Disertasi Wamenag: Ruang Publik Digital Pertajam Polarisasi Ideologis

HTI dan FPI berhasil sampaikan ideologinya secara digital

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi pada Kamis kemarin, menjalani promosi doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara virtual. Dalam disertasinya, Zainut membahas mengenai kontestasi ideologi politik gerakan Islam Indonesia di ruang publik digital.

“Kemunculan ruang publik digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis antara gerakan Islamis dan organisasi Islam arus utama di Indonesia,” ujar Wamenag dikutip dari situs resmi Kemenag, Jumat (6/8/2021).

Baca Juga: Begini Potret Pendidikan Profesi Guru bagi Guru PAI di Kemenag 

1. FPI hingga HTI masih dalam objek penelitian

Disertasi Wamenag: Ruang Publik Digital Pertajam Polarisasi IdeologisLaskar FPI (Dok. Lembaga Informasi Front)

Dalam disertasinya, Zainut menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menganalisa data hasil studi kepustakaan dan dokumentasi yang dihimpun dari website dan media sosial gerakan Islam.

Gerakan Islam yang menjadi objek penelitian antara lain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), NU, dan Muhammadiyah.

Baca Juga: 11,6 Juta Mahasiswa dan Siswa di Bawah Kemenag Terdampak COVID-19

2. HTI dan FPI berhasil sampaikan ideologinya lewat ruang digital

Disertasi Wamenag: Ruang Publik Digital Pertajam Polarisasi IdeologisIlustrasi Media Sosial. (IDN Times/Aditya Pratama)

Hasil penelitian yang dilakukan Wamenag, ruang publik digital rupanya berhasil memfasilitasi FPI dan HTI untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politik alternatif, di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral.

Meski kedua ormas itu sudah dibubarkan pemeritnah, namun ruang digital tak bisa menghalangi persepsi dan opini masyarakat terhadap FPI dan HTI.

“Dalam arena yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau oleh pemerintah inilah, kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islamis, sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama,” ucapnya.

Menurutnya, gerakan Islamis dari FPI dan HTI ini bersumber dari anggapan keterpurukan Islam di Indonesia karena adanya penerapan ideologi sekuler dari Barat. Hal itu yang mendorong adanya penegakan Islam untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pembingkaian wacana ideologi politik alternatif yang dikonstruksi oleh HTI dan FPI ini menunjukkan bahwa gerakan Islamis menggunakan bingkai identitas sebagai bingkai utama, dalam memformulasikan masalah dan solusi umat Islam Indonesia,” katanya.

Mantan Wakil Ketua MUI ini mengatakan, FPI dan HTI juga rajin membangun narasi tandingan. Mereka membuat narasi tandingan itu melalui ruang digital.

“Kedua ormas Islam ini juga secara kreatif dan produktif melakukan pembingkaian tandingan di ruang publik digital, untuk melawan narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok Islamis sekaligus menegaskan posisi ideologis dan komitmen mereka terhadap Pancasila dan NKRI sebagai “Negara Kesepakatan” (Dar al-Mithaq) dan “Negara Perjanjian dan Kesaksian” (Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah),” katanya.

3. Peran pemerintah untuk membendung pengaruh gerakan Islamis

Disertasi Wamenag: Ruang Publik Digital Pertajam Polarisasi IdeologisPromosi doktor Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi (dok. Kemenag)

Lebih lanjut, Zainut dalam disertasinya juga menjelaskan mengenai peran pemerintah untuk membendung pengaruh gerakan Islamis beberapa waktu terakhir. Ada sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah, yakni:

1. Pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana tercermin dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 2018, UU No. 16 Tahun 2017 dan UU No. 19 Tahun 2016.
2. Pembentukan lembaga/badan pemerintahan baru, terutama BPIP.
3. Pengarusutamaan moderasi beragama.
4. Pemblokiran situs dan media sosial bermuatan radikal.
5. Pencabutan izin ormas radikal, sebagaimana tercermin dalam pembubaran HTI dan FPI.

Disertasi Zainut ini juga hasil penelitian M. Thoyibi dan Yayah Khisbiyah (eds.) dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang ‘Kontestasi Wacana Keislaman di Dunia Maya: Moderatisme, Ekstremisme, dan Hipernasionalisme’.

Selain itu, temuan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang ‘Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia’.

Kedua penelitian itu menyatakan bahwa aktor-aktor dan kelompok-kelompok yang membangun narasi keagamaan Islamis dan konservatif lebih dominan di ruang publik digital.

“Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan bahwa ormas Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah telah menetralisir dan merebut, untuk tidak menyatakan mendominasi, ruang publik digital,” katanya.

Sementara, disertasi Zainut memperkuat pendapat Dale Eickelman dan James Piscatori, Muhammad Qasim Zaman, Norshahril Saat, dan Ahmad Najib Burhani yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi media modern telah mengakibatkan pluralisasi, kontestasi, dan fragmentasi otoritas keagamaan.

“Meskipun demikian, kemunculan aksi konektif berbasis individu tidak sepenuhnya menggantikan aksi kolektif berbasis organisasi, dan tidak menghapuskan sama sekali peran organisasi kemasyarakatan dalam mobilisasi aksi kolektif,” pungkasnya.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya