Terkait Revisi Statuta UI, Bisa Menyumbang Suara untuk Pilpres 2024?

Usulan revisi Statuta UI datang dari MWA dan rektorat

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Manneke Budiman sebelumnya menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Universitas Indonesia berkaitan dengan agenda politik 2024. Terkait hal ini, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komaruddin, mengamini pernyataan itu.

Menurutnya, UI memiliki civitas akamedik hingga alumni yang banyak. Sehingga, UI dianggap sebagai tempat yang menguntungkan secara politik.

"Kalau UI gak bisa dikondisikan, kalau UI gak bisa dijinakkan dengan cara memegang rektornya dengan cara diberikan jabatan di BUMN, maka paling tidak itu pertama menjaga pihak yang diuntungkannya, kedua itu bisa menyumbang suara terkait Pilpres 2024," kata Ujang kepada IDN Times, Selasa (27/7/2021).

Baca Juga: Revisi Statuta UI untuk Politik 2024? Ini Penjelasan Guru Besar UI

1. Suara UI diperkirakan akan lari ke pihak yang didukung Jokowi

Terkait Revisi Statuta UI, Bisa Menyumbang Suara untuk Pilpres 2024?Universitas Indonesia. (studyinindonesia.kemdikbud.go.id/)

Ujang menduga, suara UI diperkirakan akan lari ke pihak yang didukung Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Pemilu 2024. Meski demikian, Jokowi saat ini belum menyatakan sikapnya untuk mendukung calon presiden pada 2024 mendatang.

"Kan Jokowi sudah mengatakan ke tim dan pendukungnya, tunggu instruksi saya. Artinya, bisa jadi kalau revisi itu untuk kepentingan Jokowi, maka suara itu untuk siapa yang didukung Jokowi, kelihatannya arahnya ke sana," ucap dia.

Meski demikian, Ujang mengaku tidak mengetahui presentase seberapa banyak suara yang akan didapat dari UI. Sebab, hal itu perlu ada kajian.

"Tetapi sedikit banyak akan menyumbangkan suara," katanya.

Baca Juga: MWA: PP Statuta UI Tidak Dibuat Mendadak, Diusulkan Sejak 2019

2. Pemerintah dinilai bisa mengondisikan situasi dalam kampus jika rektor sudah dipegang

Terkait Revisi Statuta UI, Bisa Menyumbang Suara untuk Pilpres 2024?Universitas Indonesia (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Lebih lanjut, Ujang mengatakan, cara pemerintah memberikan jabatan kepada Rektor UI, Ari Kuncoro, sebagai komisaris BRI untuk mengondisikan UI.

"Karena kalau rektornya dipegang, bisa mengondisikan kalau ada apa-apa di kampus itu, terbukti ketika BEM UI demonstrasi maka rektorat memanggil, itu bagian dari pengondisian-pengondisian itu," ucapnya.

"Daripada dibiarkan itu akan menjadi bahaya, lebih baik dipegang. Sehingga pemerintah bisa mengantisipasi kalau ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan," katanya lagi.

Baca Juga: Dewan Guru Besar UI: Usulan Revisi Statuta Bermula dari MWA dan Rektor

3. Penjelasan guru besar UI soal maksud revisi Statuta UI untuk politik 2024

Terkait Revisi Statuta UI, Bisa Menyumbang Suara untuk Pilpres 2024?Universitas Indonesia. (ui.ac.id)

Sebelumnya, Manneke menyatakan PP 75/2021 untuk agenda politik 2024. Menurutnya, saat ini ada sejumlah pihak yang sudah mencari peluang untuk meraih kekuasaan.

"2024 itu kan banyak yang cari peluang, jadi masalahnya ketika cari peluang itu kan banyak yang cari pintu masuk atau cari akses dari mana supaya peluang itu terbuka, maka tidak hanya orang luar, orang dari dalam UI sendiri kemudian menggunakan UI sebagai pintu masuknya, itulah sebabnya PP itu ada," ujar Manneke kepada IDN Times, Senin (26/7/2021).

Manneke mengakui PP 75/2021 itu terbit setelah ada usulan perubahan dari UI. Namun, pada awal perumusan usulan revisi statuta UI, rangkap jabatan rektor itu tidak pernah ada.

"Tiba-tiba nongol PP 75, makanya civitas UI pada kaget kenapa bisa secepat itu, karena kita tahu di dalam Majelis Wali Amanat itu ada beberapa orang pejabat atau mantan pejabat tinggi yang bisa membuka jalan supaya cepat," katanya.

Manneke menyebut, PP 75/2021 ini merupakan cara untuk membuka pintu UI bagi orang yang ingin berpolitik. Menurutnya, dengan cara tersebut UI ingin digunakan sebagai alat berpolitik.

"jadi itu adalah cara untuk membuka pintu UI supaya makin banyak orang luar khususnya yang berafiliasi politik bisa masuk, dan itu eksplisit di pasal-pasal yang diubah itu memang membuka pintu syarat-syarat gak boleh parpol itu hilang semua," ujarnya.

Menurutnya, orang yang menginginkan kekuasaan saat ini berlomba-lomba untuk masuk UI. Tak hanya itu, kata dia, bagi internal UI yang tak ingin mendapat jabatan juga ikut terlibat.

"Orang-orang UI-nya juga ada yang ingin gak cukup puas dengan berada UI saja, ingin masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Jadi ketemu kepentingan busuknya itu, ketemu. Itulah PP 75," ujarnya.

4. Usulan agar Statuta UI direvisi datang dari Majelis Wali Amanat dan rektorat

Terkait Revisi Statuta UI, Bisa Menyumbang Suara untuk Pilpres 2024?(Anggota pansel capim KPK periode 2019-2023 Harkristuti Harkrisnowo) Dokumentasi UI

Sebelumnya, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, usulan agar Statuta UI direvisi datang dari Majelis Wali Amanat (MWA) dan rektorat. Pihak Dewan Guru Besar (DGB) ketika itu belum melihat adanya urgensi agar statuta segera diubah.

Menurut perempuan yang juga menjadi pengajar hukum pidana dan kriminologi itu, dorongan revisi baru dimulai pada 2020. Informasi tersebut berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh anggota MWA dari unsur mahasiswa, Ahmad Naufal Hilmy, yang mengatakan revisi statuta sudah direncanakan sejak akhir 2019 lalu. 

"Waktu itu menurut kami (DGB) tidak ada yang membuat kami harus segera melakukan revisi. Kemudian, karena diminta (untuk revisi) ya sudah kami lakukan. Yang minta (agar statuta direvisi) adalah MWA dan rektor," ujar Harkristuti yang akrab disapa Tuti kepada IDN Times melalui telepon, Senin malam, 26 Juli 2021. 

Rektor UI, Ari Kuncoro, kemudian mengirimkan surat kepada Mendikbudristek terkait revisi statuta pada akhir 2020. Lalu, MWA kemudian mengabarkan bahwa Mendikbudristek meminta agar statuta direvisi. 

"Jadi, kami bingung sebenarnya yang meminta (agar statuta direvisi) itu dari pihak UI atau menteri," kata dia. 

Tuti menjelaskan, sesuai aturan yang berlaku di kampus, maka revisi statuta harus melibatkan empat organ yakni MWA, Rektor, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar. Masing-masing organ itu, katanya, harus mengajukan rancangan revisi statuta. 

"Ketika itu karena dari DGB belum siap, jadi kami pakai rancangan naskah yang diajukan dari pihak Senat Akademik. Kemudian dilakukan rapat di antara empat organ tersebut untuk membahas mengenai revisi statuta," tutur dia lagi. 

Menurut Tuti, setelah dilakukan rapat dengan empat organ, dicapai kata sepakat bahwa statuta akan direvisi. Begitu juga PP nya. Ia mengatakan, rapat-rapat itu dilakukan pada rentang Juni 2020 hingga September 2020. Sejumlah rapat dilakukan di Kemenristikdikti, Sekretariat Negara hingga di Kemenkum HAM. 

"Tapi, gak ada lah (usulan awal di revisi statuta) yang menyinggung soal rektor boleh rangkap jabatan," tutur dia lagi. 

Rancangan statuta yang direvisi kemudian dikirim ke Kemendikbud pada Juni 2021. Sehingga, Tuti mengaku bingung bila ada pernyataan yang disampaikan oleh pihak tertentu bahwa tidak ada kata sepakat di dokumen revisi awal statuta. Sebab, saat ia mengikuti rapat naskah statuta yang akan digunakan yakni versi DGB dan Senat Akademik. 

Sementara, sejak Oktober 2020, DGB dan Senat Akademik tak lagi dilibatkan di dalam rapat antara UI dengan sejumlah kementerian tersebut. Padahal, menurut Tuti, DGB dan SA sempat dijanjikan akan dilibatkan dalam rapat tersebut.

"Jadi, kalau ada yang bilang tidak ada kata sepakat berarti itu kan suatu pembohongan publik," ujarnya. 

Maka, Tuti dan koleganya di DGB terkejut ketika mendapatkan salinan PP Nomor 75 Tahun 2021. Sebab, isinya bertentangan dengan naskah yang sebelumnya sudah sempat disepakati bersama. 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya