[OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?

Paham politik itu bagus, tapi jangan sampai fanatik

Pembicaraan soal politik saat ini cenderung terasa panas, malah hampir-hampir tak ada bedanya dengan membicarakan agama: sensitif dan kerap memicu perdebatan. Bahkan, penulis sendiri heran kenapa banyak generasi muda yang sudah terpapar paham fanatisme politik.

Setiap kali bicara politik, apalagi bicara soal calon atau partai tertentu, mereka selalu menggebu-gebu dan berapi-api, baik saat membela atau mencaci, siap berdebat dengan siapa pun yang tak sejalan dengan pemikirannya.

Penulis pun tak menampik bahwa ada beberapa teman yang seperti itu. Mereka suka berdebat di media sosial. Berdebat soal politik tapi sering melebar, bahkan kerap tak fokus membahas suatu persoalan secara substansi. Dan yang paling menyebalkan adalah, mereka kerap membagikan unggahan yang terlalu negatif atau menjelek-jelekkan maupun terlalu memuji-muji tokoh politik atau partai tertentu tapi bukan dari sumber yang kredibel.

Lantaran itulah, penulis lantas berusaha menelaah kenapa mereka bisa fanatik dalam memahami politik saat ini. Dan setelah banyak berdiskusi serta mengamati, penulis simpulkan bahwa setidaknya ada 4 faktor yang membuat kenapa seseorang bisa seperti itu.

1. Percaya pada akun buzzer politik di media sosial

[OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?pexels.com/@andri

Kemunculan media sosial boleh dibilang banyak mengubah sendi-sendi kehidupan manusia saat ini, mulai dari budaya belanja, bersosialisasi, mencari informasi, hingga budaya berpolitik seperti berkampanye. Kalau dulu biasa berkampanye dengan memanfaatkan manusia sebagai juru bicara, kini politikus bisa memanfaatkan akun robot.

Kemunculan akun-akun robot atau fiktif inilah yang biasa menyanjung atau mencela tokoh politik maupun partai tertentu. Akun-akun itulah yang biasa disebut buzzer politik. Cara kerja buzzer politik ini sebetulnya cukup mudah ditebak, mereka akan memuji-muji berlebih-lebihan sebuah tokoh politik/partai tertentu atau malah sebaliknya—mencela habis-habisan.

Biasanya, akun buzzer politik ini juga akan membagikan informasi negatif untuk lawan politiknya berupa potongan gambar dari media massa kenamaan dengan judul tendensius. Tapi, nyatanya berita dengan judul yang ada di gambar yang dibagikan itu tak pernah ada karena memang hanya hasil editan. Sekalipun ada sumber beritanya, media yang diambil pun bukanlah media kredibel.

Persoalannya, cara yang dilakukan buzzer politik itu malah berhasil memengaruhi banyak orang. Tak sedikit yang percaya oleh informasi yang diberikan sekalipun tidak valid. Mereka cenderung percaya karena unggahan tersebut mendapat tanggapan dari akun-akun yang sebetulnya juga buzzer.

Para akun buzzer politik ini pun tak segan berdebat dengan warganet. Namun, perdebatannya cenderung asal dan tak substansi. Dan yang sudah bisa tertebak, apabila sudah tersudut maka akun buzzer politik ini akan membalas dengan menyerang ‘kepribadian’ lawan politiknya.

Nah, umumnya mereka yang menjadi fanatik dalam melihat politik dimulai dari seringnya mengikuti unggahan-unggahan akun buzzer politik ini, sehingga lambat laun mereka sangat percaya pada setiap unggahan akun buzzer politik.

Baca Juga: [OPINI] Bahaya Fanatisme Politik untuk Generasi Millennials

2. Terlalu percaya dengan ucapan kader partai

[OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?JUSTIN TANG/THE CANADIAN PRESS

Namanya saja kader partai, maka sudah pasti akan mengeluarkan berbagai statement sesuai dengan arahan partainya. Kalau partainya mendukung kubu A misalnya, maka para kadernya pun akan selalu membela kubu A sebesar apa pun kesalahan yang diperbuat. Pun sebaliknya, bila partainya tak mendukung kubu A, maka mereka akan mati-matian mengeluarkan statement untuk menyerang kubu A sebagus apa pun pekerjaan yang sudah diperbuat.

Sayangnya, banyak di antara kita yang menelan mentah-mentah berbagai statement yang diutarakan oleh para kader partai ini. Sehingga akhirnya banyak di antara kita yang kemudian tergiring untuk benar-benar percaya. Dampaknya, kita terlalu memuja-muja atau malah terlalu membenci tokoh politik tertentu.

Padahal, semestinya kita bisa menyaring lebih dulu pesan yang disampaikan, lalu membandingkannya dengan statement lain, bisa dari kubu seberang atau pengamat politik yang lebih netral.

3. Sudah terpapar propaganda ‘jangan percaya dengan media’

[OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?unsplash.com/@freegraphictoday

Dalam ilmu politik ada yang namanya propaganda. Apa itu? Sederhananya, propaganda adalah upaya yang dilakukan oleh penyampai pesan untuk memengaruhi penerima pesan agar memiliki gagasan atau pemikiran yang sama dengannya. Pesan yang disampaikan umumnya dilakukan terus menerus dengan narasi yang sama.

Seperti halnya pesan yang disampaikan dengan narasi “Jangan percaya dengan Media” atau “Media sudah dikuasai Petahana” atau juga “Semua media sudah dibungkam”, dan yang paling sering “Media sudah tidak ada yang netral”. Pesan-pesan semacam ini terus digaungkan agar tak ada lagi masyarakat yang percaya pada media.

Kenapa begitu? Agar konten hoax mudah untuk diproduksi. Agar kita lebih bisa menerima informasi dari broadcast di grup WhatsApp atau dari akun media sosial para buzzer, daripada dari media massa. Padahal, cara kerja media massa dalam memproduksi informasi dan berita lebih bisa dipercaya karena melewati tahap konfirmasi atau penyaringan lebih dulu.

Ya, media besar kadang berat sebelah dalam menayangkan berita politik, bisa condong ke kubu satu atau dua. Tapi, yang pasti, media massa tak akan memproduksi berita bohong atau hoax karena hal tersebut dapat merusak kredibilitas media. Dan kalaupun ada, maka masyarakat dapat melaporkan media tersebut ke Dewan Pers.

Dan lucunya, akun buzzer maupun mereka yang suka menyampaikan propaganda seperti itu tetap saja akan menyebarkan berita dari media massa mainstream, apabila berita tersebut menunjukkan kelemahan lawan politiknya. Itu membuktikan bahwa mereka sebetulnya masih percaya dengan media massa, dengan catatan selama tak memberitakan sisi buruk atau kelemahan politikus yang didukung.

4. Kurang paham iklim politik sehingga mudah dipengaruhi

[OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?pixabay.com/Wokandapix

Kurang pahamnya seseorang dengan iklim politik bisa menyeretnya pada fanatisme politik. Sebab, politik itu lekat dengan kekuasaan dan kepentingan. Dalam politik tak ada kawan maupun lawan yang abadi. Semuanya bisa berubah dalam waktu cepat dan berkenaan erat degan lobi-lobi.

Dalam dunia politik, para politikus pun akan terikat dengan partainya. Artinya, bisa jadi apa yang disampaikan politikus tak sesuai dengan nuraninya karena itu tuntutan partai. Karena itu, menghakimi para politikus yang pindah partai dengan sebutan ‘kutu loncat’ tidak bisa dibenarkan. Karena bisa saja politikus tertentu memutuskan keluar dari partainya karena ideologi yang dijalankan partai sudah mulai berubah atau tak lagi sama dengan nuraninya.

Dalam dunia politik segala cara pun bisa dilakukan. Propaganda hingga konspirasi adalah bagian dari politik yang tak terpisahkan. Jadi, ingat ya, pahamilah iklim politik agar kita tak menjadi salah seorang yang terpapar fanatisme politik.

Kalau kamu tak mau menjadi seorang yang fanatik pada politik, maka ada baiknya perhatikan keempat poin di atas, ya!

Baca Juga: [OPINI] Bahaya Fanatisme Politik untuk Generasi Millennials

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya