Alissa Wahid Bicara Wadas dan Peran Millennial Menjaga Lingkungan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times — Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Munawwarah Wahid atau Alissa Wahid bicara terkait peran generasi milenial dalam ikut menjaga lingkungan. Tak hanya perlu berkontribusi untuk melestarikan alam, milenial juga disebut punya peran dalam membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga bumi.
Alissa mengatakan, generasi muda sejatinya mesti berkontribusi menjaga lingkungan. Pasalnya, generasi muda nantinya yang akan menjadi sosok penerus bangsa bakal berdiam diri dan hidup di bumi ini.
“Kalau kita bicara anak muda milenial, diminta tiga hal. Pertama ikut advokasi ke pemerintah, memastikan kebijakan publik mendorong ke arah lingkungan yang asri, dan dia sebagai pribadi dia berkontribusi mengurangi emisi karbon, serta dia sebagai agent of change melakukan pendidikan sipil untuk masyarakat,” kata Alissa dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Rabu (11/5/2022).
Baca Juga: Alissa Wahid: Relasi Kuasa Digunakan dalam Konflik Agraria di Wadas
1. Tiga hal yang bisa dilakukan millennial untuk hindari krisis iklim
Menurut Alissa, generasi muda berperan penting mendorong terbentuknya kebijakan yang ramah ekosistem. Alissa menilai pemerintah saat ini perlu didorong untuk membuat kebijakan yang tidak hanya berfokus pada peningkatan ekonomi, tapi juga upaya pelestarian lingkungan.
“Kita masih menemukan di berbagai tempat bagaimana penyelenggara negara di tingkat lokal mengabaikan beberapa aspek dalam pengelolaan industri,” kata Alissa.
Hal itu juga berkaitan dengan peran generasi muda sebagai agent of change atau pembawa perubahan. Kelompok muda saat ini dinilai cenderung lebih sensitif terhadap lingkungannya dan memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga alam.
“Bicara suistnable pada milenial itu kita bicara perubahan perilaku. Milenial perlu mendalami situasi climate change ini, kedua ikut bertindak dalam keseharian, misalnya dengan pengelolaan sampah yang baik, mengurangi tindakan yang berkontribusi pada keluarnya emisi karbon,” ujar Alissa.
Baca Juga: Alissa Wahid: Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang Melanggar Hukum
2. Kekuatan masyarakat sipil dan peran milenial di dalamnya
Selain itu, Alissa juga menyinggung kontribusi milenial dalam kekuatan masyarakat sipil. Pasalnya, gerakan masyarakat sipil saat ini yang berfokus dalam isu lingkungan cenderung diisi generasi muda.
Dengan bergabung dalam koalisi masyarakat, milenial memiliki jalan lebar untuk mengadvokasi masyarakat, juga memberikan kritik pada pemerintah.
“Masyarakat sipil bergerak di tingkat lokal atau yang mengingatkan pejabat publik, melakukan advokasi. Masyarakat sipil juga yang melakukan edukasi,” tuturnya.
Editor’s picks
Dia kemudian berkaca pada konflik Wadas ketika terjadi sengketa hak atas tanah warga dan pemerintah. Dalam konflik tersebut, koalisi masyarakat sipil ikut tergabung melakukan advokasi pada pemerintah.
Dalam hal ini, generasi muda diharapkan dapat melakukan edukasi pada warga yang menekankan hak-hak sipil untuk membantu mencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi.
“Kalau itu proyek seperti di Wadas, proyek strategis pemerintah, narasi yang masuk ke masyarakat adalah ‘ini bukan tanah kalian’. Karena air dan udara itu milik negara. Sehingga ini yang perlu diedukasi pada warga bagaimana caranya agar hak mereka tetap terpenuhi,” jelas Alissa.
3. Wadas, dan lubang-lubang tambang
Putri sulung Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini juga menyinggung rumitnya konflik agraria di Indonesia.
Dalam hal pertanian, petani perseorangan biasanya kesulitan mengumpulkan modal untuk menggarap lahan. Sementara bagi petani yang memiliki modal untuk bertani, akan mengalami tantangan memasuki pasar di Indonesia.
“Problem besarnya karena petani tidak memiliki modal menghadapi korporasi, jadi kalau korporasi mendapat dukungan tepat akhirnya diambil alih lahan ini,” ujarnya.
Masalah agraria lainnya adalah terkait sertifikat tanah di kelompok adat atau masyarakat sipil di pinggiran. Kelompok ini biasanya mendiami tanah turun-temurun tanpa memiliki sertifikat.
Alissa mengatakan, kelompok satu ini sangat rentan tergusur oleh pembangunan, baik yang dilakukan pemerintah atau swasta. Sama seperti kasus Wadas, penggusuran biasanya terjadi dengan memunculkan narasi bahwa tanah atau bangunan tersebut merupakan milik negara.
“Karena itu kalau negara minta harus dikasihkan. Ini yang saya temui langsung di berbagai tempat di Indonesia,” ungkap Alissa.
Masalah lainnya yang terjadi di Indonesia terkait dengan pembiaran lubang bekas tambang. Dia mengaku menemukan beberapa lubang tambang di daerah yang dibiarkan tanpa reklamasi sehingga membahayakan nyawa masyarakat sekitar.
“Penambangan selesai dan tidak ada tindakan tegas oleh penyelenggara negara,” tutur dia.
Dia mencontohkan penemuan lubang bekas tambang di Samarinda yang dibiarkan begitu saja. Lubang tambang itu diketahui telah memakan 30 korban jiwa dalam beberapa tahun terakhir.
“Saya pernah berkunjung, anak umur 10 tahun jatuh ke luabgn tambang kemudian meninggal. Lubang tambang tidak direklamasi. Kenapa tidak direklamasi? Waktu itu diurus ke Pemprov ya hanya di denda, dan ini yang terjadi di mana-mana,” kata Alissa.
Ketua Tanfidziyah PBNU ini berharap, generasi muda bisa melakukan lebih banyak kontribusi terhadap kebijakan negara yang mendukung pembangunan lingkungan berkeadilan. Generasi muda juga diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya pada negara.
Baca Juga: Alissa Wahid: Masalah Pernikahan Anak di Indonesia Seperti Gunung Es