Mengenal 4 Pahlawan Indonesia dari Negeri Penjajah

Mereka berjuang dengan tulisan hingga mempertaruhkan nyawa

Jakarta, IDN Times - Pahlawan merupakan gelar untuk orang yang dianggap berjasa pada banyak orang. Pahlawan adalah orang yang berjuang dalam mempertahankan kebenaran.

Dalam sudut pandang kenegaraan dan kebangsaan, seseorang dijuluki pahlawan karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan negara dan bangsa untuk memperoleh atau mempertahankan kemerdekaannya.

Dalam kacamata kenegaraan itu, biasanya, seorang pahlawan berjuang karena mencintai negeri dan tanah tumpah darahnya. Lalu adakah orang yang berjuang untuk merebut atau mempertahankan kemerdekaan negara atau bangsa yang bukan tanah tumpah darahnya? Jawabannya ada.

Dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak sekali orang dari luar Indonesia bahkan dari bangsa penjajah itu sendiri yang ikut berjuang bersama. Mereka menulis, berdebat, bahkan bertempur atas nama kemanusiaan, membantu kemerdekaan bangsa yang dijajah negaranya. Berikut 4 nama pahlawan asing yang berperan penting dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia:

Baca Juga: Jadi Bukti Sejarah, Rumah Multatuli di Lebak Segera Direvitalisasi  

1. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker

Mengenal 4 Pahlawan Indonesia dari Negeri PenjajahIDN Times/Muhamad Iqbal

Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Dia meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun.

Orang Indonesia bahkan Eropa mengenalnya sebagai Multatuli, nama pena yang diambil dari bahasa Latin yang berarti "banyak yang aku sudah derita".

Multatuli adalah penulis asal Belanda yang terkenal dengan roman Max Havelaar (1860). Roman tersebut berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Dikisahkan, roman Max Havelaar ditulis langsung dari pengalamannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) kerajaan Belanda. Kala itu Multatuli menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Banten.

Dalam roman Max Havelaar, Multatuli menumpahkan semua pengalamannya seperti kisah kejinya para bupati, pejabat masa feodalisme yang dimanfaatkan kerajaan Belanda untuk ikut mengambil pajak dari rakyat.

Juga ada kisah cinta Saija dan Adinda, merupakan salah satu bab dalam roman tersebut. Singkat cerita, terbitnya buku roman itu membuka mata publik Belanda bahkan Eropa. Kaum liberalis Belanda yang menganggap sistem penjajahan Belanda sudah keterlaluan, akhirnya menekan pemerintahan kerajaan Belanda untuk memperbaiki keadaan di tanah jajahannya.

Atas desakan itu, lalu muncullah program politik etis atau politik balas budi dengan gerakannya adalah menciptakan sekolah-sekolah standar Belanda untuk masyarakat pribumi.

Sosok Multatuli menginspirasi banyak tokoh Indonesia. Sukarno, Tan Malaka, Hatta, Pramudya Ananta Tur hingga WS Rendra.

Pramudya Ananta Tur di New York Times pada 18 April 1999 bahkan menulis, "Max Havelaar adalah buku yang membunuh kolonialisme".

2. Douwes Dekker alias doktor Setiabudi

Mengenal 4 Pahlawan Indonesia dari Negeri PenjajahYoutube/SAPMA MRM

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau dikenal sebagai Douwes Dekker atau Dr. Setiabudi lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879. Dia meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun. Dia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Darah pejuangnya lahir dari kerabatnya, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Douwes Dekker adalah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Ia merupakan penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda.

Ia adalah wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

3. Johannes Cornelis 'Poncke' Princen

Mengenal 4 Pahlawan Indonesia dari Negeri PenjajahDok. Istimewa

Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal sebagai Poncke Princen merupakan pria kelahiran Den Haag, Belanda, 21 November 1925. Dia meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76 tahun. Princen pangilan khasnya, merupakan pejuang kemanusiaan Indonesia di tiga zaman. Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru.

Dalam buku outobiografinya: "Poncke Princen, Kemerdekaan Memilih", diceritakan kisahnya bermula pada 1943, tentara Nazi Jerman mulai menginvasi dan menduduki Belanda. Dia pun dikirim ke kamp konsentrasi di Vught, lalu dikirim lagi ke penjara Kota Utrecht.

Di akhir 1944, sesaat setelah dia bebas dari Jerman, dia kembali ditahan oleh Pemerintah Belanda. Alasannya, dia menolak wajib militer. Singkat cerita, di tengah kondisi yang sangat kritis tersebut, dengan terpaksa ia masuk dinas militer dan dikirim ke wilayah jajahan Belanda di timur, yang sudah mendeklarasikan kemerdekaan, yaitu Indonesia.

Pada 1948, bukannya berperang melawan rakyat Indonesia, Princen malah berpindah kubu melawan negara dan bangsanya sendiri. Hal ini dapat dipahami karena pengalamannya merasakan penjajahan Nazi Jerman atas Belanda.

Setelah disersi, ia kemudian bergabung dengan pasukan Siliwangi di bawah komando Kemal Idris. Kemal Idris sangat mempercayai tugas-tugas tempur kepada Princen. Princen sendiri diberi pasukan yang tergabung dalam unit pasukan istimewa. Dia dan pasukannya sangat merepotkan tentara Belanda. Hingga akhirnya Belanda  membentuk unit khusus untuk menangkap hidup atau mati Princen.

Suatu ketika, Princen yang jatuh cinta kepada gadis Sunda bernama Odah, memutuskan masuk Islam dan menikahi Odah. Nahas, saat usia kandungan Odah berumur 8 bulan, Princen harus patah hati mendalam mengetahui istrinya tewas dengan luka besar di kepala, akibat penyergapan pasukan khusus Belanda yang memburu Princen.

Princen yang selamat dari pengepungan itu sangat putus asa melihat istri tercinta dan 20 pasukannya tewas. Atas perjuangannya, pada 1949, Presiden Sukarno menganugerahinya Bintang Gerilya.

Perang usai, namun perjuangan dalam kemanusiaan Princen belum usai. Princen sendiri sempat beberapa kali keluar masuk penjara di era Orde Lama. Sikapnya yang kritis terutama pada kasus kriminalisasi lawan politik Sukarno atau PKI kala itu, membuatnya dipenjara selama beberapa tahun dalam dekade 1960-an.

Kala rezim Orde Baru berkuasa, Princen sempat membuat pemerintahan Soeharto murka. Tulisan investigasi atas pembantaian anggota dan simpatisan PKI di Jawa Tengah yang dimuat di beberapa media, membuat rezim menyebut berita itu disebarkan oleh seorang “komunis kesiangan”.

Dalam catatan sejarah, bahkan tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Jawa Tengah Moenadi menuduh Poncke sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Sebuah tuduhan yang tentu saja sangat aneh, mengingat Princen juga mengkritik keras Sukarno dan PKI di rezim sebelumnya.

Pada 1980, upaya penegakan HAM Princen semakin kuat. Akhirnya dia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Tidak hanya itu, ia juga aktif sebagai seorang pengacara, membela korban pembantaian Tanjung Priok pada 1984. Dia bahkan juga membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Menteri Dalam Negeri Rudini, pada 1989.

Princen bahkan sempat diserang oleh Ketua Komnas Ham kala itu bernama Ali Said, dengan tulisan “sekali pengkhianat tetap pengkhianat”, karena pembelaannya kepada para aktivis pro kemerdekaan Timor Leste.

Membaca kisah Poncke Princen ini membuat kita berpikir bahwa kini sangat sulit sekali menemukan sosok seperti itu dengan seluruh teladannya.

4. Laksamana Muda Tadashi Maeda

Mengenal 4 Pahlawan Indonesia dari Negeri Penjajahwikimedia.org

Laksamana Muda Maeda Tadashi lahir di Kagoshima, Jepang, 3 Maret 1898. Dia meninggal 13 Desember 1977 pada umur 79 tahun. Ia merupakan perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Dunia II.

Selama pendudukan Indonesia di bawah Jepang, ia menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang.

Laksamana Muda Maeda memiliki peran yang cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia. Dia memberikan rumahnya yang berada di Jl. Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Sukarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo, ditambah sang juru ketik Sayuti Melik. Selain itu, dia juga bersedia menjamin keamanan bagi mereka.

Tentu saja keputusannya itu berisiko. Karena kala itu kekaisaran Jepang sendiri sudah menyerah kalah pada sekutu, sehingga seharusnya Maeda tak berhak lagi memutuskan tindakan di Indonesia. Namun berkat keberanian dan nuraninya, Maeda turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia.

Pada masa Orde Lama, nama Maeda sempat menjadi nama jalan di sekitar Monumen Nasional (Monas) atau dikenal dengan nama Jalan Merdeka. Kini bekas kediamannya itu menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Baca Juga: 5 Orang Asing yang Berjasa Membantu Kemerdekaan RI

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya