Hotspot Meningkat hingga 144 Persen, Sumsel Masih Dikepung Karhutla  

Kebakaran diakibatkan cuaca dan kekeringan

Palembang, IDN Times - TItik api (hotspot) yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terdata dari satelit Lapan sejak Maret 2019 lalu, mendapati selama empat hari pada September ini jumlah titik api melonjak hampir 144 persen. 

Khusus Jumat (6/9) lalu, tercatat ada 154 titik, sedangkan Minggu (8/9), melonjak menjadi 353 titik, dan Senin (9/9) ini menjadi 376 titik.

"Memang saat ini ada peningkatan yang cukup drastis dari jumlah titik api sebelumnya, terhitung sudah 371 titik api yang terpantau," jelas Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan, Ansori, saat dihubungi IDN Times, Senin (9/9).

1. Cuaca, kekeringan jadi faktor titik api cepat menyebar

Hotspot Meningkat hingga 144 Persen, Sumsel Masih Dikepung Karhutla   IDN Times/Rangga Erfizal

Ansori mengungkapkan, kenaikan hotspot secara drastis itu patut diwaspadai. mengingat, kenaikan tersebut bisa melompati tingkatan titik api pada Agustus 2019 yang mencapai 187 titik pada tanggal 19 Agustus. 

"Memang saat ini kondisi lahan di berbagai kabupaten/kota di Sumsel sudah sangat kering, cuaca juga cukup panas dan tiupan angin yang kencang, sehingga penyebaran kebakaran cukup cepat," ungkapnya.

2. 6 Helikopter Water bombing dikerahkan padamkan api

Hotspot Meningkat hingga 144 Persen, Sumsel Masih Dikepung Karhutla   IDN/Istimewa

Ansori menjelaskan, titik api terbanyak hingga hari ini tersebar di Kabupaten OKI dengan 128 titik api, Muba 94 titik api, Banyuasin 62 titik api dan OI 23 titik api. Menurut dia, pada beberapa wilayah titik api sudah menjadi kobaran api yang mengakibatkan karhutla.

Untuk mengantisipasi luasan lahan yang terbakar, sambungnya, pihak satgas karhutla mengerahkan 6 helikopter water boombing, 1 heli patroli dan 1 cessna guna memantau wilayah yang tingkatan titik apinya telah meningkat.

"Hari ini kita lakukan pemadaman lahan di Tulung Selapan, Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI dan Soak Batok, Kabupaten OI. Dua wilayah itu yang tingkatan hotspotnya sudah 100 persen," jelas Ansori.

3. Kebakaran banyak terjadi di lahan gambut

Hotspot Meningkat hingga 144 Persen, Sumsel Masih Dikepung Karhutla   IDN/Istimewa

Ansori melanjutkan, tingkat kepercayaan terhadap kebakaran yang terpantau di satelit akan meninggi seiring suhu yang terdeteksi. Namun, tidak jarang tingkat kepercayaan yang rendah di bawah 30 persen pun merupakan karhutla, apabila terjadi di lahan gambut.

"Jadi kalau kebakaran di bawah lahan gambut hanya muncul asap saja tidak terlihat api. Makanya kalau sudah ada hasil citra satelit, nanti tim dari Dinas Kehutanan mengecek apakah itu di lahan gambut. Kalau lahan gambut harus dipantau dari udara, karena kalau api sudah ke permukaan kebakarannya sudah sangat luas," tukas dia.

Baca Juga: Kondisi Sumsel 2019, Diantara Ancaman Kekeringan & Bencana Karhutla 

4. Walhi nilai dua bulan terakhir karhutla ada di wilayah Hutan Tanaman Industri

Hotspot Meningkat hingga 144 Persen, Sumsel Masih Dikepung Karhutla   IDN Times/Rangga Erfizal

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel menilai, karhutla yang terjadi di Sumsel dalam dua bulan terakhir di dominasi oleh Hutan Tanaman Industri (HTI) atau perusahaan perkebunan dan tanaman hutan.

"Ini menjadi gambaran, jika lahan konsesi yang pemerintah berikan kepada perusahaan, juga masih tidak terjaga oleh perusahaan. Lahan-lahan itu menyumbang hotspot di kamarau tahun ini, kejadian ini berulang setiap tahunnya," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M Hairul Sobri.

Sobri mengatakan, pemerintah harus tegas dengan tindakan perusahaan yang tidak menjaga lahan itu. Berdasarkan data Walhi, konsensi milik perusahaan perkebunan menyumbangkan titik api lebih tinggi, yakni 149 titik api. Kemudian, disusul oleh lahan konsesi yang dimiliki oleh perusahaan kayu, menyumbang 136 titik api dan lahan dengan izin pertambangan sebanyak 35 titik api. Data tersebut didapat selama periode Agustus hingga 8 September.

"Ini menjadi dasar, bahwa perusahaan terutama yang sudah mengantongi izin konsesi, tidak mampu menjaga lahannya. Baik tidak mampu dalam artian lalai, atau memang sengaja guna menekan biaya produksi (pembukaan lahan)," tandas Sobri.

Topik:

  • Sidratul Muntaha

Berita Terkini Lainnya