Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! 

Cegah lahirnya bayi stunting dari sekarang

Jakarta, IDN Times - Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) ditaksir akan menjadi lebih besar daripada jumlah penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) pada 10-20 tahun mendatang. Hal itulah yang kemudian disebut dengan istilah bonus demografi.

Akan tetapi, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa bonus demografi ini tidak akan dapat dinikmati apabila penduduk usia produktif yang diharapkan mendongkrak kemakmuran justru dalam kondisi sakit-sakitan, kurang cerdas, sehingga tidak mampu bersaing dengan generasi usia produktif bangsa lainnya. 

Menurutnya, bila ingin menikmati bonus demografi pada 10 hingga 20 tahun mendatang, bangsa Indonesia harus mencegah lahirnya bayi stunting dari sekarang. Karena itulah, pemerintah berjuang keras menciptakan Indonesia bebas stunting.

1. Strategi berlapis untuk mencegah bayi lahir stunting

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! Upaya pencegahan stunting. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Penurunan prevalensi stunting pada balita menjadi agenda utama pemerintah. Bahkan, Sekretariat Wakil Presiden mengoordinasikan upaya percepatan pencegahan stunting agar konvergensi, baik pada perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan dan evaluasinya di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk desa.

BKKBN pun memikul tanggung jawab mencegah bayi lahir stunting. Hasto pun menjelaskan strategi apa yang digunakan pihaknya. 

“Kami menyusun strategi berlapis untuk mencegah bayi lahir stunting. Ada faktor-faktor jauh, dan faktor-faktor dekat yang harus diatasi,” katanya.

Faktor-faktor jauh yang dimaksud olehnya adalah persoalan-persoalan yang bersifat sensitif, seperti ketersediaan air bersih, kekumuhan, rumah tidak layak huni, serta persoalan kemiskinan lainnya. Untuk mengatasi persoalan ini, BKKBN berkoordinasi dan konvergen dengan lintas kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Kesehatan.

“Bila air bersih tidak tersedia, keadaan rumah kumuh, maka bayi yang lahir tidak akan sehat, sakit-sakitan. Ini bisa jadi salah satu penyebab bayi stunting,” ujarnya.

Baca Juga: Turunkan Angka Stunting, BKKBN Beri Penghargaan Inovasi 

2. BKKBN membuat berbagai program atasi stunting

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! Pemasangan alat kontrasepsi oleh Kepala BKKBN, DR. (H.C), Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K). (Dok. BKKBN)

Sementara itu, faktor dekat adalah masalah spacing, atau jarak kelahiran dan jarak kehamilan. Apabila jarak ini tidak bisa dijaga, akan jadi keniscayaan bayi yang lahir stunting.

“Soal kehamilan ini kuncinya jangan terlalu muda, jangan terlalu tua, jangan terlalu sering, dan jangan terlalu banyak,” kata Hasto yang merupakan mantan Bupati Kulon Progo ini. 

Bayi yang terlahir stunting secara fisik akan kalah dengan bayi normal, demikian pula secara mental dan intelektual juga rendah dan sakit-sakitan, kardiovaskular, stroke, darah tinggi serangan jantung. 

“Itu semua jadi langganan akrab orang stunting. Kesimpulannya, kalau kita stunting kita jadi gak produktif, malah jadi beban,” ujarnya. 

Untuk mengatasi faktor dekat ini, BKKBN membuat Program Pendamping Keluarga. Tahun depan BKKBN menerjunkan 600 ribu tenaga Pendamping Keluarga yang melekat di seluruh Indonesia. Pendamping Keluarga ini terdiri dari bidan, kader Keluarga Berencana (KB), kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)  

“Pendamping Keluarga yang sudah kami training ini akan mengawal reproduksi, proses kehamilan dan kelahiran di seluruh kelurahan dan desa di Indonesia,” jelas Hasto.

3. BKKBN pastikan proses reproduksi masyarakat dikawal dengan baik

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! ilustrasi pemeriksaan dokter (everydayhealth.com)

BKKBN pun memastikan proses reproduksi masyarakat dapat dikawal dengan baik. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan kepada setiap penduduk selama seribu hari pertama kehidupan bayi. 

“Seribu hari pertama ini sangat menentukan bayi akan tumbuh stunting atau tidak. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan penduduk untuk cek status gizi, dan perkembangan bayi,” katanya.

Lebih lanjut Hasto menjelaskan, sebuah desa yang berpenduduk 3.000 orang misalnya, itu akan ada 21 pernikahan setiap tahun, atau sekitar dua pernikahan setiap bulan. Pendamping Keluarga sudah mulai bekerja mendampingi pasangan yang mau menikah. 

“Mengecek kesehatan mereka, layak hamil atau tidak,” ujarnya.

Dalam melakukan pendampingan, Pendamping Keluarga tentu juga dibekali berbagai strategi mengingat tingkat heterogenitas masyarakat Indonesia, baik budaya, agama, dan kelas sosial, yang sangat tinggi. 

“Kami bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, psikolog, ahli parenting, dan lain-lain,” kata Hasto.

4. BKKBN meluncurkan aplikasi digital Elsimil

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! BKKBN meluncurkan aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil) yang dirancang khususnya menyasar calon pengantin, ibu hamil, dan pascamelahirkan. (Dok. BKKBN)

Beberapa kasus yang sering dihadapi adalah penolakan berbasis agama dan kepercayaan banyak anak banyak rezeki. 

“Para Pendamping Keluarga tidak akan sendirian untuk menghadapi kasus-kasus seperti ini. Pada masyarakat kelas menengah yang kritis misalnya, kami tentu akan menurunkan psikolog atau pakar parenting supaya target merasa nyaman,” tuturnya.  

Oleh karena itu, demi memudahkan jalannya program Pendamping Keluarga tersebut, BKKBN juga telah meluncurkan aplikasi digital Elsimil (Elektronik Siap Nikah Siap Hamil). Melalui aplikasi ini, Pendamping Keluarga mendata riwayat pernikahan, kehamilan, dan kelahiran penduduk.  

“Mereka mengentri setiap data baru yang masuk, by name by address, sehingga dapat dipantau sebaik mungkin untuk menjaga kehamilan hingga bayi berusia dua tahun,” ucapnya.    

Hasto menekankan bahwa mencegah stunting itu penting, mencegah juga lebih baik daripada mengatasi. 

“Maka, marilah semua keluarga jangan malu, cegah lahirnya anak stunting, cek selalu status gizi, pada seribu hari kehidupan pertama. Jangan hamil kalau tidak terencana,” katanya mengingatkan.

5. Bayi lahir stunting bisa mengakibatkan emosional mental disorder

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! ekrut.com

Stunting sangat memengaruhi masa depan anak dan dalam skala lebih luas memengaruhi masa depan bangsa. Hasto menegaskan, stunting bukan hanya tentang pertumbuhan badan kurang maksimal, jadi kerdil, pendek, melainkan juga tidak berkembangnya otak, bahkan pada usia di atas 40 tahun mulai sakit-sakitan.

Dengan kondisi seperti itu, stunting menghalangi seorang anak untuk meraih cita-citanya, serta menjadi tidak produktif, sehingga akhirnya menjadi beban negara.

“Kritik saya jangan besar-besarkan prewedding, tapi prekonsepsi, 1.000 hari pertama sangat penting, masa ini adalah pembentukan kemampuan dasar, intelektualitasnya, pendengarannya, motoriknya, dan lain-lain. Maka saat 1.000 hari pertama terabaikan, anak kita akan lahir stunting dengan ciri tinggi badan kurang, intelektual kurang, dan di hari tua sakit-sakitan,” katanya.

Bayi lahir stunting juga bisa mengakibatkan emosional mental disorder. Saat ini jumlah generasi yang mengalami emosional mental disorder angkanya 9,8 persen. 

“Lihat saja, kalau ada 100 remaja, maka akan ada sembilan yang agak eror. Diajak belajar susah, susah diajak bicara, atau sebaliknya bicara melulu, karena punya waham, waham kebesaran,” ujarnya. 

6. Untuk membangun bangsa harus dibangun manusianya sejak 1.000 hari pertama kehidupan

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! Ilustrasi Balita (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Kemudian, lanjut Hasto, ada autisme. Kalau baru berusia dua tahun seorang anak sudah punya adik lagi, anaknya stres sebenarnya. Saat remaja pelariannya ada yang ke napza (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang), ada juga yang jadi Orang dengan Gangguan Jiwa (OdGJ). Persoalan bangsa banyak berakar dari manusianya yang kurang sehat. 

Maka dari itu, untuk membangun bangsa harus dibangun manusianya sejak 1.000 hari pertama kehidupan. Artinya, pembangunan keluarga, pondasi dan isu pertama adalah tercapainya pembangunan manusia. Karena itu, kata Hasto, bonus demografi pada 2030 harus dikapitasi menjadi kesejahteraan.

Dalam banyak kesempatan Presiden Joko Widodo pun menekankan pentingnya mencegah bayi lahir stunting demi masa depan bangsa Indonesia yang berkualitas. Sejak sekarang perlu dipersiapkan generasi muda yang siap berdaya saing, unggul, yang akan menjadi suksesor untuk mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045.

“Makanya kalau stunting ini kita turunkan, lumayan. Pak Presiden mengajak keluarga muda ini ayo cegah stunting, melahirkan generasi emas untuk Indonesia emas pada 2045,” katanya. 

Seluruh elemen bangsa dengan demikian punya kepentingan mewujudkan Indonesia bebas stunting, maka dari itu semua harus berperan. BKKBN tidak bisa bekerja sendirian.

“Lebih baik mencegah ketimbang mengatasi. Maka dari itu mari seluruh keluarga cegah stunting, remaja putri, ibu hamil, bayi bawah dua tahun (baduta) penting sekali. Stunting harus diatasi tidak bisa sendiri harus kolaborasi. Tidak cukup dokter mengurusi orang mau hamil, karena ketersediaan air bersih dan infrastruktur lainnya sangat besar pengaruhnya,” katanya. 

7. Cegah stunting dimulai dari gizi makro dan mikro

Kepala BKKBN: Tak Ada Bonus Demografi Tanpa Atasi Stunting! Ilustrasi pahami gizi (pexels.com/Pixabay)

Mencegah stunting dapat dimulai dari meningkatkan pengetahuan tentang gizi seimbang, ini beda dengan jargon ‘4 Sehat 5 Sempurna’. Pengetahuan gizi ini, tambah Hasto, mencakup gizi makro dan gizi mikro.

“Kalau mau mudah mencari tahu, bagaimana membuat menu gizi seimbang. Paling akhir, jangan hamil kalau tidak terencana, iseng-iseng. Perkembangan kehamilan pada bulan pertama itu menentukan. Jadi, perlu asupan gizi harus cukup. Itu tidak bisa dilakukan kalau hamil tidak direncanakan,” ucapnya.

Sebagai keseriusan dan komitmen untuk mempercepat penurunan stunting, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini menjadi payung hukum bagi Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting yang telah digencarkan pemerintah sejak 2018. 

Keberadaan Perpres tersebut juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024 nanti.

Berdasarkan data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevalensi bayi stunting secara nasional masih berada di angka 27,7 persen. Tantangan yang dihadapi BKKBN saat ini, dinilai Hasto, menjadi makin berat. Hal itu mengingat pandemik COVID-19 punya dampak besar terhadap kesehatan. 

“Karena bagaimanapun kondisi kesehatan yang buruk membuat potensi bayi lahir stunting makin besar. Namun, dengan sinergi dan konvergen seluruh sektor, tantangan dapat dihadapi bersama,” pungkasnya. (WEB) 

Baca Juga: BKKBN: Presiden Teken Perpres untuk Percepatan Penanganan Stunting

Topik:

  • Marwan Fitranansya

Berita Terkini Lainnya