Masyarakat Harus Dilibatkan saat Negara Bahas Protokol New Normal 

Sebab, masyarakat yang langsung berhadapan dengan risiko itu

Jakarta, IDN Times - Pembahasan mengenai new normal atau normal baru yang disebut akan diterapkan Pemerintah Indonesia masih terus menjadi perbincangan. Sosiolog bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir, ikut angkat bicara.

"Menurut saya, penggunaan istilah new normal ini itu bisa jadi sesuatu yang misleading. Karena seakan-akan situasinya itu sudah normal cuma kemudian ada perubahan yang kita harus lakukan," kata Sulfikar menjelaskan dalam konferensi pers yang ditayangkan di kanal YouTube Lapor COVID 19, Sabtu (30/5).

"Padahal sebenarnya kalau kita bicara situasi di Indonesia, hujannya itu belum selesai. Badainya belum pergi dan kita disuruh keluar rumah," lanjut dia.

Menurut dia, jika dipaksakan untuk dilakukan tak menutup kemungkinan new normal justru akan menciptakan civil disobedience.

1. Pemda harus punya sistem protokol yang ketat di tengah new normal

Masyarakat Harus Dilibatkan saat Negara Bahas Protokol New Normal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pemantauan akses masuk ke Jakarta (Dok. Humas DKI Jakarta)

Sulfikar mengatakan, menurut dia tidak ada kenormalan yang akan tercipta ketika masyarakat dipaksakan untuk berhadapan dengan krisis yang belum selesai. Termasuk menghadapi risiko wabah yang masih tinggi.

Sulfikar mengatakan, kalau pun akhirnya ada beberapa daerah yang dianggap sudah memenuhi kriteria dari segi reproduction number, paling tidak Pemerintah Daerah memiliki sistem dan protokol yang benar dan ketat. Termasuk sistem contact tracing yang solid dan surveilans yang ketat.

Baca Juga: Ini Skenario Terburuk Jika Indonesia Memaksa Terapkan New Normal

2. Masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan new normal

Masyarakat Harus Dilibatkan saat Negara Bahas Protokol New Normal Malang Raya bakal menerapkan PSBB mulai 17 Mei. IDN Times/ Alfi Ramadana

Sulfikar juga mengatakan pelibatan masyarakat secara luas sangat perlu untuk dilakukan. Karena pada dasarnya yang berhadapan dengan risiko langsung adalah masyarakat. Mereka nantinya, yang menurut Sulfikar, akan berada paling depan untuk menghadapi konsekuensi dari risiko tertular COVID-19.

"Dan secara etis mestinya pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan itu harus melakukan konsultasi, harus menanyakan pendapat dari masyarakat," kata Sulfikar.

"Karena merekalah yang disuruh masuk ke new normal ini. Merekalah yang disuruh berhadapan COVID-19 pada saat wabah itu belum reda," lanjut dia.

Hal ini menurut Sulfikar menjadi pertanyaan politik sekaligus sosial yang harus dijawab pemerintah agar ketika kebijakan yang dibuat diterapkan, bukan hanya syarat-syarat medis dan teknis yang dipenuhi tapi juga syarat sosial.

"Sehingga terjadi kepercayaan publik kepada pemerintah. Tanpa itu tidak akan ada yang namanya new normal," kata Sulfikar lagi.

3. Sulfikar khawatir akan ada perlawanan masyarakat yang muncul

Masyarakat Harus Dilibatkan saat Negara Bahas Protokol New Normal Sosiolog Bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir (YouTube.com/Lapor COVID 19)

"Saya khawatirnya yang akan muncul itu adalah civil disobedience," kata Sulfikar.

Perlawanan masyarakat yang dikhawatirkan muncul terkait dengan menolak anjuran anjuran dari pemerintah. Menurut dia jika hal ini terjadi justru akan semakin sulit bagi Indonesia menghadapi pandemik ini.

"Karena kemampuan kita untuk melawan wabah ini hanya bisa efektif jika terjadi kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah," kata Sulfikar.

Baca Juga: Pandemik COVID-19, New Normal Bukan Sekadar Buka Mal

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya