Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawa"

Nyatakan diri DIY mendukung Republik Indonesia

Kota Yogyakarta, IDN Times- Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki peran penting bagi Indonesia selama masa revolusi yang terjadi usai tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1949. Salah satunya adalah menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara baru saat Jakarta dikuasai oleh Belanda.  

Selain itu, raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut juga menyumbang peran selama zaman pendudukan Belanda, Jepang, dan Proklamasi kemerdekaan. Ia, misalnya, menjadi salah satu raja yang dengan tegas menyatakan bahwa daerahnya menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Keputusan ini, menurut Mohammad Roem, dkk dalam Takhta untuk Rakyat (2013), tidak hanya berpengaruh pada dirinya tapi juga rakyat Yogyakarta dan bangsa Indonesia.

1. Naik singgasana pada tahun 1940

Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawakratonjogja.id/

Dilansir dari situs resmi Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX naik takhta pada tanggal 18 Maret 1940. Ia menggantikan sang ayah, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, yang meninggal dunia.

Sejak kecil, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapat pendidikan ala Belanda hingga tingkat universitas. Tapi, hal ini tidak membuat laki-laki bernama kecil Henkie tersebut takluk pada Belanda. Sikap ini ia nyatakan pertama kali saat memberikan pidato di hari pelantikan menjadi raja: “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.

Baca Juga: Mengenal Bregada, Pasukan Prajurit Kraton Yogyakarta

2. Tak ingin menandatangani kontrak politik yang menguntungkan penjajah

Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawainstagram.com/kartikaholly

Sebelum dilantik menjadi raja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun telah bersikap tak ingin dengan mudah menyetujui permintaan Belanda.

Saat proses penandatanganan kontrak politik sebagai syarat menjadi Sultan, misalnya, terjadi selisih pendapat antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Belanda. Ia tidak menyetujui beberapa poin dalam perjanjian yang dianggap menguntungkan penjajah. Namun, akhirnya kontrak itu ditandatangani Sri Sultan Hamengku Buwono IX setelah dirinya mendapatkan ilham bahwa Belanda tak akan lama di Yogyakarta.

3. Menjaga jarak dengan pemerintahan Jepang

Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawakratonjogja.id/

Tak hanya saat penjajahan Belanda, saat pendudukan Jepang, sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak berubah. Ia memilih untuk menemui utusan Jepang di kantor dan tidak di tempat lain.

Lewat tindakan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan diplomasi halus dengan tetap menjaga posisi dan wibawa sebagai penguasa. Sikap ini, menurut Keraton Yogyakarta, berbeda jauh dengan sikap raja yang lain.

4. Menyatakan bergabung dengan Indonesia

Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawainstagram.com/tonny_kumbara

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan Proklamasi kemerdekaan dan dua hari setelahnya Sri Sultan Hamengku Buwono mengirimkan telegram yang berisi ucapan selamat kepada para proklamator. Pada tanggal 5 September 1945, ia bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa wilayah Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Menurut Mohammad Roem, dkk, sebagai seseorang yang dilahirkan dan dewasa dalam lingkungan Keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mungkin menunjukkan sikap yang menentang Belanda. Dengan demikian, keputusannya untuk mendukung dan bergabung dengan republik tidak hanya berpengaruh pada dirinya tapi juga rakyat Yogyakarta dan bangsa Indonesia.

5. Aktif mengabdi setelah Proklamasi

Sultan HB IX: “Saya Memang Berpendidikan Barat, tapi Tetap Orang Jawaid.wikipedia.org/

Tak hanya selama revolusi, setelah kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga banyak memberikan sumbangsih bagi Bangsa Indonesia.

Setelah tahun 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono masih aktif mengabdi di berbagai posisi di antaranya dengan menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (tahun 1945 sampai 1988), Wakil Perdana Menteri di Kabinet Natsir (6 September 1950 hingga 27 April 1951), dan Wakil Presiden Republik Indonesia kedua (tahun 1973-1978).

Baca Juga: 14 Menu Makanan dan Minuman Kesukaan Raja Kraton Yogya 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya