Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan Indonesia

People power terjadi sejak Yunani kuno

Jakarta, IDN Times - Istilah people power atau kekuatan publik terus memenuhi sudut-sudut tajuk berita akhir-akhir ini. Konstelasi politik pasca-Pilpres 2019 pun kian memanas dengan munculnya wacana ini.

Wacana people power muncul dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, saat menghadiri kampanye Prabowo Subianto di Yogyakarta, Senin (8/4) lalu. Amien mengancam akan bergerak melalui people power jika menemukan kecurangan saat pemilu.

"Makanya saya sudah memberikan ultimatum 'Hei KPU, kalau kamu sampai curang dan kita punya bukti telak, kita gak akan MK, kita akan menggerakkan people power'. People power itu sebuah gerakan massa yang tidak ada setetes darah pun," ujar Amien.

Amien kembali menggelorakan wacana people power saat pencoblosan pada 17 April. Dia meminta, khususnya pendukung atau saksi pasangan Prabowo-Sandiaga untuk memotret C1-Plano atau catatan hasil penghitungan suara di masing-masing TPS.

Lantas, apa maksud people power dan bagaimana sejarah munculnya istilah tersebut? Apakah mungkin akan terlaksana wacana tersebut?

1. Sejarah istilah people power

Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan IndonesiaKantor Bawaslu RI (IDN Times/Denisa Tristianty)

Pada zaman Yunani kuno, rakyat datang berunjuk rasa di depan senat merupakan hal yang lumrah. Aksi ini biasa dilakukan ketika rakyat dihadapkan pada kebijakan senat yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.

Istilah people power pertama kali dipakai pada revolusi sosial damai di Filipina sebagai akibat dari protes rakyat Filipina pada 1986. Aksi damai yang berlangsung selama empat hari ini, dilakukan jutaan orang di Metro Manila dengan tujuan mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan Pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden.

People power ditandai sebagai perlawanan damai dengan cara demonstrasi turun ke jalan setiap hari, terutama di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan kembali demokrasi di Filipina. Walau pun people power merupakan aksi damai, kejadian ini berhasil menumbangkan rezim Ferdinand Marcos.

2. Perbandingan people power di Filipina dengan rencana people power di Indonesia

Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan IndonesiaIDN Times/Fadli Syaputra

Akibat situasi yang tidak stabil, Presiden Marcos menyerukan pemilihan presiden secara kilat. Adapun calon yang maju adalah Presiden Marcos sendiri dan pesaingnya, Corazon Aquino, istri dari senator Benigno Aquino JR yang dibunuh di Manila International Airport, yang sesungguhnya kurang memiliki pengalaman politik.

Komisi Pemilihan Umum (Comelec) secara resmi mengumumkan Marcos mengalahkan Aquino, tetapi Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (Namfrel), sebuah organisasi independen yang melakukan penghitungan suara tidak resmi, menyatakan Aquino sebagai pemenang.

Hal ini didukung sebagian orang Filipina yang percaya Aquino adalah pemenangnya. Jutaan warga Filipina lantas berbondong-bondong ke EDSA, mendukung tentara pemberontak untuk menggelar demonstrasi damai yang disebut people power.

Sementara di Indonesia, people power merupakan reaksi yang muncul akibat kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 02 menganggap pemilu 2019 banyak kecurangan.

Hasil penghitungan cepat lembaga survei menyebutkan Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Sedangkan, kubu 02 tidak percaya pada hasil quick count. 

Karena itu, pasangan Prabowo-Sandiaga mendesak agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghentikan rekapitulasi suara, dan mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf.

3. Negara-negara yang menggelar gerakan people power

Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan IndonesiaMiddle East Eye

Selain Filipina, beberapa negara juga menerapkan people power. Sejak Arab Spring melanda negara-negara Muslim di Timur Tengah, istilah people power selalu digunakan untuk menyebutkan gerakkan massa yang menentang penguasa. Rakyat yang bergerak umumnya memiliki tuntutan tunggal, yaitu demokrasi atau bagaimana demokrasi diterapkan di negaranya.

Di sisi lain, pemerintahan yang berkuasa umumnya otoriter, meskipun tidak selalu dipimpin militer. Selain itu, pemerintah juga berkuasa cukup lama dan tidak pernah berganti pimpinan, seperti yang dialami Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Libia, Aljazair, dan Sudan. Padahal negara-negara tersebut secara formal menerapkan sistem pemerintahan republik. Hal ini menimbulkan terjadinya nepotisme dan korupsi di kalangan elite pemimpin pemerintahan.

Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan IndonesiaIDN Times/Sukma Shakti

4. Reaksi atas rencana dilaksanakannya gerakan people power

Sejarah Kemunculan People Power dan Hubungannya dengan IndonesiaIDN Times/Axel Jo Harianja

Di Indonesia, istilah people power mulai digunakan ketika rakyat berusaha menggulingkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Saat era Presiden Joko “Jokowi” Widodo, istilah ini mulai terdengar kembali ketika berlangsung pesta demokrasi.

Dimulai dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melakukan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Namun, dalam perjalanannya, wacana ini melempem, karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga kurang kompak. Internal PAN sendiri tidak setuju dengan wacana yang digaungkan Amien itu.

Teranyar, politikus PAN Eggi Sudjana juga menjadi tersangka lantaran kasus dugaan makar akibat ujaran people power. Dia menyebut inspirasi kata-kata tersebut berasal dari 2014 saat kontestasi pilpres dengan dua pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Justru people power ini dari 2014 dari kelompok Jokowi dan itu ada bukunya. Bisa dilihat di Gramedia," kata Eggi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5).

Menurut Eggi, buku tersebut menuliskan gerakan people power itu sering dihalangi para elite.

"Makannya apa yang di dalam buku ini saya sudah baca itu. Nah, saya ingat sekali omongan saya di depan rumah Prabowo saya katakan yang bikin berengsek ini para elite. Jadi kita jaga persatuan Indonesia, itu ada kalimat saya kalau gak dipotong," ujar dia dilansir Antara.

Di lain pihak, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo mengatakan aksi people power saat ini tidak perlu dilakukan di Indonesia. Dia menilai gerakan bisa dilakukan jika memenuhi unsur-unsur seperti krisis ekonomi dan pemerintahan berjalan otoriter.

"Wacana digulirkan nya people power belum tepat waktunya karena tidak ada keadaan genting yang memaksa. Kalau dipaksakan maka yang rugi adalah rakyat Indonesia," kata Bamsoet usai menggelar buka puasa bersama di Rumah Dinas Ketua DPR, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Senin (13/5).

Selain Bamsoet, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyumas KH Sabar Munanto juga menanggapi rencana aksi people power ini. Dia mengimbau masyarakat tidak terprovokasi. Ia mengatakan pengerahan kekuatan massa itu merupakan cara yang bertentangan dengan sistem perundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.

"People power tidak relevan, pelaksanaan pemilu sudah ada aturan hukumnya. Kami berharap masyarakat dapat lebih dewasa menyikapi isu people power ini dan menyikapi perbedaan, karena perbedaan itu justru memperkaya bangsa dan negara ini," kata Sabar di Purwokerto, Banyumas, Selasa (14/5) dilansir Antara.

Sementara, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Agum Gumelar membandingkan seruan revolusi pada 1998. Menurut Agum, pada 1998, seruan revolusi diarahkan kepada rezim yang otoriter. Sementara, pemerintahan Jokowi berbeda.

Agum menjelaskan, revolusi hanya diarahkan kepada dua hal. Pertama, kepada kaum penjajah untuk merebut kemerdekaan. Dan kedua, pernyataan tersebut diungkapkan kepada rezim yang otoriter dan diktator, di mana mayoritas masyarakat Indonesia sangat tidak menyukai pemerintahan tersebut.

"Tapi kita lihat sekarang ini, dong. Pak Jokowi ini Presiden dengan pemerintahannya, di mata masyarakat kita, 70 persen lebih puas dengan apa yang dikerjakan," kata Agum di Komplek Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).

Sehingga, lanjut Agum, apabila ingin menggulirkan pemerintahan Jokowi dengan cara-cara seperti gerakan people power, tidak akan bisa. Berbeda pada 1998 yang mayoritas masyarakat mengungkapkan ketidakpuasan dengan kondisi saat pemerintahan Soeharto.

Topik:

  • Rochmanudin
  • Bella Manoban

Berita Terkini Lainnya