Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah Luntur

Pergolakan yang terjadi karena ada bentuk kekecewaan

Banda Aceh, IDN Times - “Revolusi sosial meletus di Cumbok, Pidie (1946-1947).” “Perlawanan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh (1953-1959).” “Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dinaungi Hasan Muhammad Tiro (1976-2005).”

Tiga peristiwa di atas pernah terjadi di Aceh. Konflik berkesinambungan tersebut menyisakan tinta merah dalam catatan kelam pada sejarah perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituliskan sendiri oleh anak bangsa. Perbedaan pemikiran dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat, menimbulkan perlawanan yang berujung dengan mengangkat senjata.

Pergolakan yang terjadi melahirkan keraguan terhadap rasa nasionalisme orang Aceh. Padahal, fakta-fakta sejarah telah mencatat bahwa daerah berjulukan Tanah Rencong ini telah banyak berperan, baik sebelum hingga sampai mempertahankan di awal kemerdekaan Republik Indonesia.   

Seolah saling berbenturan, lalu bagaimana sebenarnya kecintaan orang Aceh kepada tanah air, Indonesia? Berikut ulasan dan penjelasan Sejarawan Aceh, Drs Mawardi MHum MA, mengenai rasa nasionalisme orang di tanah rencong.

1. Rasa nasionalisme orang Aceh tidak usah diragukan, sudah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturAlat perang peninggalan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Aceh yang disimpan di Museum Juang 45, di Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Drs Mawardi mengatakan, rasa nasionalisme yang dimiliki oleh orang Aceh tidak usah diragukan lagi. Kecintaan para pejuang terhadap tanah kelahirannya telah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia didengungkan.

Perlawanan rakyat terhadap invansi dan menghalau upaya kolonial dari sejumlah bangsa Eropa di wilayah Kesultanan Aceh merupakan salah satu bukti.

“Sebelum mendekati kemerdekaan Indonesia, rasa nasionalisme orang Aceh sebenarnya memang terbilang sudah tinggi. Itu bisa kita lihat dari beberapa fakta-fakta sejarah,” kata Drs Mawardi.

Baca Juga: 5 Sosok Inong Aceh yang Tak Gentar Melawan Belanda

2. Kesadaran kaum intelektual untuk bangkit juga menjalar ke Aceh

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturTeuku Nyak Arief semasa hidupnya (Foto: teropongaceh.com)

Sejak pertama kali Belanda melakukan invansi ke Aceh pada 1873, perjuangan dengan mengangkat senjata dan bertempur di medan perang terus menerus dilakukan. Meski terbilang sulit untuk ditaklukan, lama-kelamaan wilayah Aceh berhasil dikuasai, termasuk wilayah ibu kota kesultanan.

Seiring dengan kedudukan Belanda, maka pendidikan latin pun mulai diterapkan di Bumi Serambi Makkah pada awal-awal abad ke-20. Kaum-kaum intelektual muda dari Aceh satu persatu lahir.

Kesadaran untuk bangkit dan melepaskan diri dari Belanda yang kala itu berkuasa, ternyata juga sejalan dengan daerah lainnya di tanah air. Perjuangan yang semula hanya dilakukan dengan mengangkat senjata, kini juga dilakukan melalui jalur perpolitikan.

“Perjuangan rakyat Aceh yang ingin bebas dari Belanda itu sebetulnya juga sejalan dengan rakyat bagian lain di Indonesia. Oleh karenanya, ketika muncul nasionalisme Indonesia, ini juga kemudian menjalar ke Aceh,” ujar Mawardi.

Bahkan di Aceh, dikatakan sejarawan yang juga menjabat sebagai direktur Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, sejumlah organisasi sempat dibentuk. Misalnya, organisasi berskala nasional saat itu ada Sarekat Islam, Taman Siswa, dan organisasi lainnya. Sementara untuk organisasi skala lokal dengan ciri khas keacehannya ada Vereeniging Atjeh (Sarekat Aceh) dan lainnya.

“Kemudian belakangan di akhir-akhir Pemerintahan Kolonial Belanda, muncul organisasi lokal yang terbilang besarm yakni PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada 1939,” jelas Mawardi.

Perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Belanda terus dilakukan hingga sampai 1942. Setelah itu, negara asal Belanda itu keluar dan masuk masa kedudukan Jepang.

3. Setelah kekalahan Jepang, Aceh memiliki peluang untuk merdeka tetapi lebih memilih ikut Indonesia

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturAlat perang peninggalan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Aceh yang disimpan di Museum Juang 45, di Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Masuknya Jepang ke Tanah Rencong terbilang unik. Para pejuang Aceh dahulu mengundang langsung atau memanfaatkan Negeri Matahari Terbit itu sebagai alat untuk mengusir Belanda. Terlebih, Jepang pada saat itu juga sedang menggalakan propaganda slogan “Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia” atau lebih dikenal dengan 3A.

“Tujuannya untuk mengusir Belanda, bukan karena senang terhadap Jepang. Sebab sebelumnya telah dilakukan berbagai usaha dan perang sangat panjang tetapi Belanda tidak terusir juga,” jelas dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah tersebut.

“Jadi kebetulan Jepang masuk dan ada juga propaganda 3A dari Jepang, ini juga dimanfaatkan orang Aceh. Jadi sebenarnya sama-sama saling memanfaatkan,” imbuhnya.

Meski sempat menjalin kerja sama, namun pergolakan sempat terjadi semasa kedudukan Jepang. Peristiwa di Cot Plieng Bayu, yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, merupakan salah satu bentuk kekecewaan rakyat Aceh.

“Peristiwa itu terjadi karena kecewa terhadap Jepang, ternyata tidak jauh beda dengan Belanda. Makanya pada saat itu ada istilah ‘talet bui, ta peutamong ase’ (kita kejar babi, kita masukan anjing -terj Bahasa Aceh). Padahal haram juga, sama-sama tidak benar.”

Beberapa tahun kemudian, Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan kabar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah dibacakannya oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945, sampai juga ke telinga warga Aceh. Meski informasi itu tidak diterima pada hari itu juga, melainkan beberapa hari setelahnya.

Mendapat berita kemerdekaan, sejumlah tokoh Aceh kala itu, melakukan rapat untuk bermusyawarah menentukan sikap yang harus diambil oleh rakyat Aceh. Rapat yang dipimpin oleh Teuku Nyak Arief, dihadiri perwakilan dari berbagai kelompok pejuang maupun ulama di Aceh.

“Undangan itu untuk menentukan bagaimana sikap setelah proklamasi itu. Kita orang Aceh ikut Indonesia atau bagaimana,” ungkap Mawardi.

Pada rapat pertama, tidak mendapatkan hasil. Padahal peserta rapat telah menyerahkan seluruh keputusan kepada Teuku Nyak Arief. Setelah beberapa kali melakukan rapat, hasilnya telah diputuskan. Aceh ikut merdeka bersama Indonesia.

“Dalam rapat tersebut kemudian diputuskan, dengan dia (Teuku Nyak Arief) bersumpah memakai Alquran bahwa untuk ikut proklamasi kemerdekaan Indonesia. Semua tokoh yang hadir saat itu ikut. Setelah itu dilakukan penaikan bendera di depan kantor.”

4. Insiden pengibaran bendera di Aceh setelah mendapatkan kabar proklamasi kemerdekaan

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturTugu Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ada di Taman Sari, Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Usai memutuskan pilihan, bendera merah putih pun kemudian dikibarkan di depan kantor pemerintahan saat itu, yang terletak di sebelah pendopo gubernur. Akan tetapi, sebuah insiden sempat terjadi saat pengibaran dilakukan.

Mengamankan status qou atau keadaan tidak boleh berubah sampai datangnya Sekutu mengambil alih, saat itu menjadi tugas Jepang, sehingga ketika bendera akan dikibarkan oleh para pejuang perseteruan terjadi.

“Pengibaran itu sempat terjadi insiden, akhirnya Jepang mengalah juga. Karena mereka juga posisinya serba salah. Mereka melihat semangat orang Aceh dan tidak mau terjadi pertumpahan darah, jadi petimbangannya seperti itu,” kata direktur Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh itu.

Tak hanya insiden saat pengibaran bendera saja, bukti nasionalisme orang Aceh lainnya dapat dilihat dengan dibuatnya Tugu Proklamasi yang ada di Taman Sari, Kota Banda Aceh. Tugu tersebut diresmikan tepat di Hari Raya Idulfitri sekaligus bertepatan dua tahun usia kemerdekaan Indonesia.

“Jadi (tugu proklamasi) itu bukan dibuka oleh Seokarno. Itu memang semangat rakyat Aceh sendiri yang (secara tidak langsung) menyatakan bahwa mereka tetap berada di belakang Indonesia,” kata Mawardi.

5. Menjadi daerah modal ketika agresi militer Belanda dan sumbangan lainnya untuk Indonesia

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah Luntur'Udep Saree Matee Sjahid' (hidup penuh kehormatan, mati secara syahid) yang terpatri di Gedung Juang 45, Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Upaya untuk menguasai kembali Indonesia dilakukan Belanda dengan berbagai cara, termasuk dengan melancarkan agresi militer dan mendirikan negara boneka. Tindakan itu membuat hampir seluruh wilayah tanah air kembali diduduki, kecuali Aceh.

Menjadi satu-satunya daerah yang tidak kembali dijajah membut Presiden Soekarno kala itu, dikatakan Mawardi, memberikan gelar ‘Aceh Daerah Modal’ untuk provinsi paling barat Indonesia ini.

“Istilah ‘Aceh Daerah Modal’, bahwa Aceh merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang tidak berhasil kembali direbut Belanda pascakemerdekaan. Label Aceh Daerah Modal, itu diberikan Soekarno pada saat datang ke Aceh atau setelah Agresi Militer I,” kata Mawardi.

Tak hanya menjadi benteng terakhir, para pejuang Aceh tidak hanya bertahan di Tanah Rencong. Mereka juga dikatakan melakukan penyerbuan ke perbatasan bahkan masuk ke wilayah Sumatera Utara.

“Itulah sebenarnya yang disebut daerah modal awal. Ini bukti bahwa modal dasar dan benteng terakhir RI adalah Aceh. Sebab kalau Aceh habis (takluk dari Belanda) maka selesai.”

Usai disematkan label sebagai Aceh Daerah Modal, kecintaan orang Aceh terhadap tanah air semakin tinggi. Berbagai sumbangsih pun terus mengalir untuk membantu Indonesia di awal kemerdekaan.

6. Nasionalisme Aceh tetap sama dan tidak pernah luntur

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturAlat perang peninggalan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Aceh yang disimpan di Museum Juang 45, di Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Meski Aceh sempat beberapa kali berupaya ingin memisahkan diri dari Indonesia, namun menurut sejarawan Aceh rasa nasionalisme orang Aceh tidak pernah luntur. Pemberontakan yang dilakukan orang Aceh bukan dilakukan tanpa sebab.

“Kalau menurut saya, sebenarnya nasionalisme orang Aceh itu tidak pernah luntur. Tetapi kenapa (ada perlawanan), orang Aceh sebenarnya sering dikecewakan. Itu saja. Termasuk mulai masa Teungku Daud Beureueh dahulu. Itu banyak kasus, di mana Aceh benar-benar ditinggalkan,” ujar Drs Mawardi.

Terbukti, pergolakan yang terjadi dan berujung dengan butiran-butiran perdamaian tetap membuat Aceh hingga kini berada di pangkuan Ibu Pertiwi.

7. Maknailah dengan sesungguh-sungguhnya perjuangan untuk perubahan menuju kemajuan

Sejarawan: Nasionalisme Orang Aceh Kepada Indonesia Tidak Mudah LunturSejarawan sekaligus Direktur Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, Drs Mawardi MHum MA (IDN Times/Saifullah)

Kemerdekaan Republik Indonesia telah memasuki usia ke-75 tahun. Direktur Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh berpesan agar dalam memperingatinya tidak hanya sekedar serimonial semata.

Ia menambahkan, kemerdekaan yang diraih bangsa ini adalah hasil perjuangan dengan mengorbankan segala hal, mulai dari harta benda hingga usia. Kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan yang mengorbankan segala hal, harta benda hingga usia.

“Menurut saya, menyambut kemerdekaan itu jangan hanya sekedar serimonial. Sebenarnya harus diserap pesan dan makna dari kemerdekaan itu. Sebab kemerdekaan itu bukanlah pemberian atau datang dengan sendirinya,” pesan Drs Mawardi.

“Mereka (para pejuang) tidak pernah berharap apa-apa atau imbalan, tetapi mereka berjuang dengan menyambung nyawa demi kemerdekaan kita. Berjuangnya itu Lillahitaala,” tambahnya.

Selain itu, mengingat jasa pahlawan tidak sekedar menghafal namun juga harus dimaknai dengan sungguh-sungguh. Itulah makna yang sesungguhnya dari perkataan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno.

“Itu sebenarnya yang dikatakan oleh Soekarno, jangan pernah melupakan sejarah. Bukan mengingat itu dengan cara menghafal, bukan. Tetapi nilainya. Pelajaran dari nilai tersebut untuk kehidupan kita ke depan,” tegas sejarawan Aceh ini.

Baca Juga: Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat Politik

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya