Masa Genting 72 Jam dan Kontrasepsi Darurat bagi Korban Pemerkosaan

Kurang dari 72 jam ada kesempatan cegah kehamilan

Jakarta, IDN Times — Siang itu, langkah kaki Adinda (bukan nama sebenarnya) sigap menuju sebuah apotek di Kota Denpasar, Bali. Perempuan berusia lebih dari 23 tahun itu secara berbisik meminta seorang apoteker membawa ‘pesanan’ yang telah dia order melalui online shop.

Dua buah pil berwarna merah muda sekejap mata berpindah tangan dari apoteker langsung masuk ke tas tangan Adinda. Bergegas dia keluar apotek menuju sebuah kafe untuk meredakan panik. Di kantongnya, dua buah pil kontrasepsi darurat siap ia teguk.

“Aku nyari tempat yang nyaman aja sih waktu itu, karena aku ingin cepet minum obatnya tapi gak mau kelihatan orang kan,” kata Adinda saat dihubungi IDN Times, Juli lalu.

Dia saat itu merasa takut akan hamil setelah berhubungan seksual tanpa kondom. Pegawai swasta di sebuah toko di Kuta, Bali, ini mengaku takut mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

Ia lebih memilih untuk mencegah kehamilannya dengan pil kontrasepsi darurat.

Namun, langkah pencegahan kehamilan yang dilakukan Adinda ini tak bersambut baik. Pasalnya, masa golden time untuk alat kontrasepsi darurat tersebut tak berlaku setelah melewati 72 jam setelah berhubungan seksual.

“Setelah tahu aku tetap hamil, mau gak mau, aku harus ngejalaninnya. Aku mulai bikin financial planning dan persiapan lain, tabungan kuliahku aku pakai buat biaya persalinan yang enggak ditanggung BPJS,” ujar Adinda.

Tak ada penyesalan dalam benak Adinda. Kini bayi laki-lakinya dia dekap dengan penuh kasih sayang. Namun, dia berharap ada akses lebih mudah untuk mendapatkan alat kontrasepsi darurat, terlebih bagi korban pemerkosaan.

“Aku bayangin sih kalau ada perempuan lain mengalami KTD karena pemerkosaan, gimana hancur dunianya karena susah banget buat akses aborsi aman. Makanya gimana caranya supaya alat kontrasepsi darurat ini lebih mudah diakses, apalagi kalau korban pemerkosaan,” tutur dia.

Baca Juga: Jalan Terjal Mencari Aborsi Aman bagi Korban Pemerkosaan

Mengenal kontrasepsi darurat lebih jauh

Masa Genting 72 Jam dan Kontrasepsi Darurat bagi Korban Pemerkosaanilustrasi keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Secara umum, masyarakat lebih mengenal pil KB, suntik KB, atau spiral (IUD) sebagai salah satu metode pencegah kehamilan. Namun, kontrasepsi darurat seakan kehilangan panggung dari berbagai banyaknya metode penundaan kehamilan.

Kontrasepsi darurat seakan tak mendapat celah untuk diberitahukan kepada masyarakat karena cenderung dinilai sebagai salah satu cara terminasi kehamilan (aborsi). Padahal, kontrasepsi darurat bertujuan untuk mencegah kehamilan, bukan untuk menggugurkan kandungan.

Pil kontrasepsi darurat dapat mencegah kehamilan dengan cara menunda ovulasi, mengganggu proses fertilisasi telur oleh sperma, dan mencegah implantasi sel telur yang berhasil dibuahi di dinding rahim. Maka dari itu, kontrasepsi darurat hanya bisa optimal bekerja jika dikonsumsi maksimal 3 x 24 jam atau 72 jam setelah berhubungan seksual.

Dengan tujuan tersebut, penggunaan kontrasepsi darurat lebih ditujukan kepada orang dengan kehamilan tidak diinginkan, seperti korban pemerkosaan.

“Tujuh puluh dua (72) jam itu sangat bermakna, karena pada saat 72 jam sejak saat kejadian itu korban (pemerkosaan) berhak mendapatkan kontrasepsi darurat. Bukan pil aborsi, tapi kontrasepsi darurat ini dikonsumsi oleh orang yang sudah melakukan hubungan seksual untuk mencegah kehamilan,” kata Manager Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia, Nur Jannah, dalam ICIFPRH di Yogyakarta, Kamis (25/8/2022).

Makna 72 jam dalam UU TPKS dan Algoritma Kemenkes

Masa Genting 72 Jam dan Kontrasepsi Darurat bagi Korban Pemerkosaanilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), korban pemerkosaan wajib diberikan pendampingan sesuai dengan Pasal 40 beleid tersebut.

Tugas pendamping, dalam Pasal 41 ayat (3) wajib untuk membuat laporan kepada kepolisian sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh korban, tenaga medis, psikolog, psikiater, atau pekerja sosial dalam waktu paling lambat 3 x 24 jam (72 jam) sejak korban melapor.

Nur menyebut, hal tersebut dikarenakan semakin cepat korban pemerkosaan melapor, maka korban bisa mendapatkan pil kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan.

“Kurang dari 72 jam kita punya kesempatan baik untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Makanya semakin cepat korban melapor akan semakin baik, agar korban pemerkosaan bisa memastikan ke nakes dapat pemeriksaan dan alat kontrasepsi darurat,” jelas Nur.

Aturan pemberian kontrasepsi darurat ini juga telah tertuang jelas dalam Algoritma Tata Laksana Pelayanan Kesehatan Bagi Korban Kekerasan Seksual, yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2021.

Pedoman itu memberikan penjelasan rinci untuk tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan kegawatdaruratan, yakni tidak gawat darurat, gawat tidak darurat, dan gawat darurat.

Korban dalam kategori gawat darurat ditandai dengan kesadaran menurun, hambatan pada jalan napas, sesak napas, perdarahan pervaginam, dan terdapat ide atau kecenderungan bunuh diri.

Tindakan yang harus dilakukan tenaga kesehatan dalam hal ini yakni mengatasi keadaan gawat darurat dan melakukan stabilisasi tanda-tanda vital. Tenaga kesehatan juga diminta untuk memberikan kontrasepsi darurat jika terdapat penetrasi kurang dari 72 jam pada korban.

“Bila terdapat penetrasi kurang dari 72 jam berikan kontrasepsi darurat pada saat kondisi pasien stabil,” tulis beleid tersebut.

Kontrasepsi darurat ini juga dapat diberikan pada korban pemerkosaan dalam kategori tidak gawat darurat, dan gawat tidak darurat jika ditemukan penetrasi kurang dari 72 jam.

Kendati penggunaan kontrasepsi darurat telah diatur secara rinci dalam algoritma Kemenkes, perjalanan untuk mendapatkan obat ini nyatanya tak mudah.

Korban pemerkosaan harus lebih dulu berhadapan dengan rumitnya prosedur hukum untuk mendapatkan kontrasepsi darurat. Belum lagi ditambah dengan trauma korban yang membuatnya cenderung enggan melaporkan kasus pemerkosaan.

“Tapi jarang korban kekerasan seksual itu langsung atau cepat melapor. Kalau kurang dari 72 jam, ada tata laksananya, kalau lebih dari itu juga ada tata laksananya dengan aborsi asal usia kehamilan kurang dari 40 hari, sesuai aturan UU Kesehatan,” jelas Nur.

Berharap akses terbuka untuk kontrasepsi darurat

Masa Genting 72 Jam dan Kontrasepsi Darurat bagi Korban PemerkosaanDirektur Yayasan IPAS, Marcia Soumokil dalam media training ICIFPRH 2022. (IDNTimes/Melani Putri)

Direktur Yayasan IPAS, Marcia Soumokil menyebut, pil kontrasepsi darurat semestinya bisa didapatkan dengan mudah sebagaimana alat kontrasepsi lainnya, seperti dalam program Keluarga Berencana (KB).

Meski tak diperuntukkan untuk program KB, kontrasepsi darurat ini idealnya lebih mudah diakses oleh korban kekerasan seksual. Untuk itu diperlukan tenaga kesehatan yang lebih terbuka, dan penanganan korban kekerasan seksual di kepolisian yang cepat tanggap.

“Periode 72 jam ini jadi sangat krusial agar korban kekerasan seksual bisa mendapatkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh, mulai dari tes HIV dan antiobiotik agar tak terjadi infeksi. Kurang dari 72 jam, korban masih punya cukup waktu untuk mencegah kehamilan jika terjadi hubungan seksual,” kata Marcia.

Ketua Pusat Kajian Hukum, Perempuan, dan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono menyebut, ada tantangan besar dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kepolisian.

Tantangan tersebut bakal berdampak pada kesulitan akses kontrasepsi darurat, aborsi, hingga penyelesaian kasus kekerasan seksual hingga meja hijau.

“Tantangan kita pada struktur hukum yang penuh dengan nilai sangat bias, infrastrukturnya tidak memadai, ‘kalau gak ada duit gak jalan’ (proses hukum), belum lagi ada kepentingan lain,” tutur dia.

Dia berharap, UU TPKS sebagai payung hukum penanganan kasus kekerasan seksual bisa menjadi jembatan untuk menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia.

“UU TPKS ini mencoba menjembatani dengan peran pendampingan pada korban,” ucapnya.

Pendamping tersebut yang akan menemani korban kekerasan seksual mengakses banyak hal, mulai dari akses kepada layanan kesehatan hingga membantu advokasi hukum.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya