharap masuknya nama orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ke dalam daftar pemilih tetap, tidak perlu dipermasalahkan. 

"Apakah nantinya orang dengan gangguan kejiwaan tersebut ikut atau tidak ikut memilih saat pemilihan umum, itu merupakan hak yang tidak bisa dilarang siapapun," kata anggota DPRD Kalimantan Tengah Sriosako, di Palangka Raya, dilansir Antara, Jumat (23/11). 

"Orang yang sehat dan terdaftar di DPT saja, ada dan bisa tidak menggunakan hak pilihnya. Kenapa orang dengan gangguan kejiwaan punya hak pilih dipermasalahkan. Digunakan atau tidak hak pilih itu, ya hak dia," lanjut dia. 

Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Kalimantan Tengah itu menyayangkan ada pihak-pihak yang mempermasalahkan hak pilih orang dengan gangguan jiwa. Sebab, sepanjang masih penduduk Indonesia, mereka memiliki hak sama seperti yang sehat. 

Ia mengatakan, negara bahkan memiliki kewajiban membantu menyembuhkan orang dengan gangguan kejiwaan. Langkah yang dapat dilakukan dengan menggratiskan para penyandang gangguan jiwa berobat ke mana saja. 

"Kami pernah menyampaikan keinginan kepada pemerintah daerah agar orang gangguan kejiwaan terdaftar di BPJS Kesehatan," kata Sriosako. 

Menurut anggota Komisi A DPRD Kalimantan Tengah itu, tak ada seorang pun yang ingin menjadi penyandang gangguan jiwa. Kendati, seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan masih berpeluang disembuhkan. 

"Itulah kenapa negara juga perlu hadir dalam membantu penyandang gangguan kejiwaan dalam berobat. Apalagi kalau hanya masalah masuk DPT, ya harus terdaftar mereka. Itu hak yang harus diberikan negara," kata dia. 

7. ODGJ perlu diberikan edukasi pemilu

Ketika Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Dipertanyakan di PemiluANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas (KNOD) menyatakan penyandang disabilitas mental perlu diberikan pengetahuan mengenai pelaksanaan pemilu, sehingga kelak mereka bisa menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya. 

Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas Ariani Soekanwo yang juga anggota KNOD, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (24/11) lalu menyampaikan apresiasinya kepada KPU RI yang turut mendaftarkan penyandang gangguan jiwa sebagai pemilih pada Pemilu 2019. 

Kendati, menurut Ariani, KPU perlu menyediakan sejumlah dukungan tambahan bagi penyandang gangguan jiwa guna menjamin hak politik mereka. Di antaranya sosialisasi dan edukasi mengenai hak politik, pengetahuan mengenai kepemiluan, serta dukungan psikologis dan sosial. 

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti mengatakan secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan berpikir. 

"Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan," tutur Yeni.   

Yeni menjelaskan penyandang disabilitas mental dengan gangguan kemampuan berpikir yang berat, bisa jadi mempengaruhi kemampuan kapasitasnya. Tetapi fungsi otak untuk berfikir tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan. 

"Umumnya gangguan pada penyandang disabilitas mental bersifat kambuhan. Jika periode kambuhan terjadi di hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan,tentu tidak mungkin memaksakannya datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya," kata dia. 

Namun, kata Yeni, di luar periode kambuhnya gangguan berpikir itu, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam pemilu. 

Terkait hal itu, Wakil Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Mahmud Fasa, yang tergabung dalam KNOD, mendorong KPU berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah agar memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan para penyandang gangguan mental, sehingga dapat memanfaatkan hak politik mereka dengan baik dan benar. 

KNOD juga meminta KPU melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu lainnya untuk mendukung hak politik penyandang disabilitas mental. 

Baca Juga: Penderita Gangguan Jiwa di Bali Bisa Ikut Coblos Lho, ini Syaratnya

Topik:

  • Rochmanudin
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya