[WANSUS] 24 Tahun Tragedi 98: Komoditas Politik Jelang Pilpres 2024

Keluarga korban Trisaksi diberi uang dan rumah

Jakarta, IDN Times - Dua puluh empat tahun sudah tragedi kerusuhan 1998 berlalu. Namun, hingga kini belum ada pelaku atau pihak bertanggung jawab yang diadili dalam kasus ini.

Peristiwa 1998 disebut sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, negara dianggap abai dan tak berdaya mengungkap kasus tersebut.

Di pertengahan Mei 2022, pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri BUMN Erick Thohir memberikan bantuan uang Rp750 juta dan rumah untuk keluarga korban tragedi Trisakti 98.

Lasmiati, salah satu orang tua korban tragedi Trisakti 98 menceritakan, ketika Airlangga memberikan bantuan modal usaha Rp750 juta itu, diklaim bahwa bantuan itu merupakan arahan dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

"Pak Jokowi memberikan tugas ke Pak Airlangga sama Erick Thohir untuk memberikan rumah sama modal kerja, sama Pak Menteri Perekonomian itu namanya bentuk tali kasih kepada ahli waris keluarga, anak kita yang berempat yang sudah ditembak oleh aparat negara yang sampai detik ini belum ada titik terang," ujar Lasmiati dalam acara Ngobrol Seru By IDN Times, Jumat (13/5/2022).

Namun, pemberian bantuan oleh Airlangga itu diduga sebagai ajang curi waktu untuk memulai kampanye menggaet simpati publik. Sebab, Airlangga yang diketahui sebagai Ketua Umum Partai Golkar akan maju sebagai capres 2024.

Begitu juga dengan Erick Thohir, meski tak bergabung dengan partai politik, mantan Ketua Tim Kemenangan Nasional Jokowi-Ma'ruf itu juga digadang-gadang bakal ikut memperebutkan kursi RI1.

Untuk menggali hal tersebut, IDN Times melakukan wawancara khusus dengan Ibu Lasmiati dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Berikut wawancaranya:

Baca Juga: Rindu Tak Berujung Lasmiati pada si Sulung, Korban Trisakti 1998

Pak Usman, 4 mahasiswa Trisakti jadi korban pada tragedi 98, tapi kasus HAM berat ini sampai sekarang belum juga tuntas, apa pendapat Anda?

Ya, memang kita sangat menyayangkan belum juga tuntasnya penyelesaian hukum yang adil terhadap peristiwa penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti. Bagaimanapun juga selama 24 tahun keluarga seperti Bu Lasmiati ada dalam semacam situasi penantian akan kehadiran keadilan, keadilan untuk anaknya, keadilan untuk keluarganya dan tentu saja keadilan yang diperjuangkan oleh Herry Hartanto dan kawan-kawannya, Elang, dan juga begitu banyak mahasiswa yang gugur di tahun 1998.

Ada tiga kendalanya, yang pertama yang paling menentukan adalah kendala politik, jadi dari ranah politik belum ada kemauan yang sangat kuat untuk memberikan keadilan yang sepenuhnya, ada 4 hak keadilan untuk keluarga dari mahasiswa yang gugur dalam peristiwa itu menurut hukum internasional.

Pertama adalah hak atas kebenaran, atau hak untuk tahu kebenaran, jadi kenapa anak saya ditembak? kenapa negara menggunakan peluru tajam? Kedua adalah hak untuk keadilan hukum legal justice, hak untuk melihat secara adil siapa sesungguhnya menembak anak saya dan siapa yang paling bertanggung jawab dalam penembakan itu, yang memerintahkan.

Dan ketiga, hak untuk mendapatkan semacam pemulihan ada istilah beragam, reparasi, kompensasi moral, kompensasi material, restitusi di berbagai negara, Argentina misalnya, tahun 2004 memberikan reparasi sebesar 30 miliar dolar untuk keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu. Ada yang diberikan rumah atas rumah mereka yang dirampas, ada juga anak-anak cucu dari keluarga korban yang diberikan jaminan pendidikan sampai ke perguruan tinggi, ada juga mereka yang diberikan layanan kesehatan seumur hidup, jadi ada banyak yang disediakan pemerintah Argentina misalnya, sebagai bentuk pemulihan hak korban dalam program reparasi, reparasi itu kita kenalnya memperbaiki, memperbaiki apa yang rusak.

Pemberian reparasi itu bukanlah pengganti kerugian dia, bukan retribusi anak-anak yang gugur atau disiksa dan meninggla dunia, itu adalah bentuk pengakuan negara atas kekejaman yang dilakukan oleh mereka.

Kenapa tidak dikatakan sebagai ganti kerugian? Tidak mungkin kehilangan anak-anak itu bisa diganti dengan apapun. Dan terakhir hak mendapat kepuasan, jadi hak untuk dapat jaminan bahwa ke depan peristiwa itu tidak akan terjadi lagi.

Akhirnya, kendala politik itu akan menjadi keseluruhan hak keadilan para keluarga tidak terpenuhi, kendala hukumnya sudah kita sering dengar antara Jaksa Agung dan Komnas HAM bolak-balik lempar berkas yang satu merasa lengkap yang satu kurang. Kendala teknis juga sering kita dengar antara dua lembaga itu.

Tapi yang paling menentukan adalah kendala politik, terlebih lagi karena pada masa-masa penembakan pada saat itu, paling bertanggung jawab mendapat promosi jabatan di masa sekarang. Ini yang saya kira menghambat penyelesaian Tragedi Trisakti 12 Mei 1998.

Baca Juga: Amnesty Sebut Komitmen Politik Kunci Utama Tuntaskan Tragedi Trisaksi

Ibu Lasmiati, bagaimana perasaan Anda menerima bantuan rumah dari Menteri BUMN Erick Thohir?

[WANSUS] 24 Tahun Tragedi 98: Komoditas Politik Jelang Pilpres 2024Lasmiati Syahrir, ahli waris korban Tragedi Trisakti 1998. (IDNTimes/Melani Putri)

Pak Jokowi memberikan tugas ke Pak Airlangga sama Erick Thohir untuk memberikan rumah sama modal kerja. Sama Pak Menteri Perekonomian itu namanya bentuk tali kasih kepada ahli keluarga anak kita yang berempat, yang sudah ditembak oleh aparat negara yang sampai detik ini belum ada titik terang, kita kan keluarga menunggu sebetulnya yang menembak pelaku anak kita itu dalangnya siapa? Sampai detik ini kan belum ada titik terang.

Pak Jokowi ini memberi tali kasih kepada ahli waris, terus dia beri pesan, kata Pak Jokowi, "kejahatan kemanusian tahun 98 harus dituntaskan tidak bisa ditunda lagi', ya saya dengar pesannya Pak Jokowi ke Menteri Perekonomian itu positif, mudah-mudahan Pak Jokowi bisa mendesak terus.

Sekarang kalau Pak Jokowi ada kemauan untuk menuntaskan kasus ini dengan pernyataannya itu, tapi kan tergantung dari Jaksa Agung dan Komnas HAM, itu dari dulu bertahun-tahun dia bikin bola, katanya dari Kejagung kurang ini, dari Komnas HAM kurang ini, jadi seakan dibikin bola pimpong, jadi gimana kalau gak ada kemauan dari Komnas HAM dan Kejagung dan para anggota DPR yang menikmati hasil perjuangan anak kita, tolonglah supaya didorong dari para anggota DPR supaya menuntaskan kasus ini, supaya terang benderang kebenaran diungkap.

Masalah pemberian rumah dan pemberian modal kerja itu saya ucapkan terima kasih bahwa pemerintah itu sudah mengakui perjuangan kita, dan mengakui bahwa anak kita kena kejahatan manusia yang dilakukan oleh negara.

Berarti Pak Jokowi secara langsung mengakui ketika bertemu dengan keluarga korban?

Pak Jokowi itu (melalui) Pak Airlangga yang hadir di kuliah terbuka di Universitas Trisakti mengatakan, 'tadi saya sebelum ke sini saya sudah menemui Pak Jokowi', Pak Jokowi pesan, statemen-nya seperti itu, katanya (penyelesaian) kejahatan tahun 98 mahasiswa berempat ini tidak bisa ditunda-tunda lagi, harus segera dituntaskan, ya saya pihak keluarga mendengar statemen Pak Jokowi itu, saya berharap aja supaya benar-benar terlaksana itu.

Kan begini, walaupun kita diberi rumah, diberi modal kerja, tidak bisa untuk menggantikan nyawa anak kita, kemarin juga di halal bihalal alumni 98 saya katakan juga ke Pak Erikc Thohir, kalau ini saya dikasih ya saya ucapkan terima kasih, tali kasih diberikan dari negara ke kita, tapi tetap kan gak bisa menggantikan nyawa anak kita. Tapi kita berharap keadilan untuk almarhum ini betul-betul ada keadilan yang terungkap, kasus ini supaya jelas dan gamblang walaupun sudah 24 tahun.

Berarti ibu nantinya akan terus berjuang menuntaskan kasus tragedi Trisaksi ini meskipun sudah diberi uang dan modal kerja?

Iya, bukan masalah uang, bukan masalah rumahnya, ini sudah 24 tahun kita menunggu dan menunggu, kita mau berjuang para alumni 98 dari Trisakti yang bisa memperjuangkan kasus ini supaya bisa dilaksanakan statemen dari Pak Jokowi itu bisa dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung terus sama Komnas HAM, terutama para elite politik yang duduk di DPR, dia kan alumni 98 juga banyak yang duduk jadi anggota DPR.

Sejauh ini keluarga korban mendapat update kasusnya setiap berapa lama, apakah setahun sekali?

Ya sampai sekarang saya belum mendapatkan laporan, ini kan sudah 24 tahun, ini kan kita menunggu-menunggu gak ada laporan.

Kembali lagi ke Pak Usman, ini kan Erik Thohir dan Airlangga memberi bantuan rumah dan uang Rp750 juta, apakah ini bentuk intervensi pemerintah untuk mengaburkan kasus ini?

Saya menghargai pemberian tersebut, dan saya menghormati keputusan keluarga untuk menerima pemberian, baik itu uang dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto maupun pemberian rumah dari Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara.

Tapi dalam pandangan saya, pemberian material dari pemerintah kepada keluarga tragedi Trisakti itu harus ditempatkan sebagai pengakuan politik atas kekejaman di masa itu terhadap para mahasiswa, jadi itu mestinya diikuti dengan sebuah pernyataan resmi dari pemerintah untuk mengakui bahwa negara telah salah, telah menembak (anak) Ibu Lasmiati, telah menembak (anak) Ibu karsiah dan seterusnya.

Yang kedua, pemberian material tidak bisa dianggap sebagai politik penggantian kerugian atas kehilangan anak-anak mereka, itu tidak akan tergantikan sampai keadilan benar-benar dirasakan oleh keluarga, dan pemberian material itu juga tidak bisa menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi empat jenis hak yang tadi saya sebutkan di awal sebagai wujud tanggung jawab negara untuk memberikan keadilan kepada para keluarga.

Sekarang pertanyaannya, apakah Pak Menko Perekonomian yang juga Ketum Partai Golkar dan Pak Erick Thohir memberikan materiil dalam bentuk rumah atau uang, apakah memang itu dimaksudkan sebagai awal dari kebijakan politik pemerintah untuk memberikan keadilan kepada keluarga? Jadi, ada pertanyaan-pertanyaan moral dari pemberian meterial itu, apakah itu memang dimaksudkan untuk memenuhi rasa keadilan atau untuk apa? Atau sekadar sebuah darma kebaikan sosial, dan saya rasa tidak salah. Kalau itu ditempatkan di dalam konteks penyelesaian tragedi Trisakti akan jauh lebih tepat dan lebih mulia.

Apakah kasus Tragedi Trisakti dan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya juga bakal jadi komoditas politik jelang Pemilu 2024?

[WANSUS] 24 Tahun Tragedi 98: Komoditas Politik Jelang Pilpres 2024Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (IDN Times/Aldzah Aditya)

Ini juga pertanyaan yang penting, kalau tadi saya bicara pertanyaan-pertanyaan moral, tentang keadilan, tentang pengakuan, ini tentang pertanyaan politik, pertanyaan politik ini wajar muncul karena memang dari segi momentum saat ini banyak sekali tokoh politik, pejabat pemerintah, politisi yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu, segala cara dilakukan, memperkenalkan diri, mempromosikan diri melalui beberapa cara yang sering berada di batas abu-abu antara kapasitasnya sebagai orang yang ingin maju di dalam kontestasi politik atau orang yang murni mewakili negara, ingin memberikan keadilan kepada keluarga.

Jadi saya kira pertanyaan politik ini muncul dan bisa dikatakan wajar karena selain momentum politik dan dua sosok tersebut, Airlangga dan Erick, dalam perbincangan di masyarakat dan di media massa, merupakan sosok yang sedang mempersiapkan diri untuk mencalonkan sebagai presiden. Sampai di titik itu muncul kekhawatiran politisasi hanya untuk komunitas politisasi saja.

Kalau itu terjadi, saya tentu agak kecewa, tapi saya tidak berprasangka buruk juga dan saya punya harapan sekaligus tantangan kepada beliau-beliau itu untuk menempatkan pemberian itu dalam kerangka yang lebih resmi sebagai pemerintah dan dengan pengakuan, sekaligus juga membuktikan kalau itu bukanlah politik pencitraan, bukan politik elektoral untuk meningkatkan popularitas, elektabilitas melainkan benar-benar didasarkan pada niat yang tulus, kemauan politik yang tinggi untuk menghadirkan keadilan, dan jangan lupa pertanyaan politik tadi itu muncul, karena misalnya begini, kalau tragedi Trisaksi dilihat dari persoalan hukum, persoalan hak asasi manusia, kenapa yang memberikan bukanlah Menteri Hukum dan HAM.

Kalau mau menempatkan lebih luas dalam persoalan politik hukum dan keamanan, kenapa tidak ada Menko Polhukam, kalau benar ada katakanlah instruksi dari Presiden Joko Widodo kepada Menteri BUMN Erick Thohir bahwa pemberian rumah itu yang menggunakan Bank Tabungan Negara atas nama presiden, kenapa tidak presiden langsung turun, kenapa tidak ada penjelasan dari Menteri Sekretaris Negara, kenapa tidak ada penjelasan resmi seperti itu?

Itu yang memunculkan pertanyaan politik yang wajar, sehingga ada muncul pertanyaan tragedi Trisaksi sebagai komunitas politik dan banyak pertanyaan lain yang muncul, kenapa keluarga Trisakti saja misalnya, saya dihubungi oleh beberapa orang tua dari mahasiswa yang gugur dalam peristiwa Semanggi, atau Semanggi I, Semanggi II, tidak semua, beberapa.

Bukan mereka mau mengatakan mengapa saya tidak diberi rumah, bukan, mereka bukan sosok seperti itu, Ibu Sumarsih mengatakan, saya ingin keadilan, saya ingin ada hukuman terhadap para pelaku. Itulah yang bisa mengobati luka saya atas kehilangan anak saya di tahun 98.

Tapi ada juga yang sekadar bertanya netral, kenapa ya Bang Usman hanya Trisaksi? Ini yang harus dijawab oleh pemerintah, khususnya oleh Menko Perekonomian dan Menteri BUMN, artinya bagaimana pilihan itu jatuh pada Trisakti saja. Padahal tragedi Trisaksi dalam bertahun-tahun selalu disebut sebagai peristiwa dari rangkaian represi negara terhadap para mahasiswa dan itu meliputi tragedi Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II.

Kalau kita elaborasi lebih jauh lagi, peristiwa Trisaksi itu peristiwa represi di Bulan Mei yang diawali dengan misalnya tewasnya Moses Gatot Kaca dari Universitas Sanatadarma di Yogyakarta atau Universitas Pakuan di Bogor, atau penculikan yang terjadi di tanggal 13-15 Mei selama kerusuhan terjadi atau selama September, Oktober, November menjelang sidang istimewa, baik itu di Jakarta, di Lampung, baik itu terhadap mahasiswa Universitas Atmajaya, Universitas Yai, Unila misalnya atau terhadap mahasiswa UI seperti Yap Yun Hap yang meninggal dunia karena tertembak peluru tajam.

Jadi saya kira banyak sekali pertanyaan yang ditinggalkan oleh seremoni pemberian materi berupa rumah, uang, seperti tadi saya katakan saya menghargai sebagai orang yang berasal dari keluarga Trisakti, dan saya menghargai keputusan keluarga mereka yang kehilangan anak-anak mereka, mereka juga punya hak, punya kebebasan untuk menentukan haknya.

Kalau analisis Pak Usman, mengapa hanya dari Trisakti yang dapat bantuan, apakah karena ini dianggap ampuh untuk mendulang suara di Pilpres 2024?

Nah, itu yang bisa jawab sebetulnya mereka yang mengambil inisiatif itu ya, tapi saya kira pasti ada kalkulasi elektoral, ada kalkulasi suara dipertimbangkan kalau benar pemberian itu memiliki motivasi politik elektoral dan bukan politik keadilan, dan kalau ada politik keadilan masih diwarnai harapan agar keluarga Trisakti juga memberikan dukungan atau mungkin mengampanyekan dukungan kepada dua menteri tersebut.

Saya tidak ingin terjebak di dalam satu skeptisisme, saya justru coba menganggap peristiwa itu sebagai tantangan. Artinya, dalam sebuah kehidupan negara yang demokratis, pemilu adalah sarana di mana setiap orang punya hak menominasikan dirinya, mencalonkan diri untuk dipilih dan juga memilih. Dalam pemilu itu juga setiap sosok yang menjadi kontestan pemilu, tentu berhak menyampaikan pikirannya, menyampaikan tindakannya yang katakanlah diyakininya sebagai bukti dia lebih baik.

Saya kira wajar juga kalau para kontestan pemilu itu mengambil langkah-langkah seperti ini, tinggal apakah pemberian itu bisa dibuktikan sebagai satu komitmen dari keduanya. Saya membayangkan kedua menteri itu mengumumkan bersama Menko Polhukam, bersama Presiden, bahwa apa yang diberikan itu adalah langkah awal sebagai pengakuan resmi negara tentang tragedi Trisaksi dan akan dilanjutkan dengan tragedi Semanggi I, Semanggi II.

Demikian pula bahwa negara akan mengambil langkah hukum segera untuk membuka kembali peristiwa-peristiwa tersebut dan mencari tahu siapa yang menembak para mahasiswa tersebut, dan siapa yang memerintahkan dan siapa yang paling bertanggung jawab.

Itu yang sebenarnya sangat kita nantikan, mungkin terdengar berlebihan tapi selalu kita perlukan standar tertinggi itu untuk menguji kebajikan dari sebuah perbuatan, dan memang dia mengarah ke mencari keadilan atau tidak.

Ibu Lasmiati, selama 24 tahun menuntut keadilan, apakah pernah ada intimidasi yang diterima oleh keluarga?

Gak ada, cuma 24 tahun baru kali ini negara mengakui ini, dan saya juga bersyukur negara sudah mengakui perjuangan anak kita.

Terakhir untuk Pak Usman, tadi disebutkan harusnya Menko Polhukam yang memberikan santunan tersebut, apakah ini bagian dari start kampanye dari Pak Airlangga dan Pak Erick Thohir?

Itu yang dari tadi sebenarnya coba berhati-hati untuk menjawabnya, dan saya tidak mengatakan seharusnya Menko Polhukam, tapi mengapa Menko Polhukam tidak ikut serta, mengapa Menteri Hukum dan HAM tidak ikut serta, dan tragedi seperti ini satu acara sepenting itu, dan katakanlah kalau ini merupakan pengakuan resmi negara, maka menjadi sangat mulia dan karena semulia itu mestinya Presiden juga buka suara. Saya setuju dari Bu Lasmiati, kita tunggu pernyataan Presiden bahwa peristiwa penembakan brutal aparat di Trisakti itu diakui sebagai kejahatan kemanusiaan.

Itu adalah jenis kejahatan yang dianggap oleh undang-undang Indonesia dan undang-undang di tingkat dunia sebagai pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang paling serius.

Karena dianggap pelanggaran HAM berat dalam kategori kejahatan kemanusiaan atau kejahatan paling serius di dunia, maka sampai kapan pun kasus ini tidak bisa dihentikan. Kasus ini tidak mengenal kedaluwarsa, pelaku dari kedaluwarsa ini tidak bisa diampuni atau diputihkan begitu saja, kecuali keluarga korban yang memaafkannya dan kejahatan seperti ini juga tidak bisa dibatasi oleh asas-asas hukum, oh ini sudah diadili di pengadilan militer, kan sering ada argumen untuk mengatakan Trisakti sudah selesai karena dibawa ke pengadilan militer.

Dalam kategori kejahatan kemanusiaan, maka pelakunya di kemudian hari jika diadili tidak bisa beralasan, bahwa dia pernah diadili, karena itu tidak bisa. Jadi, tidak bisa mengesampingkan tanggung jawab pelaku atas kejahatan kemanusiaan.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya