[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!

Pendidikan di Indonesia masalahnya banyak

Jakarta, IDN Times - Di masa pandemik COVID-19, sektor pendidikan tak luput jadi sorotan. Apalagi sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online, yang dikeluhkan banyak orangtua dan siswa. Akibat pandemik, siswa hingga mahasiswa harus belajar dari rumah, dan kondisi ini belum diketahui berlangsung sampai kapan.  

Dalam rangka memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia sekaligus melihat sistem dan perkembangan pendidikan di era pandemik COVID-19, IDN Times melakukan wawancara khusus dalam Live Instagram dengan Pendiri Sekolah Cikal, Najelaa Shihab.

Najelaa mengaku, sistem pembelajaran dari rumah tidak membuat semuanya menjadi lebih mudah. Justru, "aktivitasnya rasanya jadi makin sibuk. Walaupun bekerja dari rumah, mengajar dari rumah, tetapi sepertinya intensitas waktunya itu nggak kurang dibandingkan melakukannya dari sekolah atau dari kantor," ujar Najelaa, Rabu 19 Agustus 2020 lalu.

Apa saja kata Najelaa terkait kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, termasuk soal Merdeka Belajar? Berikut penuturannya kepada IDN Times:

Baca Juga: Nadiem: Belum Ada Tolak Ukur Kesuksesan PJJ Selama Pandemik COVID-19

Apakah pendidikan di Indonesia sudah merata? Atau sebenarnya tidak perlu dibuat merata karena kemampuan tiap anak dan daerah juga berbeda?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Ilustrasi Belajar Online (IDN Times/Sunariyah)

Kalau bicara tentang masalah di pendidikan kita, isu kesetaraan, pemerataan kesempatan pendidikan, belum meratanya kualitas pendidikan itu memang salah satu isu utama yang seharusnya jadi tantangan yang bisa kita selesaikan sesudah 75 tahun Indonesia merdeka.

Tetapi dalam kenyataannya, kita melihat sendiri betapa memang akses untuk pendidikan-pendidikan yang berkualitas itu baru dinikmati oleh sebagian anak. Belum oleh semua dan setiap anak.

Kalau ditanya apakah pendidikan Indonesia seharusnya memberi kesempatan yang sama kepada semua anak? Tentu jawabannya, iya. Tetapi tadi pertanyaannya apakah itu berarti kemudian prosesnya semua harus sama? Harus ada standarisasi dan sebagainya? Jawabannya tidak.

Karena pemerataan kesempatan pendidikan itu bukan tentang penyamarataan proses, bukan juga tentang menyamaratakan input. Yang kita tahu kondisi masing-masing anak itu berbeda-beda. Kondisi geografis masing-masing lokasi di Indonesia yang begitu luas ini juga berbeda-beda.

Nah justru kalau kita punya komitmen terhadap pemerataan kesempatan pendidikan, itu kita memberikan proses yang berbeda, menghargai konteks yang berbeda, menyediakan kebijakan-kebijakan yang afirmatif khusus untuk kelompok-kelompok yang rentan.

Sehingga pada akhirnya memang pendidikan itu memberikan akses yang adil, akses yang inklusif dan proses-proses yang membuat capaian antara setiap anak itu pada akhirnya akan jadi capaian yang sama.

Ini yang sering kali paradigmanya belum sama. Orang pikir kalau kita bilang kesetaraan itu berarti menyamaratakan, padahal sesungguhnya bukan itu. Justru kita memberikan perlindungan khusus kepada kelompok-kelompok rentan sambil tentu memberi kesempatan pada semua anak, terlepas tinggal di mana lokasi geografisnya, social economic statusnya seperti apa, gendernya apa dan sebagainya untuk betul-betul dapat pendidikan yang berkualitas.

Termasuk untuk disabilitas? Bagaimana nasib teman-teman disabilitas dalam akses pendidikan?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Mendikbud Nadiem Makarim dalam kunjungannya ke SLB Negeri 1 Bantul, Yogyakarta (Dok.IDN Times/BKHumas Kemendikbud)

Termasuk dan terutama. Teman-teman dengan disabilitas itu kelompok yang memang selalu terpinggirkan. Tanpa ada PJJ, tanpa pandemi atau wabah ini pun isu kesenjangan pendidikan kita, kurangnya akses untuk teman-teman disabilitas, itu isu yang sudah lama jadi bagian dari masalah di ekosistem pendidikan kita.

Saya sebetulnya melihat salah satu hikmahnya pandemik ini. Hikmahnya wabah ini adalah kesadaran akan kesenjangan pendidikan ini kelihatan makin nyata.

Dulu kalau aku sama teman-teman di Semua Murid Semua Guru teriak-teriak, "Gawat Darurat Pendidikan" itu banyak banget yang nanya "Mbak Ela kebakarannya di mana? Kok enggak kelihatan gawat darurat?"

Semua anak ada di sekolah seolah-olah bisa belajar.

Nah sekarang baru terlihat dan mudah-mudahan ini jadi memberi semangat untuk menyelesaikan masalah pada kita. Bahwa memang inclusivity terutama buat yang punya kebutuhan khusus, itu belum betul-betul terwujud setelah 75 tahun Indonesia merdeka.

Apakah PJJ ini justru menampakkan masalah pendidikan yang sebelumnya samar? Secara psikologi bagaimana dampak PJJ pada anak?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Ilustrasi Belajar Online (IDN Times/Sunariyah)

Betul. Karena teknologi juga membawa kesenjangannya sendiri. Anak-anak yang dapat akses yang kemudian bisa melakukan PJJ dengan sumber daya yang sangat beragam, itu mungkin masih bisa tetap belajar dan mungkin malah lebih baik daripada pada saat mereka hadir pertemuan tatap muka di sekolah.

Karena sekarang ada guru sekolah yang membimbing, ada orangtua di rumah yang membimbing. Nah, tapi buat anak-anak yang ada dalam kondisi rentan ya kenyataannya PJJ ini tidak efektif, malah rasanya mungkin seperti liburan.

Ada kesenjangan capaian, kesenjangan kesempatan belajar yang tentu menjadi PR kita untuk bisa menyelesaikan ini dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya.

Kalau bicara dampak pandemik secara psychologist itu kita tentu nggak bisa bicara cuman dampaknya pada anak. Karena dampak pada anak secara psychologist itu juga akan dipengaruhi oleh apa kondisi sosial, emosional, psikologis yang terjadi di lingkungan keluarga.

Jadi anak-anak sekarang punya kecemasan, punya rasa bosan, merasa terisolasi karena berkurangnya kesempatan untuk bersosialisasi, merasa terbebani dengan begitu banyak hal yang mudah dipelajari dan dalam jarak jauh, itu semuanya fakta yang kita dengarkan dari anak-anak kita.

Tetapi, jangan lupa mereka juga sebetulnya bukan hanya mendapat dampak dari apa yang dia rasakan, tapi apa yang didengar dan apa yang dilihat dari lingkungan ini.

Orangtua juga banyak yang ada dalam tekanan, punya kecemasannya sendiri, beban pekerjaan dan sebagainya.

Justru kita orang dewasa yang ada di sekitar anak ini, yang harus melindungi jangan sampai anak-anak itu menjadi korban secara langsung maupun tidak langsung dari apa yang terjadi, sebetulnya bukan hanya di lingkungan kecil tapi yang sedang terjadi di seluruh dunia.

Karena kita lihat juga angka kekerasan pada anak itu meningkat di masa pandemik. Walaupun bukan kekerasan fisik yang dilakukan. Tapi kalau kita refleksi ke rumah masing-masing, mungkin ya kekerasan secara emosional. Bentakan, marah-marah dan sebagainya. Itu juga jadi lebih sering terjadi.

Jadi kemampuan orang tua untuk mengelola emosi, mengelola energinya itu akan sangat berpengaruh untuk memastikan anak-anak kita ini bisa sehat jiwa raga. Karena kan alasan mereka sekolah juga tentu karena ingin mengutamakan keselamatan dan kesehatan anak. Tapi jangan sampai keputusan itu kemudian menjadi merugikan anak-anak secara sosial dan emosional.

Pemberlakuan kurikulum yang sifatnya opsional di masa pandemik ini membantu atau justru membentuk kesenjangan baru?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Instagram

Sekali lagi isu kesenjangan dalam pendidikan itu isu yang sudah muncul bahkan sebelum pandemik. Pada saat menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh ini pun kita melihat dampak dari kesenjangan itu.

Ada sekolah-sekolah yang sudah bisa mengadopsi teknologi dengan lebih baik, ada guru-guru yang sudah punya kompetensi lebih untuk bisa membuat desain pembelajaran kurikulum secara mandiri yang lebih cocok untuk jarak jauh.

Nah, tapi ada juga sekolah-sekolah yang belum siap. Ada guru-guru yang masih butuh dukungan.

Nah, fungsinya kurikulum darurat ini saya pikir untuk memberikan bantuan lebih kepada yang memang membutuhkan, dan kenyataannya banyak yang membutuhkan.

Karena cukup banyak sekolah dan guru yang memang belum bisa menyesuaikan kurikulumnya. Seolah-olah hanya memindahkan bahkan proses belajar mengajar dari sekolah ke rumah.

Cara belajarnya gak berubah, tetap satu arah. Durasinya tetap panjang, tuntutan ketuntasan kurikulumnya cara penilaiannya juga tetap sama seolah-olah dengan pertemuan tatap muka.

Nah, bantuan bantuan teknis detail-detail, petunjuk-petunjuk yang bisa menjadi contoh. Memang opsional, tidak harus diterapkan. Tetapi tetap harus ada proses kontekstualisasi melihat mana yang cocok untuk di daerah tertentu di sekolah tertentu. Itu adalah upaya untuk membantu dan ini bukan cuman dilakukan oleh Kemendikbud sebetulnya.

Jadi cukup banyak pemerintah daerah, dinas-dinas pendidikan yang juga membuat kurikulum-kurikulum khusus untuk sekolah-sekolah yang ada di daerahnya. Kementerian Agama pun sudah membuat kurikulum darurat untuk diterapkan di Madrasah. Komunitas dan organisasi pendidikan yang melakukan berbagai kegiatan pendidikan yang sifatnya lebih nonformal, itu juga sudah banyak yang membuat kurikulum-kurikulum khusus.

Nah jadi ini memang Insyaallah semuanya terlibat, semuanya ambil peran. Dan semakin banyak contoh, semakin banyak panduan, itu juga dukungan yang sangat berarti buat guru-guru.

Karena buat guru-guru ini juga susah banyak guru-guru yang demotivasi, banyak guru-guru yang merasa beban kerjanya bertambah secara signifikan. Tapi saya juga mau menyampaikan apresiasi karena guru-guru itu sesungguhnya juga garda terdepan.

Walaupun bukan petugas kesehatan yang langsung berhadapan dengan virus, tetapi guru-guru ini sebenarnya memastikan masa depan masing-masing anak itu tetap bisa berjalan dengan baik. Jadi salut untuk teman-teman guru yang sudah bekerja jauh lebih keras daripada biasanya, meskipun di tengah wabah.

Jadi bukan liburan, bukan enak-enakan tetapi justru berusaha keras untuk beradaptasi. Kepeduliannya terlihat nyata justru di situasi seperti ini.

Pendidikan saat ini tidak bisa jauh dari kata Merdeka Belajar, Sekolah Cikal sudah menerapkan dari lama kan?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Najeela Shihab (Instagram/@najelaashihab)

Iya. Merdeka Belajar itu kalau di Cikal kami praktekkan sejak awal di tahun 1999. Jadi kita percaya bahwa salah satu kompetensi masa depan yang perlu ditumbuhkan pada setiap anak, dari mulai Pendidikan Anak Usia Dini sampai pendidikan tinggi itu adalah kemerdekaan belajar.

Orang-orang yang punya komitmen, tahu kenapa sih saya mesti belajar, apa manfaatnya buat saya, bagaimana caranya supaya saya bisa memahami pelajaran bukan sekedar dapat rangking, bukan sekadar dapat ijazah tapi tahu betul manfaat mempelajari materi tertentu untuk diimplementasikan dalam kehidupan.

Apa itu kemerdekaan belajar?
Menurut Cikal, Mandiri. Jadi tidak saling menyalahkan, tidak bergantung pada orang lain, tetapi memang betul-betul kalau bagaikan mendaki gunung nih, anak-anak dapat tantangan. Yang berarti bukan hanya terbebani.

Bagian yang paling penting dari kemerdekaan belajar itu sebetulnya adalah kemampuan refleksi. Melihat tantangan apa yang ada dalam pembelajaran. Melihat kelebihan dan capaian yang sudah dicapai dan bikin strategi dan rencana aksi untuk itu.

Selama sekian tahun dipraktekkan di sekolah Cikal, dipraktikkan di kampus guru Cikal, disebarkan ke komunitas Guru belajar, jaringan sekolah Merdeka Belajar dan insyaallah sudah cukup banyak bukti-bukti praktek baiknya.

Kami bersyukur bahwa Kemudian Mas Menteri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu menggunakan slogan yang sama.

Tentu isinya seperti apa, karena sebelumnya Merdeka Belajar ini gerakan kemudian menjadi bagian dari kebijakan, itu Kemdikbud punya otoritas penuh untuk mendefinisikan Merdeka Belajar versi Kemdikbud itu sebetulnya seperti apa.

Tetapi untuk kami di sekolah Cikal, rumah main Cikal, kampus guru Cikal, Yayasan Guru belajar, komunitas guru belajar dan yayasan dan semua jaringan sekolah Merdeka Belajar, berupaya untuk menggerakkan kemerdekaan belajar ini.

Insyaallah memang komitmen jangka panjang. Jadi tidak tergantung menterinya siapa, Mendikbudnya apa.

Dan mudah-mudahan makin banyak yang percaya sama pentingnya Merdeka Belajar untuk pendidikan kita.

Karena tadi kalau ditanya sudah terjadi atau belum? Jawabannya belum. Karena kalau kita ketemu sama murid-murid ditanya tujuan belajarnya apa? Itu rata-rata ya karena disuruh guru.

Guru mengajar, kenapa mengajar ini? Jawabannya karena dari kurikulum. Jadi pemahaman tentang esensi belajar dan mengajar, kemandirian, rasa saling percaya antar pemangku kepentingan, kebiasaan untuk refleksi itu sesuatu yang belum benar-benar terjadi di ekosistem pendidikan kita.

Kami percaya perubahan pendidikan cuma akan muncul kalau memang seluruh pemangku kepentingan di ekosistemnya berubah. Jadi nggak bisa pemerintah aja, nggak bisa cuman guru aja, nggak bisa cuman murid aja, enggak bisa orang tua aja, nggak bisa komunitas aja. Tapi semuanya harus ambil peran.

Merdeka Belajar versi Kemendikbud sudah mengelurkan 5 episode. Akankah kalau diimplementasikan benar-benar mengubah pendidikan di Indonesia?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Konsep Merdeka Belajar (Youtube/Tanoto Foundation)

Saya rasa kalau kita bicara perubahan pendidikan yang diupayakan oleh pemerintah atau Kementerian, itu kita perlu paham bahwa masalah yang terjadi tidak merdekanya ekosistem ini, kurangnya rasa berdaya pada guru, orang tua dan sekolah, tidak adanya pengumpulan praktik baik, itu masalah yang sudah terjadi puluhan tahun.

Sehingga pada saat kita mencoba menilai kebijakan itu, kita juga perlu bijak pada saat melihat proses implementasinya itu juga tentu butuh waktu.

Nah situasi Covid ini apakah memang jadi hambatan sehingga implementasinya tidak optimal, atau justru jangan-jangan menjadi kesempatan untuk mengakselerasi perubahan? Itu yang saya harapkan.

Ini kita perlu kasih waktu. Kasih waktu untuk Mendikbud, kasih waktu untuk Menag, urusan pendidikan itu bukan cuma Kemendikbud sebetulnya. Kementerian Agama juga membawahi banyak sekali satuan pendidikan.

Untuk kemudian bisa bersama-sama merumuskan kebijakan yang pada akhirnya berdampak.

Jadi bukan sekadar dokumen, bukan sekadar diluncurkan tetapi betul-betul bisa mengubah praktek-praktek yang selama ini mungkin belum sesuai di ekosistem pendidikan kita

Apa yang melatarbelakangi Sekolah Cikal menyerahkan hak mereknya kepada Kemendikbud?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Instagram/@najelaashihab

Cikal menginisiasi Merdeka Belajar sejak awal di 2015. Itu kita memulai kegiatan Temu Pendidik Nusantara. Temu Pendidik Daerah. Kemudian di 2016 itu jadi topik utamanya.

Sudah menyebar. Kami melakukan publikasi buku Merdeka Belajar, kemudian juga surat kabar Guru Belajar yang terbit rutin sampai hari ini. Jadi pendaftaran merek dilakukan di tahun 2018. Pada 1 Maret 2018 dan memang nggak ada hubungannya sama sekali dengan pengangkatan Mas Nadim atau pun penggunaan slogan Merdeka Belajar ini oleh Kemdikbud.

Nah sejak awal, selama bertahun-tahun Merdeka Belajar ini sudah digunakan bukan hanya oleh Yayasan Guru Belajar yang mengelola kampus Guru Cikal, digunakan tanpa kompensasi, tanpa royalti oleh komunitas Guru belajar yang sudah ada di ratusan kota dan juga jaringan sekolah Merdeka Belajar.

Jadi pada saat Kemdikbud kemudian menggunakan slogan Merdeka Belajar itu sebetulnya kita sudah membuat pernyataan bahwa ini boleh digunakan tanpa kompensasi, tanpa royalti. Karena memang niatan awalnya sejak awal adalah tidak ada komersialisasi apa pun atas Merdeka Belajar ini.

Ini adalah bagian dari kontribusi Cikal. Tapi ternyata sesudah ada pernyataannya itu, masih banyak pertanyaan yang saya dapatkan sehingga kemudian kita memutuskan untuk memperkuat itikad baik ini, untuk memperkuat apa yang sudah dan akan terus kami kontribusikan.

Maka ini kita hibahkan ke Kemdikbud untuk kemudian mengurangi kalau misalnya ada kekhawatiran tiba-tiba Cikal berubah pikiran, atau tiba-tiba terjadi sesuatu yang membuat pihak-pihak tertentu merasa bahwa ini bukan sesuatu yang memang bisa diberikan untuk bangsa dan negara.

Nah, mudah-mudahan harapannya gerakan Merdeka Belajar ini jadi sesuatu yang makin dampak.

Dan kami sendiri juga terus menunjukkan komitmen untuk terus menarasikan dan mengumpulkan praktik-praktik baik kemerdekaan belajar ini.

Nggak ada sama sekali track record bahwa kita pernah mendapatkan keuntungan komersial dari ini, dan ini juga tentu yang akan diteruskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Apa tips untuk millennial supaya semangat menjalani Pembelajaran Jarak Jauh?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Grafis dana yang dikeluarkan Kemendikbud selama pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Teman-teman yang sekarang jadi murid, yang sekarang jadi mahasiswa, sesungguhnya proses belajar mengajar yang paling berkualitas itu terjadi pada saat murid itu jadi subjek dalam proses belajarnya. Memegang kendali di proses belajarnya.

Jadi kalau ditanya apa yang paling dibutuhkan untuk guru jadi lebih baik, untuk dosen jadi lebih baik, untuk sekolah juga mengubah praktik-praktiknya menjadi lebih sesuai?

Itu yang diperlukan adalah umpan balik dari murid dan mahasiswa.

Jadi kalau ditanya apa satu tips yang paling penting: bersuaralah, berikanlah umpan balik, ceritakan.

Di masa PJJ ini atau pun pada saat pembelajaran normal tatap muka, mana metode-metode yang berhasil untuk Anda. Mana cara belajar yang cocok untuk Anda. Mana materi-materi yang sesuai dengan apa yang ingin teman-teman eksplorasi.

Guru, dosen, orang tua butuh feedback itu. Nah, dengan teknologi itu dimungkinkan. Kalau tatap muka sering kali saya ketemu murid atau mahasiswa yang nggak berani angkat tangan, enggak berani nanya, nggak berani cerita, nggak berani memberikan umpan balik yang konstruktif kepada orang-orang yang lebih lebih dewasa atau lebih tua.

Nah, saya yakin teknologi ini sebetulnya bisa mengubah hal itu. Bisa memberikan kesempatan untuk murid-murid, mahasiswa untuk memberikan review, memberikan umpan balik. Tentu tetap dengan cara-cara yang saling menghormati.

Bukan saling menyalahkan. Banyak berempati. Itu justru yang dibutuhkan. Kenapa? Karena dosen atau guru yang kompeten itu sesungguhnya bukan soal ijazahnya atau latar belakang keilmuannya saja, tapi ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi terhadap kebutuhan belajar murid dan mahasiswanya.

Kalau dia guru atau dosen yang baik, maka dia tidak akan merasa umpan balik itu sebagai ancaman tapi jadi sumber pelajaran.

9. Apa tips bagi orangtua dalam mendampingi anak belajar di masa PJJ?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Ilustrasi Belajar Online (IDN Times/Sunariyah)

Kalau buat orangtua, yang pertama yang paling penting adalah memahami bahwa pendidikan yang dibutuhkan anak-anak kita buat menyiapkan dia ke masa depannya itu, sangat berbeda dengan pengalaman kita sekolah dulu.

Jadi memang orangtua harus belajar lagi. Jangan-jangan orangtua itu kebanyakan seperti saya, mengalami pola pendidikan masa lalu, pola pendidikan abad 19 yang sebetulnya udah nggak relevan mempersiapkan anak-anak keperluan pendidikan yang dibutuhkan di abad ke-21 ini. Nah tapi seringkali orangtua itu ragu-ragu.

Saran utamanya belajar lagi, sebetulnya pendidikan seperti apa yang dibutuhkan dan tujuannya apa.

Yang kedua, lebih banyak mendengarkan, mengobservasi. Sebetulnya minat dan bakat anak kita itu di bidang apa. Karena terlihat jelas bahwa profesi-profesi atau pekerjaan pun itu berubah total.

Jangan-jangan orangtua itu masih punya tujuan-tujuan pekerjaan yang nanti 10 tahun 20 tahun lagi bahkan sudah tidak ada pekerjaannya. Sementara ada hal-hal baru yang kemudian bisa jadi kunci masa depan anak-anak kita.

Jadi belajar bersama anak, termasuk belajar mengadopsi teknologi. Jangan ada istilah orangtua gaptek. Karena sekarang itu teknologi sosial media itu sudah jadi bagian dari reality untuk anak-anak kita. Jadi kita juga harus hadir bersama mereka di situ, ikut belajar.

Nggak perlu khawatir berlebihan. Nggak perlu takut nggak bisa. Tetapi memang hadir bersama anak-anak kita di situ. Karena biar bagaimanapun orangtua itu pendidik pertama dan pendidik utama.

Ini mudah-mudahan jadi salah satu di masa Pembelajaran Jarak Jauh ini kita diingatkan kembali, betapa pentingnya sebetulnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak kita masing-masing

Bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia bisa membantu Menjaga Indonesia di sektor pendidikan?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!Ilustrasi Kuliah Online (IDN Times/Candra Irawan)

Pendidikan di Indonesia itu masalahnya banyak. Literasi rendah, tadi kesenjangan pendidikan untuk semuanya belum terjadi, pendidikan karakter masih belum dianggap penting, pendidikan keluarga belum banyak yang mengerjakan.

Nah kalau masalahnya banyak, itu berarti kesempatan mengambil perannya banyak.

Jadi pada saat kita berhadapan dengan masalah, jangan jadi "aduh ini korban." Jadi kita tidak bisa ngapa-ngapain. Tapi lihat kesempatan untuk berkontribusi.

Di jaringan Semua Murid Semua Guru itu ada lebih dari 700 komunitas dan organisasi pendidikan yang founder, inisiatornya semua anak muda. Bahkan ada anak-anak yang baru di SMP dan di SMA tapi sudah menginisiasi gerakan pendidikan. Aduh luar biasa keren-keren banget.

Kalau punya kepedulian tentang pendidikan, kalau punya kegelisahan selama ini, misalnya kalau saya dulu merasa jadi korban pendidikan, mari lakukan sesuatu. Mari berinovasi.

Dan pendidikan itu bukan cuma berarti "oh semua harus jadi murid dan guru," "oh semua harus bikin sekolah,"

Tapi banyak sekali. Pendidikan anti-korupsi, tentang toleransi, tentang pendidikan lingkungan hidup, kelas-kelas khusus untuk inklusi, sangat luas. Bidang pendidikan ini sangat luas.

Jadi kalau teman-teman punya minat apa pun, mulai dari melakukan sesuatu, pendidikan itu tanggung jawab kita. Bukan tanggung jawab pemerintah.

Semua warga negara itu harusnya bisa ikut serta dalam pendidikan dan bentuknya itu nggak harus muluk-muluk, membayangi menjangkau jutaan atau puluhan jutaan di Indonesia.

Tapi mulai dari yang paling dekat dengan kita. Paling tidak pegang kendali terhadap proses belajar kita sendiri. Berusaha mempengaruhi teman-teman yang ada di kelas kita, yang ada di sekolah kita. Peduli terhadap anak-anak yang ada di sekeliling. Itu saja kontribusinya sudah luar biasa untuk negara ini

Apa harapan untuk pendidikan di Indonesia?

[WANSUS] Najelaa Shihab: Pendidikan di Era COVID-19, Banyak Berempati!instagram.com/najelaashihab

Saya sebetulnya sangat berharap lebih banyak inovator-inovator yang masuk ke bidang ini. Jadi penggerak pendidikan itu sepi.

Kalau teman-teman yang kerjanya di media, kerjanya di bidang teknologi, mungkin itu merasakan perubahan yang sangat cepat. Di dunia pendidikan ini perubahannya sebagaimana contohnya di negara-negara lain, itu bisa puluhan tahun bahkan ratusan tahun.

Jadi kalau ngomong komunitas dan organisasi pendidikan itu, data kami di Semua Murid Semua Guru banyakan umurnya cuma dua tahun. Jadi orang bikin gerakan, bikin inisiasi, dua tahun habis itu mati. Nggak ada relawannya atau ditinggalkan oleh inisiatornya.

Nah jadi harapan saya lebih banyak orang yang menginisiasi praktek-praktek baik, jadi inovator dan juga tahan untuk marathon di ekosistem pendidikan ini. Insyaallah mengerjakannya bersama kami, kami yang sudah duluan ini sampai puluhan tahun ke depan, dan insyaallah bisa lihat perubahannya.

Sangat cukup ruang untuk semua ikut bergerak. Masalahnya terlalu banyak, perlu dikerjakan barengan dan semua ambil peran. Semua Murid, Semua Guru. Itu sebetulnya.

Baca Juga: Nadiem Ingin Merdeka Belajar Jadi Pekik Revolusi Sabang- Merauke

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya