[KALEIDOSKOP 2021] Sulitnya Hidup Minoritas: Ahmadiyah hingga LGBT

Ahmadiyah dianggap sebagai aliran sesat di RI

Jakarta, IDN Times - Kelompok minoritas di Indonesia sebagian masih dipandang sebelah mata. Bahkan, mereka tak lepas dari kontroversial di masyarakat. Seperti memilih aliran kepercayaan yang masih sulit diekspresikan di Indonesia. Terlebih, bagi mereka yang tidak menganut dalam enam agama yang diakui di Indonesia seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Salah satunya yang menjadi anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Aliran ini dianggap sesat karena memiliki nabi sendiri bernama Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah mulanya berdiri di India pada 23 Maret 1889. Kemudian, aliran ini masuk ke Indonesia sekitar 1920.

Kepercayaan lainnya yang menjadi kontroversial di masyarakat, adalah Sunda Wiwitan. Namun, kepercayaan ini sudah diakui negara. Salah satu pengakuan negara dengan adanya muncul kolom penganut kepercayaan di KTP.

Minoritas lainnya yang tak kalah kontroversial perihal kelompok LGBT. Belum ada aturan negara yang melegalkan praktik LGBT di Indonesia, namun mereka kini telah mendapat hak kependudukan. Berikut beberapa kelompok minoritas yang masih menjadi kontroversial di Indonesia selama 2021. 

Baca Juga: MUI Depok Sebut Jemaah Ahmadiyah Dapat Bekingan dan Menyesatkan

1. Penyegelan hingga penyerangan masjid Ahmadiyah

[KALEIDOSKOP 2021] Sulitnya Hidup Minoritas: Ahmadiyah hingga LGBTIlustrasi gedung MUI Pusat di Jakarta (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Kasus Ahmadiyah kembali ramai pada 2021. Satpol PP Kota Depok melakukan penyegelan terhadap Masjid Al Hidayah milik jemaah Ahmadiyah di Jalan Raya Muchtar, Kelurahan Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan.

Kabid Penegakan Perda Satpol PP Kota Depok, Taufiqurrahman, mengatakan penggantian papan segel di masjid milik jemaah Ahmadiyah, merupakan tindak lanjut dari laporan terkait rusaknya papan segel di masjid yang terletak di Kecamatan Sawangan itu. Penyegelan sudah dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait ajaran Ahmadiyah.

"Penggantian segel bukan penyegelan, karena sebelumnya sudah dilakukan penyegelan berdasarkan SKB tiga Menteri terkait Ahmadiyah,” ujar Taufiqurrahman, Jumat, 22 Oktober 2021.

Selain itu, jemaah Ahmadiyah di Kalimantan Barat juga mendapat penyerangan. Polda Kalimantan Barat menetapkan 21 orang sebagai tersangka perusakan masjid dan bangunan jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Dari 21 orang tersebut, tiga di antaranya merupakan aktor intelektual.

Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go, mengatakan 18 lainnya merupakan eksekutor yang merusak masjid tersebut.

"Totalnya semua 21 tersangka, rincian tiga aktor intelektual dan 18 pelaku lapangan," kata Donny saat dihubungi, Kamis, 9 September 2021.

Donny menjelaskan, tiga aktor intelektual akan dijerat dengan Pasal 160 KUHP, yang mengatur penghasutan untuk melakukan kekerasan. Sementara, tersangka di luar aktor intelektual dijerat dengan Pasal 170 KUHP.

Pasal 170 mengatur kekerasan yang dilakukan bersama-sama terhadap orang atau barang, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara jika mengakibatkan maut.

Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005, yang menyatakan Ahmadiyah adalah aliran sesat di Indonesia.

Fatwa itu dikelarukan pada 28 Juli 2005. Salah satu penetapan dalam fatwa tersebut adalah, bagi mereka yang sudah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah, diminta segera kembali kepada ajaran Islam sesuai Al Qur'an dan Al Hadis.

Selain itu, fatwa MUI juga mewajibkan pemerintah untuk melarang dan membekukan Ahmadiyah di Indonesia.

 

Baca Juga: Ahmadiyah Ajak Ketum PBNU Gus Yahya Kolaborasi Bangun Peradaban Islam

2. Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan masih menanti payung hukum

[KALEIDOSKOP 2021] Sulitnya Hidup Minoritas: Ahmadiyah hingga LGBTBakal Makam Leluhur Sunda Wiwitan (ANTARA/Khaerul Izan)

Sementara, untuk penganut kepercayaan seperti Sunda Wiwitan kini sudah diakui negara. Salah satu pengakuan negara dengan adanya muncul kolom penganut kepercayaan di KTP. Kendati, mereka masih berharap ada payung hukum yang lebih menjamin hak-hak mereka.

Dewi Kanti Setyaningsih, penganut Sunda Wiwitan merasa bangsa Indonesia masih berproses mematangkan diri untuk memenuhi hak konstitusi semua warganya.

"Termasuk di dalamnya masyarakat adat yang sebetulnya menjadi elemen penting bagi bangsa ini," kata Dewi Kanti dalam webinar IDN Times #MenjagaIndonesia, Selas, 18 Agustus 2020.

Dewi mengatakan, masyarakat adat Sunda Wiwitan sedang berharap dan ingin mendorong terus, agar payung hukum yang menaungi masyarakat adat itu atau undang-undang perlindungan masyarakat adat, segera diproses dan disahkan dari statusnya yang belum selesai bertahun-tahun.

"Karena selama ini juga tidak ada harmonisasi perundang-undangan terkait juga pemenuhan bagi masyarakat-masyarakat adat," kata dia.

Dewi berpendapat, tidak akan ada Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, ketika masyarakat adatnya tidak menjadi ruh dan 'paku bumi' di dalamnya.

"Tetapi sampai sejauh ini kita juga masih melihat bahwa kebijakan-kebijakan negara ini memang belum secara optimal untuk hadir memenuhi seluruh hak konstitusi seluruh masyarakat adat," kata dia.

3. Kelompok transpuan mendapat hak kependudukan

[KALEIDOSKOP 2021] Sulitnya Hidup Minoritas: Ahmadiyah hingga LGBTIlustrasi LGBT (IDN Times/Arief Rahmat)

Meskipun belum ada aturan negara yang melegalkan praktik LGBT di Indonesia, negara mulai menghargai hak mereka hidup di Tanah Air. Salah satunya dengan memberikan hak administrasi kependudukan.

Kelompok transpuan yang ingin mengubah identitas seperti jenis kelamin, dan nama, kini mereka bisa mengajukan ke pengadilan. Namun, prosesnya menurut mereka masih cukup sulit.

"Sebelum saya punya KTP, akses saya sangat sulit, apalagi di saat ingin bepergian. Terutama untuk akses kesehatan di masa pandemik," kata seorang transpuan, Dewi, saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu, 11 September 2021.

Dewi yang tinggal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan itu menceritakan, sebelum memiliki KTP, ia hanya menggunakan kartu keluarga (KK) untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan pemerintah.

Namun, kata Dewi, KK bukan jaminan pengurusan layanan publik bisa tuntas dalam waktu singkat dibandingkan dengan KTP. Sebab, sebagian orang masih mempersoalkan ekspresi gender dari pemilik KTP.

"Perbedaan sebelum punya KTP mungkin lebih was-was ketika ingin melakukan sesuatu. Tapi setelah memiliki KTP semua hal yang berhubungan dengan identitas saya lebih mudah khususnya terkait akses kesehatan," ucap dia.

Sederet pengalaman itulah yang membuat Dewi berkeinginan membuat identitas diri. Dewi telah mengurus KTP pada Oktober 2020. Dia pun bersyukur sudah memiliki kartu identitas yang menjadi syarat agar bisa mengakses berbagai pelayanan publik.

"Kurang lebih 4 bulan saya sudah buat KTP. Alhamdulillah untuk kesulitan sendiri tidak ada," kata dia.

Bagi Dewi yang berprofesi sebagai penata rias, KTP sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Kartu itu ia gunakan hanya untuk mengurus hal lain yang menjadi haknya sebagai warga negara. Antara lain, bantuan sosial, hingga asuransi kesehatan.

"Saya sendiri kerja disalon untuk penggunaan KTP sendiri tidak diprioritaskan. Lebih ke akses kesehatan dan untuk bantun sosial," ucap dia.

Dewi menambahkan, meski telah memiliki kartu identitas, bukan berarti dia bebas melakukan berbagai hal seperti orang lain. Kadang kala, kata dia, masih ada saja hambatan yang dihadapinya. "Kesulitannya mungkin terkait ekonomi sih dan psikologis," ujar dia.

 

 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya