Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki Langit

Kisah Fitri mendirikan Rumah Edukasi Kaki Langit di Aceh

Banda Aceh, IDN Times - “Ada yang tahu gak, apa Bahasa Inggrisnya pramugari? Hayoo siapa yang tahu?” tanya salah seorang perempuan kepada tiga anak perempuan berusia tak lebih dari 15 tahun yang ada di hadapannya. Disambut sedikit tawa dan dibarengi lemparan senyuman malu-malu, ketiganya coba berpikir untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.

“Hayoo ada yang tahu?” Tltanya perempuan itu lagi. “Apa? FlightFlight…?” Cobanya memberikan kisi-kisi jawaban. “Flight attendant,” sambungnya.

Flight attendant… Flight attendant… Flight attendant,” sambut ketiga anak-anak tadi seolah mengingat kata-kata dalam Bahasa Inggris yang mungkin baru mereka ketahui tersebut. Salah seorang dari mereka coba mengabadikannya ke dalam tulisan.

Tidak hanya mereka berempat, di sisi lain masih ada lima anak berbagai usia serta dua orang tenaga pengajar lainya yang duduk di atas terpal selebar tiga meter berwarna putih tersebut.

Mereka tampak tenang dan khidmat mengikuti kegiatan belajar. Tidak ada dinding, tak ada atap, dan hanya bermejakan kotak karton air mineral serta papan tulis putih berukuran setengah meter yang dijadikan media untuk belajar.

Begitulah suasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit, yang terletak di kawasan Gampong Lampriet, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh. Sederhana, namun melahirkan senyuman bahagia dari anak-anak yang mengikuti kegiatan pembelajarannya.

1. Berawal dari pengalaman mengajar anak-anak kaum marjinal ketika kuliah di Jakarta

Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki LangitSuasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Rumah Edukasi Kaki Langit yang peserta didiknya selalu berubah-ubah ini tidak hadir dengan sendirinya. Fitri Juliana, selaku pendiri tempat belajar tersebut menceritakan bagaimana latar belakang ia mendirikan rumah edukasi itu.

Pengalaman menempuh pendidikan magister di Jakarta beberapa tahun lalu ternyata memiliki cerita tersendiri bagi Fitri. Ya, selama berada di ibu kota negara tersebut, ia tidak hanya menghabiskan waktunya dengan fokus kuliah semata, namun juga aktif dengan sejumlah komunitas terutama yang fokus dalam bidang pendidikan.

Bersama teman-teman kampusnya kala itu, perempuan kelahiran Kota Sabang ini sering memberikan edukasi kepada para kaum marjinal ibu kota, seperti anak jalanan maupun anak-anak kurang mampu lainnya.

“Karena aku dulu sewaktu kuliah memang juga sudah sering ikut gabung bersama teman-teman kampus, seperti mengajar anak jalanan atau pinggiran di sekolah-sekolah grafis,” kata Fitri ketika dijumpai IDN Times beberapa waktu lalu di Rumah Edukasi Kaki Langit.

Baca Juga: Cegah Virus Corona, Pemerintah Siap Tes COVID-19 di Sekolah-Sekolah

2. Rumah edukasi yang lahir dari hati nurani

Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki LangitSuasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ yang merupakan cita-cita Indonesia coba diwujudkan Fitri bersama koleganya di Jakarta hingga sampai dirinya selesai kuliah dan memutuskan untuk kembali ke Tanah Rencong pada 2018 lalu.

Rutinitas mengajar anak-anak kaum marjinal yang pernah ia lakukan selama di Pulau Jawa ternyata tidak berhenti. Ketika tiba di tanah kelahirannya, Fitri yang juga berprofesi sebagai seorang jurnalis itu mencoba kembali membuka ruang untuk mengedukasi anak-anak.

“Jadi yang menjadi dasar aku melakukan ini, awalnya sih karena kepedulian. Aku suka anak-anak, suka juga dunia pendidikan, jadi aku berpikir aku punya ilmu yang aku miliki, supaya ilmu itu tidak berhenti sampai di sini, jadinya aku mencoba untuk membagi ke orang lain dengan caraku sendiri,” ujar Fitri menceritakan.

Besarnya rasa kepedulian dan keinginan hati untuk tetap memberikan ilmu kepada generasi bangsa ini, memutuskan Fitri membangun tempat bimbingan belajar yang belakangan dikenal sebagai Rumah Edukasi Kaki Langit.

“Bimbel ini, awalnya berdiri sejak 2018, pasca menyelesaikan pendidikan di luar Aceh. Setelah selesai kuliah, aku balik ke Aceh, kampung halamanku. Lalu aku berpikir, kenapa aku gak berbuat hal yang serupa untuk anak-anak di lingkunganku sendiri.”

3. Keteguhan ingin berbagi ilmu, tidak membuat Fitri menyerah meski mengajar sendirian dan hanya diikuti 4 peserta didik

Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki LangitSuasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Awal mendirikan tempat bimbingan belajar tersebut, Fitri mengaku jika dirinya ketika mengajar seorang diri tanpa bantua  orang lain. Sementara, peserta didik yang diajarkannya hanya sekitar empat sampai lima orang saja dan anak-anak itu masih termasuk internal keluarganya.

“Awalnya hanya ada empat hingga lima orang, dan itu keponakan aku awalnya,” ungkapnya.

Kegiatan bimbingan belajar yang digelar oleh Fitri ternyata menarik minat ibu-ibu di seputaran tempatnya tinggal sehingga lama kelamaan tempatnya tersebut diikuti hingga sepuluh peserta didik.

“Alhamdulillah, kemudian aku berinsiatif untuk membuka sekolah ini. Awalnya sih memang anak les seperti itu, kemudian aku berpikir kenapa aku tidak memperluas jika ada pesertanya seperti ini.”

4. Sempat berhenti sewaktu pandemik COVID-19 melanda, namun belakangan menjadi solusi bagi orangtua ketika belajar daring

Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki LangitSuasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Wabah virus corona atau COVID-19 yang melanda Indonesia, khususnya di Aceh pada awal 2020, ternyata juga mempengaruhi kegiatan mengajar di Rumah Edukasi Kaki Langit. Fitri beserta para orang tua peserta didik berembuk dan kemudian memutuskan meniadakan proses belajar untuk sementara waktu.

Tak ada lagi kegiatan bimbingan belajar, sementara sekolah-sekolah menerapkan proses balajar mengajar secara daring (online). Sebagian besar anak-anak tidak memahami materi yang disampaikan, sedangkan orang tua tidak semua mengerti bagaimana menjadi tenaga pendidik bagi anak-anaknya di rumah.

Susana seperti di atas pun dirasakan para orang tua dari anak-anak peserta didik Rumah Edukasi Kaki Langit sehingga belakangan Fitri beserta para orang tua kembali berembuk untuk melanjutkan kegiatan di tempat bimbingan belajar yang ia dirikan.

“Sekolah mulai daring dan orang tua sejak saat itu mulai kewalahan. Akhirnya orang tua bertanya, kapan sih buka les lagi. Terus saya bilang boleh kapan saja. Lalu aku coba tanya juga kepada orang tua, dan dari para orang tua setuju karena memang sedikit membantu anak-anak untuk belajar daring. Karena semakin tinggi kelas, semakin susah pelajaran yang diberikan,” kenang Fitri.

Pernyataan itu pun ternyata dibenarkan oleh orang tua peserta didik. Hotli Simajuntak mengaku, jika keberadaan tempat bimbingan belajar Rumah Edukasi Kaki Langit sangat membantu, terutama ketika kegiatan belajar di sekolah lebih ke daring seperti saat ini.

“Ya dengan adanya bimbingan belajar ini seolah membantu kami para orang tua yang terkadang kurang paham dengan materi belajar anak-anak yang diberikan dari sekolah,” kata Hotli.

Baca Juga: Menanti Senja Bersama Anak Punk yang Belajar Hijrah

5. Rumah Edukasi Kaki Langit, sederhana namun bermakna

Tanpa Atap dan Tembok, Anak-anak Ini Belajar di Kaki LangitSuasana belajar di Rumah Edukasi Kaki Langit di Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Rumah Edukasi Kaki Langit, itulah nama yang disematkan untuk tempat bimbingan belajar ini. Nama tersebut ternyata bukan Fitri yang menggubahnya, namun anak-anak dari peserta didik yang menimba ilmu di tempat tersebut.

“Rumah edukasi kaki langit, nama itu anak-anak yang beri. Filosofinya karena mereka belajar di alam terbuka beratap langit,” ungkap perempuan asal Kota Sabang ini.

Ungkapan serta nama yang tersemat bukan isapan jempol belaka, tempat tersebut memang berada di ruang terbuka dengan menggunakan bahan-bahan sederhana yang ada di sekitar. Bila dijelaskan, hanya beralaskan terpar plastik, bermeja karton, papan tulis kecil, serta beratap langit.

Ya, konsep yang ditawarkan benar-benar di alam sehingga tidak heran jika anak-anak peserta didik di tempat edukasi tersebut sangat senang untuk mengikuti proses belajar. Tak hanya itu, materi yang diajarkan juga tidak kaku dan lebih berkreasi sehingga diharapkan dapat memacu kreativitas anak.

“Aku sebenarnya mengajak mereka untuk berpikir kreatif. Aku gak pernah mematok mereka untuk belajar seperti apa. Aku hanya ingin bahwa anak-anak ini berani tampil, bisa, dan paham akan konsep-konsep. Walau yang dipelajari mereka adalah konsep-konsep dasarnya,” jelas Fitri.

Walaupun peserta didik Rumah Edukasi Kaki Langit bukan anak-anak dari kaum marjinal seperti di Jakarta, namun setidaknya tindakan Fitri telah membantu anak-anak di seputaran tempat ia tinggal. Bahkan, jurnalis perempuan ini tidak mengutip biaya belajar dari para orang tua anak.

Kini, Fitri tidak lagi sendiri memberikan materi pelajaran di tempat belajar yang selalu buka setiap Jumat, Sabtu, Minggu pukul 17.00 WIB tersebut. Ia terkadang dibantu oleh sejumlah rekan maupun orang-orang yang memiliki keinginan untuk mendidik dan berbagi ilmu pengetahuan kepada anak-anak di Rumah Edukasi Kaki Langit.

Baca Juga: Kisah Bocah-bocah Manusia Silver, Berpeluh Mengais Rupiah di Jalanan 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya