9 Alasan Kenapa Indonesia Masih Belum Bisa Disebut Sebagai Negara Yang Bertoleransi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Walaupun semboyan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika di mana semua orang dengan berbagai suku, jenis kelamin, dan agama harusnya bisa bersatu dan dilindungi, kenyataannya banyak sekali hak-hak kaum minoritas di Indonesia yang masih terampas.
Sementara itu, Presiden Jokowi dan tim-nya masih berkutat dengan masalah ekonomi yang memang menjadi fokusnya sementara kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang dulu dan sekarang terjadi masih membekas. Diskriminasi dan pelanggaran HAM di Indonesia terus terjadi.
1. Test keperawanan bagi calon polisi perempuan. Praktik ini sudah berlangsung lama dan meski ditentang karena prosesnya menyakitkan bagi para calon polwan dan melecehkan perempuan. Sudah diprotespun tetap tidak ada reaksi.
2. Pembakaran rumah-rumah ibadah oleh orang-orang tak dikenal dan tidak diusut tuntas. Masih ingat kasus gereja dibakar di Aceh Singkil? Setelah itu, sebanyak lima gereja dipaksa untuk tutup karena tidak memiliki "izin".
3. Seperlima dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia masih mewajibkan para perempuan untuk mengenakan jilbab meski mereka tidak ingin berjilbab. Di beberapa area di Sumatra Barat malah mewajibkan para perempuan non-Muslim juga berjilbab.
4. Indonesia masih melegalkan pernikahan di bawah umur untuk anak perempuan. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan untuk anak perempuan adalah 16 tahun! Bahkan sensus nasional di tahun 2012 yang bekerja sama dengan UNICEF menunjukkan bahwa di sejumlah daerah, banyak anak perempuan berusia 15 tahun yang sudah dinikahkan.
Editor’s picks
6. Banyak daerah di Indonesia yang seperti "tidak tersentuh hukum" yang melambangkan Indonesia adalah negara majemuk. Di Aceh, contohnya, memberlakukan hukum Shariah Islam di mana hal tersebut bertentangan dengan prinsip Pancasila. Hukuman cambuk juga masih diberlakukan meski pelanggarannya sepela dan bahkan di bagian lain di Indonesia tidak bisa disebut pelanggaran. Contohnya, seseorang akan dicambuk jika ketahuan berjualan makanan selama bulan puasa.
7. Korban pembantaian ribuan orang di tahun 1965 tidak pernah menerima keadilan dan para aktifis yang berusaha membuka kembali atau berdiskusi mengenai kasus tersebut mengalami pelarangan dan pembubaran paksa. Festival Sastra di Ubud Bali bulan Oktober kemarin diancam akan dibubarkan paksa jika mau membahas topik tentang kasus 1965. Majalah Lentera yang memuat pembahasan mengenai peristiwa 1965 di Salatiga dirampas dan dibakar habis bulan Oktober kemarin.
8. Jadi siapa yang bersalah atas penindasan, pemerkosaan, dan kejahatan terhadap keturunan Tionghoa di bulan Mei 1998? Siapa yang membela hak mereka dan berani mengusut tuntas? Sampai sekarang masih menggantung.
9. Penggiat dan aktifis hak asasi manusia yang dibunuh seperti Munir dan Wiji Tukul, serta orang-orang lain yang "dihilangkan" karena dianggap mengancam pemerintah. Apakah keluarga mereka pernah menerima keadilan dengan pengusutan sampai sekarang?
Lantas, sampai kapan kita rela melihat teman-teman sesama orang Indonesia diperlakukan seperti ini?