Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan Mitos

Pemulihan lingkungan dimulai dari diri sendiri

Jakarta, IDN Times - Hujan disertai angin yang mendera kawasan Jakarta Selatan, pada Jumat sore, 22 April 20221, tak menyusutkan semangat Ranti (17) untuk melakukan kampanye dampak perubahan iklim pada generasi muda. Bicaranya lantang dan menggebu-gebu saat bercerita tentang dampak perubahan iklim yang menimpa desanya.

Remaja asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat itu bercerita, desanya sudah lama mengalami krisis air bersih. Padahal, warga desanya notabene bekerja sebagai petani dan berkebun.

Awalnya, dia mengira kelangkaan air bersih di desanya semata-mata karena musim kemarau panjang. Tak ada pikiran bahwa bencana kekeringan itu dipicu oleh perubahan iklim.

Ranti baru menyadari bahwa bencana kekeringan yang dialami desanya akibat krisis iklim, ketika dia mulai aktif di gerakan Child Campaigner 2022 bersama Save The Children.

Dari platform itu, Ranti sadar bahwa dampak krisis iklim bukan mitos, tapi benar-benar hal nyata yang kini tengah dirasakan oleh masyarakat tempat dia tinggal.

“Dari sini Ranti tersadar ternyata isu perubahan iklim sudah berdampak di lingkungan kami. Jadi kami harus sama-sama lebih sadar lagi, lebih mau ikut menyuarakan aksi perubahan iklim. Karena dampak pada anak-anak ternyata lebih rentan,” kata Ranti.

Remaja yang masih duduk di bangku SMA itu juga menyadari, bahwa alih fungsi lahan hutan yang marak di daerah Jawa Barat, menjadi penyumbang terbesar krisis iklim yang menyebabkan langkanya air bersih. Selain itu, maraknya pabrik, dan pembangunan besar-besaran di perkotaan juga turut berdampak pada kelangkaan air bersih di pedesaan.

“Ternyata di daerah Ranti, daerah pedesaan, sekarang sudah ada potensi kekeringan atau kualitas air di sana sudah berkurang. Sudah ada potensi tercemarnya air karena banyak pengalihan fungsi lahan dari yang tadinya hutan jadi tempat wisata, atau pabrik yang ternyata membuang limbahnya langsung ke sungai,” ujar dia.

Ranti adalah satu dari sekian banyak remaja yang menyuarakan dampak krisis iklim pada anak-anak. Dia meyakini, perubahan iklim ini berdampak buruk pada anak-anak, dan juga usia remaja.

Kasus kekeringan di desanya adalah salah satu dampak langsung yang dia alami. Akibat kesulitan air bersih, waktu dan tenaga terkuras habis untuk mengantre mendapatkan air, hingga hari-harinya pun menjadi tidak produktif.

Waktu yang semestinya bisa dia habiskan untuk belajar, membantu orang tua, dan bermain bersama teman-temannya, menjadi berkurang karena harus mencari air bersih yang hilang akibat dampak langsung krisis iklim di desanya.

Beberapa kawan yang ia jumpai juga mengaku resah dengan kelangkaan air bersih. Sebab, tidak adanya air bersih membuat hasil panen menurun. Sementara, kebanyakan dari kawannya adalah anak petani yang bergantung pada hasil panen.

“Generasi muda harus sadar kalau kita ini adalah orang-orang yang menyumbang terjadinya krisis iklim, dan akan merasakan dampaknya,” ujar Ranti.

Baca Juga: Duh! Anak-anak Indonesia Harus Menanggung Beban Dampak Krisis Iklim

Edukasi krisis iklim, yang luput di sekolah menyebabkan rendahnya kesadaran untuk menjaga lingkungan

Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan Mitos(Dok. Save The Children)

Ranti bercerita, dia sempat berkeliling sebuah desa di Kabupaten Bandung untuk melakukan kampanye dampak perubahan iklim pada anak-anak dan remaja. Kebanyakan anak-anak yang dia temui adalah anak petani.

Kepada Ranti, mereka mengaku tahu apa itu krisis iklim. Namun, tidak tahu apa penyebab dan dampak yang ditimbulkan. Mereka juga awalnya tidak mengakui bahwa krisis iklim bisa berdampak langsung pada warga yang tinggal di pedesaan.

Menurut Ranti, kurangnya pemahaman mengenai fenomena krisis iklim di kalangan anak-anak dan remaja salah satunya karena lemahnya sistem pendidikan formal, yang tidak banyak mengedukasi peserta didik akan perubahan iklim.

Umumnya, masalah perubahan iklim hanya dibahas singkat dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA), tanpa membahas lebih jauh dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang akan ditimbulkan.

“Saya tanya, emang di sekolah enggak diajarin? Terus mereka jawab, ‘di sekolah diajarin tapi masih seputaran bencana yang terjadi, bencana alam, non alam, sosial, tapi kami juga enggak paham tentang bencana itu, karena bahasa yang digunakan belum dimengerti anak-anak’,” kata Ranti.

Masalah minimnya edukasi tentang perubahan iklim di jenjang sekolah dasar hingga menengah juga pernah disinggung oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.

Dalam acara bertajuk Aspirasi Anak Muda Soal Perubahan Iklim pada akhir 2021 lalu, Nadiem menyebut, sistem pendidikan di Indonesia hari ini masih gagal membangun kesadaran siswa dan orang tua terkait pentingnya perubahan iklim dan lingkungan hidup.

“Sistem pendidikan kita belum berhasil membangun kesadaran siswa dan orang tua bahwa edukasi lingkungan hidup adalah cara kita untuk menyelamatkan generasi penerus,” tuturnya.

Krisis iklim, masyarakat kota dan desa sama-sama kena imbas

Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan MitosIlustrasi (IDN Times/Anata)

Menurut Head of Resilience Save the Children Indonesia Fredy Chandra, salah satu dampak krisis iklim yang paling terlihat yakni kekeringan dan bencana hidrometeorologi akibat cuaca ekstrem.

Terkait dengan kekeringan, pihaknya memproyeksikan Pulau Jawa, yang dihuni oleh 150 juta jiwa, bakal mengalami krisis air pada 2045. Krisis air bersih ini secara langsung juga akan berdampak pada menurunnya hasil panen, sehingga mempengaruhi ruang hidup masyarakat agraria.

Secara tidak langsung, dampak krisis air bersih ini juga bakal dialami oleh generasi muda. Petani di pedesaan kemungkinan bakal kekurangan penghasilan karena kurangnya hasil panen. Mereka juga harus membeli air bersih dengan harga mahal, ditambah dengan melonjaknya harga komoditas pangan karena kelangkaan, hingga membuat kualitas hidup mereka menurun.

Sementara mereka yang tinggal di perkotaan, kemungkinan bakal langsung mengalami kelangkaan komoditas pangan dan kenaikan harga-harga penunjang kebutuhan hidup, termasuk air bersih. Mereka yang tinggal di wilayah perkotaan juga lebih rentan terkena bencana hidrometeorologi karena kurangnya daerah resapan air, ditambah pengaruh cuaca ekstrem.

“Dampak pada ekonomi apa? Bagi warga, contoh katakan di Sumba ada 21 ribu orang di 2019 mengungsi karena kekeringan. Anak-anak muda bahkan kakek-neneknya, harus beli air Rp200 ribu sekali dorong. Angkut ke tangki bawa ke rumah,” kata Freddy.

Baca Juga: Bencana Akibat Perubahan Iklim Dirasakan Petani Lampung Timur

Hubungan krisis iklim dan angka harapan hidup generasi muda yang memendek

Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan Mitos(Infografis/IDN Times)

Laporan global organisasi Save the Children dalam Born into the Climate Crisis menyebut, krisis iklim di Indonesia membawa dampak nyata dan dirasakan anak-anak saat ini.

Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung mengatakan, anak-anak yang mengalami dampak krisis iklim lebih rentan secara fisik hingga ekonomi.

Anak-anak Indonesia yang lahir pada 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Anak-anak yang lahir setelah tahun 2000, juga tiga kali lebih banyak mengalami gagal panen dan kondisi sektor pertanian akan terus memburuk jika krisis iklim tak ditangani dengan serius.

"Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak menanggung beban berat, karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi," kata Selina dalam keterangan tertulis, Minggu (24/4/2022).

Selain berpengaruh pada angka kebencanaan dan sektor ekonomi, krisis iklim juga berdampak pada menurunnya angka harapan hidup remaja. Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhati menyatakan, anak-anak dan remaja lebih rentan terkena dampak perubahan iklim.

Dampak rentan itu melibatkan sektor kesehatan para generasi bangsa. Pasalnya, penurunan hasil komoditas pertanian sebagai dampak langsung dari krisis iklim, akan sangat berpengaruh pada sektor kesehatan masyarakat.

Penurunan komoditas serta kualitas pangan, dikhawatirkan berimplikasi pada peningkatan stunting dan kurang gizi.

Kondisi itu didukung oleh hasil investigasi sejumlah kelompok pemerhati lingkungan yang menemukan, puluhan spesies ikan telah punah di sejumlah sungai besar di Pulau Jawa. Kepunahan terjadi karena habitat sungai rusak akibat tercemar limbah pabrik.

Organisasi pemerhati lingkungan yang terlibat dalam investigasi ini adalah Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Forum Komunitas Daerah Aliran Sungai Citarum, Ciujung Institut, dan Ciliwung Institut. Mereka menginventarisasi keanekaragaman jenis ikan dan sumber-sumber pencemaran di Bengawan Solo, Kali Citarum, Ciliwung, Brantas, Ciujung, dan Kali Surabaya dalam periode waktu Maret - April 2021.

Sri juga menyinggung terkait sejumlah penyakit yang dikhawatirkan semakin berkembang akibat pengaruh perubahan iklim. Sejumlah penyakit endemik seperti DBD dan malaria diprediksi akan meningkat dalam beberapa waktu ke depan.

“Dari segi penyakit terkait iklim ini juga DBD lebih sering terjadi karena siklus hidup nyamuk itu terpengaruhi suhu yang menghangat, mempengaruhi siklus hidup malaria dan nyamuk dengue sehingga kita bisa merasakan demam berdarah itu jadi lebih sering,” kata Sri.

Klaim Menteri LHK: Indonesia bukan pemain kaleng-kaleng, sangat serius tangani persoalan lingkungan hidup

Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan MitosMenteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar di Cop 4.2 (IDN Times/Aryodamar)

Krisis iklim erat kaitannya dengan angka deforestasi dan pembangunan besar-besaran tanpa mengedepankan aspek lingkungan.

Di Indonesia sendiri, angka deforestasi terus bertambah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan Indonesia pada 2021 hanya tersisa 95,6 juta hektare.

Meski klaim KLHK luas hutan itu masih mendominasi daratan Indonesia sebesar 50-51 persen, namun angka luas hutan itu sebenarnya berkurang dari tahun 2019. Di tahun itu, diketahui luas hutan Indonesia berjumlah 125 juta hektare.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengaku, pihaknya tak pernah setengah-setengah dalam menangani angka deforestasi yang menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis iklim. Namun, dia mengakui banyak yang harus dibenahi untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat.

“Indonesia bukan pemain asal, bukan pemain kaleng-kaleng dalam persoalan lingkungan hidup. Indonesia sangat serius menangani persoalan lingkungan hidup,” kata Siti Nurbaya dalam webinar KLHK, Jumat (22/4/2022).

“Tentu banyak kekurangan di sana-sini, namun dengan usia bernegara yang masih relatif lebih muda saat ini, Indonesia sudah cukup aktif,” tuturnya.

Pemulihan lingkungan dimulai dari diri sendiri, dibantu regulasi

Asa Ranti, Keliling Desa Sadarkan Gen Z Perubahan Iklim Bukan MitosPerempuan-perempuan masyarakat Baduy berjalan kaki (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Upaya-upaya yang dilakukan untuk memulihkan lingkungan diyakini harus berasal dari diri sendiri. 

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati mengatakan, seorang individu sudah harus menyadari dampak krisis lingkungan saat ini, sehingga bisa meminimalisir tindakan yang berpengaruh pada krisis iklim.

Sri mencontohkan, dengan memastikan makanan yang ada di piring habis dimakan, sehingga tidak menimbulkan sampah organik yang menyebabkan pelepasan gas metana.

“Remaja-remaja kita bisa mengurangi sampah organik yang melepaskan gas metana, penyebab kerusakan lingkungan,” ujar dia.

Sri juga menyebut, gen Z dan milenial bisa mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor dengan menggunakan transportasi umum atau memilih berjalan kaki, jika jarak yang dituju relatif dekat. Upaya-upaya ini menurut Sri, telah digiatkan di masyarakat tingkat desa.

“Apa pilihan aksi dan mitigasi? Langkah-langkah untuk mengurangi polusi sederhananya, atau mengurangi emisi gas buang rumah kaca,“ kata Sri.

Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Advokasi, Kampanye, Komunikasi, dan Media Save The Children, Dewi Sri Sumanah mengatakan, upaya memperbaiki lingkungan tidak bisa hanya dilakukan oleh perseorangan.

Upaya itu perlu didukung regulasi yang jelas dari pemerintah, dan top-down kepada masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini, bisa membuat sistem atau regulasi untuk mengurangi pelepasan emisi karbon dengan pemeliharaan dan pelestarian hutan. Pemerintah juga diharapkan bisa serius mengupayakan net zero emission yang menjadi kesepakatan bersama antar negara-negara COP-26.

“Mendorong, menguatkan sistem atau regulasi perubahan iklim yang juga lebih bergerak pada anak-anak,” kata Dewi.

Baca Juga: Indonesia Capai Nol Emisi Karbon 2060, Apa yang Sudah Dilakukan?

Topik:

  • Sunariyah
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya