Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban Moril

Komariah, guru SD Cabang Muhammadiyah 4 filial Desa Saluran

Palembang, IDN Times -Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan ( Pemprov Sumsel) memang memprioritaskan anggaran pendidikan. Hanya saja, besaran anggaran tersebut belum sepenuhnya menyentuh seluruh sekolah yang benar-benar membutuhkan.  

Kalau merujuk bagaimana wajah Sekolah Dasar (SD) Cabang Muhammadiyah 4 Filial, di Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, sepertinya sekolah ini termasuk yang belum mendapat perlakuan seperti sekolah lainnya. 

Secara administrasi, sekolah ini memang masuk kawasan Pemkab Banyuasin. Namun, lokasinya lebih dekat pada di Kota Palembang, walau berada di pinggiran kota. Karena faktor tersebut, SD Cabang Muhammadiyah 4 Filial ini memilih menginduk ke Dinas Pendidikan Kota Palembang. 

Butuh waktu sekitar satu jam dari pusat kota Palembang, bagi IDN Times menuju ke lokasi sekolah tersebut. Dengan kondisi jalan tanpa aspal dan berlubang, akhirnya sampai juga ke Desa Saluran. Setelah berada di lokasi, baru tampak bangunan sekolah yang sebenarnya.

Dinding bangunan sekolah ini masih berbentuk separuh jadi, atau belum dilapisi semen. Atapnya seng yang sudah berkarat tanpa plafon, sedangkan jendelanya hanya terbuat dari susunan beberapa kayu tanpa kaca, gorden dan daun jendela.  

1. Guru SD Cabang Muhammadiyah 4 filial yang pernah tak dapat gaji selama dua tahun

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilSeorang Siswa SD Filial dalam aktivitas belajar mengajar (IDN Times/Rangga Erfizal)

Siti Komariah (29), satu-satunya tenaga pengajar di sekolah itu, tetap setia membantu anak- anak petani untuk mendapat hak pendidikan seperti anak-anak di tempat lain. 

Guru yang kerap disapa Bu Komariah itu setiap hari mengajarkan ilmunya kepada anak-anak petani kebun di wilayah tersebut. Dirinya bertekad, kelak anak-anak dari Desa Saluran ini mampu mengubah nasib orangtua mereka dan tentunya desa mereka.

Komariah menuturkan, sudah masuk tahun ke 6 baginya mengajar di SD Cabang Muhammadiyah 4 Palembang itu. Selama itu juga, Komariah selalu dihadapkan pada kebimbangan terhadap pilihannya, untuk meninggalkan anak-anak Desa Saluran tanpa sekolah. Apalagi, dia pernah tak menerima gaji selama dua tahun.

"Saya pernah merasakan sulit menimba ilmu, untuk sekolah saja susah, belum lagi daftar ulangnya. Makanya saya tidak mau murid saya terjebak pada kebodohan," ujar Komariah disela-sela waktu istirahat, Rabu (13/11) lalu.

2. Kondisi kehidupan warga Desa Saluran yang jauh dari sejahtera

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilSiswa kelas 2 sedang bercengkrama dikelas (IDN Times/Rangga Erfizal)

Dari semua yang dilihatnya di Desa Saluran, Komariah sudah terbiasa melihat kondisi dari kehidupan masyarakat setempat yang tidak sejahtera. Hal ini juga menjadikan motivasi Komariah untuk terus mengajarkan anak-anak Desa Saluran.

Apalagi, sebagai ibu rumah tangga, Komariah paham betul dengan pendapatan dari orangtua murid di Desa Saluran, yang terhitung ada 55 kepala keluarga. faktor lain yang membuat Komariah terus bertahan, karena semangat anak-anak di desa tersebut untuk mendapatkan pelajaran sangat tinggi.

"Terkadang, kalau sudah di sekolah, mereka tidak mau pulang. Karena mereka bisa belajar sambil bermain. Ini masa SD akan mereka lalui, saya mau mereka bisa keluar dari desa untuk melanjutkan ke SMP yang lebih baik," ungkap dia.

3. SD Cabang Muhammadiyah 4 filial berdiri tahun 2002 hasil swadaya masyarakat setempat

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilAktivitas belajar mengajar di Sma Muhammadiyah (IDN Times/Rangga Erfizal)

Awalnya, SD Cabang Muhammadiyah 4 filial ini berdiri atas swadaya warga desa pada tahun 2002, yang menginginkan anak-anaknya mendapat pendidikan dengan belajar di sekolah. Dimulai dari bahan seadanya, maka terbangunlah satu kelas untuk menampung semua siswa dari kelas 1 hingga kelas 6.

Setelah setahun berdiri, sekolah yang dibangun hasil swadaya masyarakat itu dilirik perguruan Muhammadiyah, yang pada saat itu masih di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Barulah kemudian Dinas Pendidikan Kota Palembang mengambil alih sejak satu tahun belakangan ini.

Menurut Komariah, sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa orangtua siswa memilih tidak menyekolahkan anaknya ke luar desa. Selain untuk mengantarkan anaknya sekolah ke Kota Palembang yang lumayan jauh, mereka juga harus berkebun. Sementara, penghasilan orangrua siswa dari berkebun dirasa tak mampu membayar sekolah di Palembang. 

"Sekolah ini berasal dari swadaya masyarakat, mulai dari bahan dan membuatnya dan di bantu oleh Muhammadiyah. Lalu satu tahun belakang akhirnya sekolah ini diurus oleh Dinas Pendidikan Palembang," ujar dia.

4. Mulai dapat gaji Rp500.000 per bulan dan kadang dipakai untuk membeli kebutuhan mengajar

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilKomariah satu-satunya guru yang mengajar di SD Muhammadiyah 4 filial (IDN Times/Rangga Erfizal)

Hanya satu ruangan dengan fasilitas super apa adanya, SD Cabang Muhammadiyah 4 filial tersebut harus berbagi kelas. Untuk siswa kelas 6 berada pada deretan paling kanan, sedangkan kelas satu di deretan paling kiri. Dengan satu papan tulis, Komariah harus membagi-bagi waktu mengajar anak-anak tersebut.

"Kalau sulit sudah pasti, karena saya harus mengajar satu-satu anak-anak tersebut. Seperti hari Rabu dan Sabtu saat pelajaran matematika, saya pasti mengajak suami saya untuk membantu mengajar, karena saya tidak bisa mengurus semuanya dalam satu waktu," jelas Komariah.

Alhamdulillah, ungkap Komariah, belakangan ini sudah mendapatkan gaji bulanan sebesar Rp500.000. Gaji itu juga dibayar bila SD Muhammadiyah induk sudah memiliki dana. Biasanya, Komariah mengambil gajinya bila sedang terdesak dan masih harus digunakannya untuk membeli spidol dan keperluan kelas lainnya.

"Seperti saat ini lagi tidak ada spidol jadi gak pakai papan tulis dulu, karena beli spidol peralatan sekolah pakai uang pribadi," jelas dia.

Komariah memberikan materi pelajaran pada muridnya sama seperti SD lain, yakni matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, pendidikan agama, Bahasa Inggris, PPKN, dan muatan lokal.

"Selama ini pakai kurikulum tingkat satuan pendidikan. Tetapi sekarang di rubah jadi kurikulum 2013. Kami terpaksa menggunakan kurikulum lama karena adanya buku hanya K13 itu," kata dia.

5. Saat tiiba musim ujian, anak-anak harus meninggalkan desa dan menginap di rumah warga

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilSuami dari Siti Komariah (29), Dika Arianto (39) membantu mengajar (IDN Times/Rangga Erfizal)

Selain beragam keterbatasan mengajar di Desa Saluran, Komariah juga dihadapkan kendala lain saat anak-anak menghadapi ujian kenaikan kelas. Karena mereka harus mengikuti ujian selama satu minggu di luar desa ke sekolah Induk, yang lokasinya di wilayah Sei Lais atau sekitar 10 kilometer keluar desa.

Nah, saat ujian tersebut murid-muridnya harus menginap di rumah warga atau rumah saudara Komariah untuk sementara waktu hingga ujian berakhir.

"Kalau ujian nasional kita ikut sekolah Induk yang ada di di Balai Makmur, kalau ujian itu anak-anak harus menginap. Mereka harus keluar uang kendaraan dan makan saja, karena menginap gratis," jelas Komariah.

6. Orangtua siswa bangga melihat guru Komariah tetap semangat mengajar anak-anak mereka

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilSutara, orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SMA Muhammadiyah 4 filial (IDN Times/Rangga Erfizal)

Sutara (39), orangtua murid SD Cabang Muhammadiyah 4 filial, mengatakan, mereka sangat terbantu dengan hadirnya sekolah tersebut. Karena, meski dihadapkan dengan terbatasnya ekonomi, mereka tidak perlu lagi menyekolahkan anaknya ke kota dan tetap bisa belajar di desa.

"Kalau sekolahnya gratis, paling keluar uang untuk transport anak-anak saja dan uang untuk ujian, karena mereka harus meninggalkan desa," kata dia.

Sutara melanjutkan, dulunya banyak guru yang mengajar di sekolah tersebut. Karena pernah tidak mendapatkan gaji, jadi yang tersisa hanya guru Komariah.

"Karena ibunya semangat mengajar, anaknya ikut semangat, saya tidak apa-apa keluar uang untuk mereka ujian dan pergi sekolah. Karena sekolahnya ini kan menyeberang sungai, jadi setiap bulan bayar Rp100.000," ujar dia.

7. Motivasi siswa SD Cabang Muhammadiyah 4 filial yang ingin mengubah nasib keluarga

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilVian (10) kelas 5 sd (IDN Times/Rangga Erfizal)

Sementara, Vian (10), siswa kelas 5 SD Cabang Muhammadiyah 4 filial menuturkan, setelah bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya, dia punya cita-cita untuk mengubah nasib keluarganya yang saat ini hidup dalam keterbatasan.

Dengan langkah tegap, Vian sehari-hari berjalan sekitar 1 kilometer dari rumah yang harus melewati sungai menyeberang untuk belajar di sekolah. Jalan alternatif lain lewat darat memang ada, tapi Vian harus menempuh satu jam perjalanan untuk sampai ke sekolah. Karena, kondisi desa mereka banyak rawa dan perkebunan, jadi Vian lebih memilih menyeberang menggunakan kapal.

"Pengen SMP ke luar desa, mau juga mengubah nasib keluarga," tuturnya penuh harap.

Baca Juga: Pemkot Palembang Tampung Anak Jalanan Belajar di Sekolah Filial 

8. Dinas Pendidikan Palembang hanya memperbaiki sekolah negeri

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilAktivitas belajar mengajar di sekolah tersebut (IDN Times/Rangga Erfizal)

Terpisah, Kasubag Perencanaan dan Pelaporan Disdik Palembang, Nasikun menerangkan, bahwa memang benar SD Cabang Muhammadiyah 4 filial masuk dalam wilayah Disdik Palembang. Hanya saja, pihaknya belum menganggarkan perbaikan untuk sekolah tersebut, karena sekolah itu di bawah Yayasan Swasta. Sedangkan, sekolah yang mendapatkan bantuan adalah sekolah negeri.

"Bisa mengajukan bantuan, tetapi ada kriteria, ada eksistensi, apa prestasinya. Karena mereka di bawah yayasan, kita tidak bisa serta merta menganggarkan bantuan," terang dia.

Nasikun menjelaskan, Disdik Palembang sendiri sudah mengajukan anggaran sebesar Rp70 miliar yang dikhususkan untuk perbaikan hampir 40 sekolah, ke APBD Palembang tahun 2020.

"Untuk jumlah SD negeri yang ada di Palembang itu berjumlah 324 sekolah, kalau swasta ada banyak Lagi. Tetapi untuk swasta kita tidak bisa berbuat banyak. Dari anggaran Rp70 miliar itu juga hanya sekitar 40 yang kita perbaiki," jelas dia.

Baca Juga: Buka Sekolah Filial, Pemkot Palembang Siapkan Kuota Awal 224 Kursi

9. Muhammadiyah justru meminta pemerintah turun tangan

Kisah Lara Guru di SD Terpencil, Dilema Tanpa Gaji dan Beban MorilSiswi SMA Muhammadiyah 4 filial Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Menanggapi kondisi SD tersebut, Ketua DPW Muhammadiyah Sumsel, Prof Romli mengatakan, pihaknya sudah langsung mengecek ke lapangan dan melihat kondisi sekolah yang memprihatinkan itu. Pihaknya juga sudah meminta bantuan dari ranting IT II untuk bantuan.

"Ini kan sekolah di wilayah terpencil. Sebenarnya sekolah ini juga semacam kelas jarak jauh, jadi sekolah filial, gedungnya itu belum layak dan terletak di desa terpencil dan mestinya pemerintah juga ada perhatian," tandas dia.

Topik:

  • Sidratul Muntaha

Berita Terkini Lainnya