Mengapa Konflik di Papua Tak Kunjung Usai?

Konflik di Papua mulai terjadi pada 1908

Jakarta, IDN Times - Papua merupakan daerah yang kaya sumber daya alam nan indah. Rasanya ungkapan itu bisa diamini seluruh masyarakat Indonesia. Namun, konflik di Papua sudah puluhan tahun belum bisa terselesaikan.

Penulis buku "Kita Ingin Hidup Damai", Steve Rick E Mara, mengatakan penyebab terjadinya konflik di Papua tak kunjung tuntas karena pemerintah dan organisasi pro referendum tidak memiliki perspektif yang sama mengenai Papua.

"Jadi perspektif Papua ini berbeda-beda. Ketika ingin kita mau berdamai, perspektif kita harus kita samakan," ujar Steve dalam acara bedah buku "Kita Ingin Hidup Damai" di kanal YouTube Moya Institute, Selasa (14/9/2021).

Baca Juga: Stafsus Jokowi Billy Ungkap Penyebab Konflik di Papua Tak Kunjung Usai

1. Perspektif pemerintah

Mengapa Konflik di Papua Tak Kunjung Usai?Penulis buku "Kita ingin hidup damai" Steve Rick E Mara. (IDN Times/Ilman Nafian)

Steve menjelaskan, berdasarkan data dari Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), konflik di Papua mulai terjadi pada 1908. Kemudian, naik menjadi krisis pada 1954. Lalu, Kemenko Polhukam juga mencatat terjadi kekerasan masal pada 1962 di Papua.

Kasus kekerasan di Papua mulai menurun setelah adanya otonomi. Meski demikian, konflik di bumi Cenderawasih belum terselesaikan hingga kini.

Steve kemudian memasukkan perspektif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut LIPI, eskalasi konflik di Papua terjadi sejak 1945.

Kemudian kekerasan massal terjadi pada peristiwa Tri Kora pada 1961. Setelah itu, terjadi kekerasan massal pada 1977 dalam perang antara Operasi Papua Merdeka (OPM) dengan TNI/Polri.

Kekerasan yang ada di Papua menurun setelah 2001. Namun, kekerasan kembali muncul pada 2019 setelah adanya kasus rasisme.

"Tapi masih kekerasan terbatas," ucap Steve.

2. Perspektif organisasi pro referendum

Mengapa Konflik di Papua Tak Kunjung Usai?Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Lebih lanjut, Steve menerangkan mengenai perspektif dari organisasi pro referendum. Menurut organisasi ini, perdamaian Papua tak kunjung terjadi karena pemerintah banyak melibatkan pendekatan militer.

Pada 1965, pemerintah menggelar Operasi Sadar di Papua hingga 1998. Konflik di Papua baru turun sejak 2001.

"Kemudian tindakan offensive dan itu masuk dalam kekerasan terbatas sampai 2019," kata Steve.

3. Dugaan pelanggaran HAM paling banyak dilakukan kelompok separatis

Mengapa Konflik di Papua Tak Kunjung Usai?Pemerhati isu-isu strategis, Prof Imron Cotan (IDN Times/Ilman Nafian)

Dalam diskusi itu, pemerhati isu-isu strategis, Profesor Imron Cotan mengatakan, dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua paling banyak dilakukan kelompok separatis. Hal itu berdasarkan Satgas Papua dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Ini bukan saya yang ngarang, itu satgas dari UGM yang mengatakan demikian," ucap dia.

Imron mengatakan, hingga April 2021, kelompok separatis Papua telah melakukan 188 kasus kekerasan, kemudian TNI ada 13 kasus, dan Polri 19 kasus.

"Bahkan jumlahnya bertambah, ada saja orang sipil yang dibunuh katanya antek-antek Jakarta, atau pasukan TNI-Polri yang sedang pengamanan ditembaki," ujarnya.

Imron menegaskan, pemberontakan yang ada di Indonesia tidak akan pernah direstui Tuhan, sebab hal itu sudah dibuktikan sejarah.

"Percayalah, semua pemberontakan yang terjadi di negeri ini tidak direstui Tuhan, pemberontakan kiri berapa kali tertumpas, pemberontakan Islam tertumpas, termasuk pemberontakan berbasis liberal, tertumpas," imbuhnya.

 

Baca Juga: Otsus Papua Mengoyak Keamanan dan Kedamaian Orang Asli Papua

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya