Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat Politik

Pemimpin yang tidak mengenal kompromi dengan kolonial

Banda Aceh, IDN Times - Aceh memiliki sejumlah tokoh ternama yang memiliki jasa besar bagi negeri ini, terutama di masa memperjuangkan hingga mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tangan penjajah atau kolonial.

Salah satu tokoh dari Tanah Rencong yang dianggap berperan penting bagi bangsa ini adalah Teuku Nyak Arief. Bahkan, untuk menghargai jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia pun telah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.

Anugerah gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1974 pada 1974.

Lalu, bagaimana perjuangan Teuku Nyak Arief bagi Indonesia, khususnya untuk Aceh? Berikut ulasannya.

1. Teuku Nyak Arief merupakan keturunan bangsawan Aceh

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikFoto Teuku Nyak Arief terpajang di ruang tamu rumahnya (IDN Times/Saifullah)

Teuku merupakan salah satu gelar bangsawan yang ada di daerah Aceh. Menyandang ‘teuku’ pada nama seseorang, sudah bisa dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki darah atau keturunan bangsawan dari Tanah Rencong.

Begitu juga dengan Teuku Nyak Arief, tokoh yang lahir 17 Juli 1899 di Ulee Lheue, Banda Aceh, Aceh, memiliki darah bangsawan dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Teuku Sri Imeum Nyak Banta merupakan seorang kepala daerah atau Panglima Sagi XXVI Mukim, sementara ibunya, Cut Nyak Rayeuh adalah keturunan bangsawan di daerah Ulee Lheue kala itu.

Sebagai keturunan bangsawan, anak ketiga dari pasangan Teuku Sri Imeum Nyak Banta dan Cut Nyak Rayeuh ini pun mendapatkan pendidikan seperti anak-anak bangsawan kebanyakan lainnya saat itu. Pendidikan Sekolah Dasar, di tempuhnya di Kutaraja yang sekarang bernama Banda Aceh.

Usai menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, Teuku Nyak Arief melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Jurusan Pamong Praja (pemerintahan) pada Sekolah Raja atau kala itu dikenal Kweekschool Fort de Kock di Bukittinggi, Sumatera Barat, dipilih untuk menempuh ilmu. Pendidikan selanjutnya, ia tempuh di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Serang, Banten.

Baca Juga: Biografi Cut Nyak Dien dan Duetnya dengan Teuku Umar Bela Rakyat Aceh

2. Keteladanan, tegas, dan cekatan telah melekat di tubuh Teuku Nyak Arief sejak di bangku sekolah

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikTeuku Nyak Arief beserta istri (Foto: tengkuputeh.com)

Sifat dan sikap kepemimpinan yang dimiliki Teuku Nyak Arief sudah tampak sejak ia duduk di bangku sekolah. Di kalangan murid-murid, anak ketiga dari lima bersaudara ini dikenal sebagai anak teladan, cekatan, serta tutur katanya yang tegas.

Semakin bertambah ilmu dan pengetahuan dari pendidikan yang didapatkan, membuat Teuku Nyak Arief semakin matang, terutama di bidang politik. Ditambah lagi, jurusan di OSVIA merupakan tekunan dari disiplin ilmu pamong praja yang telah ia dalami sebelumnya di Bukittinggi.

Selain itu, ia sangat gemar membaca terutama menyangkut politik dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan agama. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau dalam usia muda telah giat dalam pergerakan.

Keras, tegas, serta tidak mau tunduk, sifat itu selalu ia tunjukan kepada Belanda. Sebaliknya, di hadapan teman-temannya, ia dikenal sebagai orang dengan sifat yang begitu ramah.

3. Terjun ke dunia politik: menjadi ketua Nationale Indische Partij di Aceh, panglima Sagi XXVI Mukim, dan anggota Volksraad

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikTeuku Nyak Arief semasa muda (Foto: Istimewa)

Usai menyelesaikan pendidikannya di OSVIA, pada 1915, Teuku Nyak Arief memilih kembali ke Aceh. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai urusan distribusi makanan beras rakyat mulai 1918 sampai 1920. Meski berkerja sebagai pegawai, tidak membuat anak dari pasangan Teuku Sri Imeum Nyak Banta dan Cut Nyak Rayeuh ini, berhenti dari dunia politik yang pernah ia dalami ketika sekolah.

Organisasi Nationale Indische Partij (NIP), yang diketuai oleh Douwes Dekker, di Jakarta, dipilih sebagai wadah untuk menyalurkan hasrat berpolitiknya. Teuku Nyak Arief yang masuk ke organisasi tersebut pada 1918, dipercaya sebagai ketua cabang Banda Aceh di tahun berikutnya atau 1919.

Karirnya politiknya terus naik, bahkan adik dari Cut Nyak Asmah dan Cut Nyak Mariah ini menggantikan posisi sang ayah sebagai panglima Sagi XXVI Mukim pada 1920. Tercatat sebagai orang terkemuka dan memiliki pengaruh besar di masyarakat, atas usul residen Aceh dirinya pun diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat atau Volksraad, pada 1927 sampai 1931.

Kecintaannya terhadap tanah kelahiran dan statusnya sebagai panglima sagi, membuat Teuku Nyak Arief enggan pindah ke Jakarta pada saat itu meski ia pun bertugas sebagai anggota Volksraad.

4. Dikenal sebagai anak Aceh yang berani dan lurus di sidang Volksraad

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikAnggota Volksraad, salah seorang di antaranya adalah Teuku Nyak Arief, dari Aceh (Foto: tengkuputeh.com)

Kecakapan dan keberanian Teuku Nyak Arief dalam mengkritik kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda selalu disampaikannya pada sidang-sidang yang digelar anggota Volksraad. Bahkan dalam harian Bintang Timoer, ia pernah disebut sebagai ‘anak Aceh yang berani dan lurus’.

Sebutan itu disematkan kepadanya karena ketangkasan berolah kata tokoh dari Aceh ini mampu menandingin dan menghadapi pernyataan dari sejumlah tokoh-tokoh Belanda pada masa itu, seperti Mr Drs Fruin, Lighart, dan seorang wartawan ulung Belanda bernama Zentgraaf.

Tak hanya di sidang anggota Volksraad, perjuangan politik untuk kesejahteraan rakyat maupun kemerdekaan juga dilakukan Teuku Nyak Arief setelah tidak lagi menjadi anggota dewan tersebut. Ia kabarnya pernah memimpin gerakan bawah tanah untuk melawan Pemerintahan Hindia Belanda pada 1932 meski saat itu dirinya berstatus sebagai panglima sagi.

Keputusan, tindakan, dan langkah yang dilakukan Teuku Nyak Arief hanya untuk kepentingan dan keinginan rakyat. Pembelaan terhadap rakyat juga dilakukannya meski daerah tersebut bukan wilayah yang dipimpinnya. Tidak heran jika ia disegani oleh rekan-rekannya maupun Belanda yang berkuasa pada masa itu.

5. Perjuangan Teuku Nyak Arief jelang berakhirnya kedudukan Belanda hingga masuknya Jepang

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikTeuku Nyak Arief semasa hidupnya (Foto: teropongaceh.com)

Menjelang masuknya Jepang dan berakhirnya kedudukan Pemerintah Hindia Belanda di Aceh pada 1942, Teuku Nyak Arief memberanikan diri dengan menawarkan dirinya sebagai residen baru. Hal itu ia sampaikan pada 8 Maret 1942 , ketika ia dan Tuanku Mahmud diundang dalam pertemuan politik oleh residen Aceh yang kala itu dijabat J Pauw.

Permintaan itu ternyata tidak diindahkan oleh J Pauw, sehingga Teuku Nyak Arief memutuskan untuk melakukan perlawanan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan untuk meredam dan mematahkan perlawanan, pihak kolonial kembali mengundang pemimpin-pemimpin Aceh saat itu pada pertemuan selanjutnya.

Pertemuan yang digelar pada 10-11 Maret 1942 itu merupakan jebakan. Hanya Teuku Nyak Arief yang tidak hadir memenuhi undangan tersebut, sedangkan delapan dari sembilan pemimpin yang diundang,seperti Cut Hasan Mauraxa, Hanafiah, Raja Abdullah, dan lainnya, kabarnya ditangkap oleh Belanda.

Pengejaran terhadap alumni OSVIA di Serang, Banten itu pun terus dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Pasukan marsose dikerahkan untuk menyerang tempat kediaman panglima Sagi XXVI Mukim tersebut. Bahkan, rumah yang terletak di kawasan Lamnyong (kini bagian Kecamatan Syiah Kuala) itu dua kali berutut-turut diserang dengan kekerasan. Meskipun demikian, usaha itu tidak membuat Teuku Nyak Arief ciut dan menyerahkan diri.

Kedudukan Pemerintah Hindia Belanda berakhir seiring Jepang masuk ke Aceh. Masa kedudukan Negeri Matahari Terbit ini, Teuku Nyak Arief coba bekerja sama dan ia dipercaya sebagai penasehat pemerintahan militer. Walaupun demikian, ia tidak sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada Jepang. Sebab baginya, Belanda dan Jepang sama-sama busuk.

Baca Juga: Dengan Sebilah Rencong, Cut Nyak Meutia Lawan Penjajah di Tanah Aceh

6. Berjuang di masa kedudukan Jepang hingga kemerdekaan Indonesia tiba

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikMakam Teuku Nyak Arief, Pahlawan Nasional Indonesia asal Aceh (IDN Times/Saifullah)

Meski mendapat kepercayaan dari Jepang, bukan berarti Teuku Nyak Arief serta merta tunduk dengan pemerintahan Matahari Terbit tersebut. Ia dikatakan kerap membangkang dan bentrok dengan pejabat-pejabat sipil serta militer Jepang. Pemerintah yang berkuasa saat itu pun tidak bisa langsung menangkapnya, sebab memperhitungkan peran serta pengaruh Teuku Nyak Arief di masyarakat.

Karir politik panglima Sagi XXVI Mukim ini semakin meluas, ia pun mendapat kepercayaan sebagai wakil ketua Sumatera Chuo Sangi In atau Dewan Perwakilan Rakyat seluruh Sumatera mendampingi Moh Syafei sebagai ketua.

Kepala Pemerintahan Jepang Keresidenan Aceh atau saat itu disebut Aceh Syu Chokang, Shazaburo Lino, memberikan informasi bahwa Jepang telah kalah dalam Perang Dunia II. Informasi itu disampaikannya kepada sejumlah tokoh Aceh, seperti Teuku Nyak Arif, Panglima Polim dan Tengku Muhammad Daud Beureueh.

Kabar mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Seokarno pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, baru diketahui oleh para tokoh di Aceh empat hari kemudian atau 21 Agustus 1945 melalui berita-berita radiogram dari Adinegoro di Bukittinggi. Satu pekan kemudian, dibentuk Komite Nasional Indonesia di Aceh pada 28 Agustus 1945, Teuku Nyak Arief sebagai ketua. Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai residen Aceh atau saat ini setingkat gubernur.

7. Revolusi setelah kemerdekaan dan akhir dari kehidupan Teuku Nyak Arief

Teuku Nyak Arief, Pejuang Aceh yang Melawan Belanda Lewat PolitikMakam Teuku Nyak Arief, Pahlawan Nasional Indonesia asal Aceh (IDN Times/Saifullah)

Awal kemerdekaan Indonesia, ada banyak persoalan yang terjadi, baik persoalan sipil maupun keamanan. Tak hanya gangguan dari negara kolonial yang ingin kembali menjajah, dari bangsa sendiri kerap terjadi gejolak.

Di Aceh, sempat terjadi persaingan antara kaum bangsawan dan religius. Kaum religius yang juga membawahi laskar Mujahiddin dan Pesindo pada saat itu, ingin Teuku Nyak Arief mundur sebagai residen. Bahkan, TPR (Tentara Perlawanan Rakyat) kala itu juga mendukung.

Teuku Nyak Arief yang juga merupakan seorang bangsawan, mendapat isu-isu propaganda yang tidak diinginkan. Tidak hanya menginginkan agar ia diberhentikan dari jabatannya, namun juga residen Aceh itu diminta untuk diasingkan ke Takengon.

Kebijaksanaan dan tidak haus akan jabatan dari seorang Teuku Nyak Arief pun terlihat. Menghindari adanya peperangan antara sesama anak bangsa, ia akhirnya menyerahkan jabatan yang baru diembankannya tersebut. Tujuannya demi kepentingan mempersatukan rakyat.

Sejak saat itu, Teuku Nyak Arief diasingkan oleh bangsa sendiri ke wilayah Takengon. Kota itu, menjadi kota terakhir yang didiami olehnya sebelum adzal menjemput pada 4 Mei 1946. Meski meninggal dunia di kota dingin, namun pemakaman dan kuburnya tetap ditempatkan di kawasan Lamnyong, Kota Banda Aceh. Makam itu hanya berjarak 1,4 kilometer dari kediamannya.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalaman unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Aria Wangsakara, Ulama Pejuang Pendiri Wilayah Tangerang 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya