[WANSUS] Malaysia Gerak Cepat Tapi Riset RI Jalan di Tempat, Ada Apa?

Indonesia alami tiga kali generation lost

Jakarta, IDN Times - Pameo yang menyebut negara besar adalah negara yang punya kualitas riset bagus sepertinya tak terbantahkan. Data mencatat, negara-negara yang menduduki peringkat satu sampai lima dalam Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI) semuanya sangat memerhatikan riset.

Sedangkan Indonesia, terpantau masih sangat rendah. Dari data yang diperoleh di 2019, Indonesia ada di peringkat 50 dengan skor riset dan pengembangan sebesar 23,2. Sedangkan dari sisi pengeluaran riset terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia juga tertinggal.

Jika melihat data di atas, wajar jika kemudian kita sangat jarang mendengar ilmuwan Indonesia yang menghasilkan penelitian atau temuan ilmiah yang dikenal luas secara global. Lalu, apa yang terjadi dengan Indonesia, hingga kualitas penelitian dan riset kita seakan tak bergerak?

Terkait hal ini IDN Times berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko. Dalam kesempatan wawancara, dia mengakui jika riset di Indonesia saat ini memang masih jalan di tempat. Berbeda dengan sejumlah negara tetangga yang seakan bergerak cepat.

Kata Handoko, inilah salah satu titik pemikiran dasar lahirnya BRIN setahun terakhir. Dia berharap dengan hadirnya BRIN, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju, dan menyambut era emas di 2045 mendatang. Lalu seperti apa wawancaranya? Berikut selengkapnya.

Sebagai pembuka saya ingin tahu, apa yang BRIN yakini dengan Indonesia? Apakah Indonesia sebenarnya punya prasyarat sebagai sebuah negara maju?

Kalau kita bicara cita-cita ya, tentu untuk menjadi cita-cita utama ya jadi negara maju dong ya. Negara maju itu artinya pendapatannya tinggi, kan begitu ya. Salah satu faktor dan prasyarat untuk jadi negara maju, itu memang pendapatan perkapita yang tinggi. Dan penghasilan besar itu datang kalau kita bisa memberikan nilai tambah dari apapun yang kita jual. Itu kan sebenarnya prinsip dasarnya.

Nah untuk bisa memberi nilai tambah itu tentu kita perlu riset. Itu sebabnya negara maju sudah pasti risetnya kuat dan maju. Karena tidak mungkin, bisa dibilang sebagai negara maju kalau risetnya enggak kuat.

Artinya kita tidak mungkin membuat nilai tambah yang signifikan tanpa riset kuat. Karena kita jadinya cuma akan terus jualan bahan mentah saja. Itulah fungsi riset, yang menjadikan sesuatu memiliki nilai tambah tinggi.

Perkembangan riset di Tanah Air bagaimana sebenarnya?

Jadi memang, kalau kita bicara sejarah iptek Indonesia misalnya, sejarah iptek kita kan dimulai dari zaman Belanda waktu masih kolonialisme. Itu kita mulai dari Kebun Raya Bogor, ada lab misalnya ya di sana, nah kemudian kalau kita bicara sejak zaman Belanda sampai sekarang bagaimana perkembangannya itu sangat jauh ya.

Kalau saya melihatnya, yang paling mudah saja, saya lihat dari tahun 1970-an. Karena itu jadi satu titik perubahan juga.

Di tahun 1970-an, itu kita banyak mengirimkan dosen ke Malaysia. Ini ilustrasi yang mudah ya. Tapi sekarang kita justru mengirimkan anak-anak PhD ke Malaysia. Dan praktis kini tidak ada orang Malaysia ke sini lagi untuk belajar.

Nah itu menunjukkan, bahwa kita harus akui ada sesuatu yang kita kurang. Artinya 50 tahunan ini dari tahun 1970-an itu Malaysia bergerak sedemikian cepat, Thailand juga bergerak sedemikian cepat. Tetapi sayangnya kita kayak jalan di tempat.

Jadi Anda sendiri mengakui ya ada kemunduran itu?

Iya-iya. Itulah mengapa kemudian menjadi pemikiran dasar kita kenapa kemudian tahun lalu akhirnya ada keputusan politik yang sedemikian besar untuk membentuk BRIN.

Kalau jumlah peneliti dan periset di Indonesia bisa digambarkan?

Jadi begini, kalau dilihat dari jumlah, dilihat dari total ya, kita itu cukup besar sebenarnya --sumber daya. Jadi kalau riset itu kan sumber daya riset ya. Komponen riset itu ada tiga, pertama itu SDM unggul; kedua infrastruktur; yang ketiga anggaran.

Nah kalau kita bicara ketiga hal ini kalau ditotal sebenarnya cukup gede. Apalagi ini kan negara besar ya. Walau kita bicara SDM memang besar, tetapi kalau bicara SDM unggul, itu yang kita masih banyak bolong. Jadi kita harus lakukan percepatan juga untuk perbaikan SDM unggul itu.

Padahal, SDM itu komponen nomor satu dari ketiga tadi, yang paling besar pengaruhnya itu SDM unggul. Jadi benar-benar SDM yang punya kapasitas dan kompetensi. Nah itu yang kita akui kita masih punya banyak PR terkait SDM.

Soal penelitian, yang paling menonjol penelitian di RI seperti apa?

Jadi kita riset itu kan kompetisi, kompetisinya global. Mengingat apa yang kita punya dengan kondisi saat ini, memang kita tengah fokus ke pemanfaatan biodiversitas karena itu yang kita punya, minimal kita punya local competitiveness. Selain itu, engineering murni, saat ini kita lebih fokus pada itu.

Soal ide penelitian out of the box, yang eksentrik dan aneh, banyakkah di kita?

Kalau itu banyak ya, teman-teman misalnya mengembangkan yang terkait kesehatan, seperti ada deteksi dini orang yang punya kanker serviks. Nah hal-hal itu menjadi fokus kita sekarang. Karena itu kan berpengaruh pada beban BPJS misalnya.

Jadi kalau kata Pak Menkes kan bagaimana agar lebih bisa lebih preventif, bukan kuratif saja. Jadi sekarang memang banyak yang aneh-aneh begitu ya. Jadi biodiversitas itu bukan hanya sekadar life science ya, itu bisa bioinformatika, engineering, biosensor dan sebagainya.

Tapi sejauh mana diserap oleh BRIN, atau BRIN sangat selektif untuk riset sampai akhirnya dikeluarkan pendanaan. Atau punya road map sendiri sesuai target pemerintah?

Ya, jadi kita ada dua pendekatan. Tentu kita punya road mapnya ya, tetapi ada juga yang pendekatannya lebih multi bottom-up. Karena BRIN ini kan ada tidak hanya untuk BRIN, kami kan ada untuk seluruh periset Tanah Air.

Itu mengapa sebabnya semua skema di BRIN itu terbuka untuk semua orang. Termasuk di kampus, termasuk di industri. Pendekatan bottom up perlu juga, karena kita tidak tahu kan yang aneh-aneh bisa saja muncul dari mana saja.

Secara umum kita fokus ke pemanfaatan biodiversitas, terutama untuk pangan dan kesehatan ya sekarang yang paling banyak. Dan menurut saya itu yang paling kita bisa kompetisi.

Tadi menyinggung soal sejarah sedikit, itu menarik, apakah itu ikut membentuk hingga akhirnya penelitian kita seolah mundur ke belakang?

Begini, sejak Indonesia merdeka, kita tuh pernah tiga kali mengalami, apa ya kalau saya istilahkan begitu, kehilangan generasi. Setelah kemerdekaan itu kita kehilangan generasi periset, yaitu orang-orang Belanda. Padahal orang pribumi pada saat itu belum siap. Jadi itu yang pertama.

Kemudian yang kedua itu waktu G30SPKI. Orang-orang yang dikirim oleh Bung Karno, yakni ribuan orang ke berbagai negara di Barat dan Timur, itu kan banyak yang enggak bisa kembali. Nah itu lost yang kedua. Karena kita kehilangan begitu banyak kesempatan.

Kemudian yang ketiga itu angkatan saya. Kita-kita dikirim oleh Pak B.J Habibie dulu dan ketika pada saat kembali, supporting system-nya belum siap. Sehingga praktis hanya 30 persen saja yang tersisa ya. Padahal kan itu ribuan juga ya (jumlahnya).

Apakah karena didikan teknokratik sejak zaman Belanda?

Ya sebelum kita bicara itu, ya (mereka) balik saja enggak kan. Kalau balik saja enggak mau, mau diapain. Itu pembelajaran-pembelajaran sejarah, itulah yang kemudian kita jadikan pembelajaran supaya kita tak mengulangi hal yang sama.

Itulah mengapa setelah BRIN ini kita ingin melakukan penguatan supporting system untuk perisetnya, untuk manusianya, dan yang kedua penguatan supporting system untuk ekosistemnya, infrastruktur, dan sebagainya.

Dan untuk itu ada dua program utama kami yang yang sudah dilansir sejak tahun lalu. Yaitu mobilitas periset lewat delapan skema dari mulai untuk mahasiswa tingkat akhir S1 sampai postdoct, sampai profesor. Kedua hibah riset yang memiliki sembilan skema.

Itu sebenarnya dibuat untuk mencegah supaya mereka bisa bertahan. Kita sebenarnya juga menarik para diaspora dengan membuka 500 lowongan untuk lulusan PhD setiap tahun. Supaya mereka bisa bertahan, dan alhamdulillah dari sisi supporting system sudah komplet, karena kita sudah mengkonsolidasi sumber daya, anggaran dan sebagainya. Sehingga kita bisa menyediakan semuanya. Orang tidak lagi bingung enggak punya alat misalnya, enggak bingung anggaran, hibah riset ada di semua bidang.

Kalau anggaran yang dikelola BRIN bisa dijelaskan?

Kalau dari pemerintah Rp26 triliun, kalau total dengan swasta Rp31 triliun. Saat ini kalau dari pemerintah dan yang dikelola BRIN, ya dari APBN dan dana abadi itu Rp8 triliun.

Dana abadi yang dikelola LPDP itu kan tidak lagi boleh programnya ya, jadi setelah Perpres 111 tahun 2022, layanan dari program yang memakai dana abadi, apakah itu beasiswa, layanan pendidikan, yang beasiswa atau layanan riset, itu LPDP sudah tidak boleh lagi. Karena LPDP diminta fokus untuk ngelola uangnya.

Nah yang layanan program riset itu dikelola oleh BRIN. Jadi kalau kelola hibah riset yang dibuka oleh BRIN, itu ada yang dari APBN dan dari LPDP.

Beberapa waktu lalu Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bersuara minta keberadaan BRIN dievaluasi, ada tudingan BRIN sebagai lembaga inovasi tapi kok dituntun ideologi, apa komentar Anda?

Maksudnya gimana? Saya baru dengar malah. AIPI itu kan teman-teman saya juga, saya kenal semua. Tapi saya belum pernah dengar itu, enggak ada yang ngomong ke saya begitu.

Kalau enggak diomongin ke saya, saya enggak tahu. Lah iya toh? Saya enggak tahu apa yang mereka permasalahkan. Yang saya tahu, kan banyak orang kan yang mungkin ya namanya juga barang baru, ya zona nyaman terganggu ya biasa saja.

Ya saya enggak tahu ya, apanya yang dikomplain. Kalau ideologi kan negara ini hidup dituntun oleh ideologi, gimana? Iya kan? Selama kalian jadi warga negara Indonesia ya ideologinya kan Pancasila dan itu sudah disepakati.

Kebebasan akademis itu masalah yang lain, tapi kan ideologi sebagai WNI kan kita terikat sama itu juga. Ya saya enggak paham saja mengapa itu dipermasalahkan.

Pokoknya dalam semua kehidupan dan kita kan dari SD sudah diajari Pancasila kan. Kalau upacara kan nyanyi Indonesia raya juga.

Bu Mega masuk dalam salah satu dewan pengarah BRIN, pengin tahu dong sejauh mana keterlibatannya dan bagaimana arahan beliau?

Saat ini dewan pengarah kan enggak hanya Bu Mega ya, termasuk ada Bu Sri Mulyani, ada Pak Harso, dan enam orang yang lain. Itu kan mereka (berperan) mengarahkan agar kita saat ini fokus ke pangan.

Arahan mereka (dewan pengarah) sesuai juga dengan arahan presiden. Saya kan ikut ratas, Presiden kita minta kita fokus ke pangan dan energi, karena memang itu yang lagi bermasalah begitu. Saat ini kan seluruh dunia, karena ada krisis geopolitik, jadi seperti itu.

Ada dorongan agar fungsi riset dikembalikan ke universitas. Jadi BRIN gak perlu angkat staf, lalu misalnya IPB jalan sendiri, UI jalan sendiri. Apa tanggapan Anda? Atau BRIN dirasa memang sangat diperlukan untuk jaga kewarasan intelektual, termasuk jaga koordinasi?

Tidak mungkin (jalan sendiri). Ya enggak bisa. BRIN itu dihadirkan untuk memecahkan problem fundamental riset kita itu, yang tadi saya bilang itu. Karena kalau mau bergantung ke universitas itu enggak mungkin. Masa kita mau investasi infrastruktur riset di seluruh kampus.

Katakanlah di kampus PTN-BH ada belasan, enggak mungkin, walaupun mungkin pasti sia-sia, karena utilisasinya rendah.

Jadi kalau sekarang kan BRIN yang mengelola seluruh infrastuktur riset. Kita punya armada kapal riset, kita punya armada satelit, punya armada pesawat, pengamat, observasi, segala macam. Kita punya lab-lab yang canggih, yang semua kita pelihara kita operasionalkan, tapi kita buka semua aksesnya untuk semua periset.

Itu yang bisa memecahkan problem tadi, yakni critical mass yang lemah tadi, dari sumber daya riset yang tiga komponen tadi. Yang kalau digabung itu gede, tapi ketika masing-masing institusi, semua kurang, jadi kecil. Diecer-ecer kalau kata Pak Jokowi.

Dan banyak penelitian yang sama-sama juga ya, jadi seakan sia-sia?

Kalau soal overlapping beda lagi, critical mass-nya juga rendah, semua enggak punya apa-apa, lalu siapa yang bisa kompetisi buat negara ini. Ya kan enggak ada.

Jadi BRIN itu sangat teknis ya, masalah yang kita hadapi itu sangat teknis, dan itu enggak mungkin diselesaikan kalau kita tetap saja kayak dulu, semua asal senang sendiri. Kecil-kecil tapi senang sendiri. Ya sampai kapan?

Ya memang harus keras sih, karena dulu kan punya alat kecil-kecil, tapi milik sendiri-sendiri. Lab sebelahnya saja kadang enggak boleh pakai misalnya, begitu lho ya. Sekarang kan kita tarikin semua, dan semua boleh pakai. Kita yang mengelola, kita yang pelihara. Itu kan simpel banget.

Dan itu langsung selesai, begitu kan. Kita kan sekarang punya apa saja. Hampir semua orang mau riset apa saja bisa. Asal mau antre ya, giliran makai alat. Tapi kan enggak apa-apa.

Daripada kita buang-buang duit ya, seperti ditaruh di mana, di masing-masing, kecil-kecil tapi enggak konkret. Belum lagi enggak punya kapasitas melihara. Ya kalau orang ilmu sosial mungkin enggak terkait ya, tidak merasakan masalah seperti itu, tapi kan kalau hard science, engineering, kan itu krusial.

Saya bukan mendiskriminasi ilmu sosial ya, tapi negara ini enggak mungkin maju kalau... kompetisinya itu kan di hard science, yang bisa kasih nilai tambah itu siapa? Ya hard science dan engineering. Enggak ada yang lain.

Misal gimana supaya kencur jadi obat yang berharga mahal. Vaksin juga begitu, kita juga merasakan kan pas baru pandemi, baru tahu kita kalau enggak ada yang bisa bikin vaksin. Dan kita enggak punya infrastukturnya juga. Dan sekarang kita jadi punya. Kita bangun, meski habis ratusan miliar, tapi kan jadi bisa, jadi punya begitu ya.

Kalau dulu kan karena kecil-kecil enggak mungkin. Dulu waktu saya Kepala LIPI ya saya enggak sanggup. Saya bilang, saya sangup ya itu, tapi kalau untuk mengoperasionalkan dan memfasilitasi programnya sepanjang tahun, ya enggak sanggup.

Enggak mungkin, sekelas LIPI pun waktu itu ya. Tapi kalau sekarang, di BRIN, ya kita enggak masalah. Misalnya ya, jadi hal-hal seperti itu. Kalau ada yang komplain, tanya dulu dia orang ilmu sosial atau bukan. Kalau orang ilmu sosial enggak ngerasain soalnya. Karena dia bisa kerja di mana saja. Enggak perlu apa-apa ya kan.

Ini soal proyeksi, Indonesia kan disebut-sebut akan masuk ke era emas di 2045 karena bonus demografinya. Potensi yang ditangkap matang sama BRIN apa, agar banyak bermanfaat juga buat anak muda?

Ya makanya, kita ini kan beberapa tahun ini ada bonus demografi. Bonus demografi itu bisa menguntungkan, bisa merugikan. Tergantung bagaimana kita mempersiapkannya.

Nah kalau terkait dengan riset, itu sebenarnya timing, untuk kita memiliki periset-periset muda, yang bisa jadi calon-calon SDM unggul, periset masa depan lah kira-kira, nah itu sebabnya di BRIN itu kita ada program yang saya bilang tadi, mobilitas periset itu.

Mulai dari mahasiswa tingkat akhir S1 sampai postdoct, karena kita ingin memastikan bahwa kita mampu menciptakan itu selama periode bonus demografi. Sebab kalau tidak, ya remuk nanti.

Karena mereka hanya akan jadi beban saja kan. Kita kan harus memperbanyak SDM unggul di antara generasi yang bonus demografi. Sebab kalau enggak, ya mereka hanya akan jadi beban negara.

Kalau dari kacamata penelitian sendiri, anak muda sekarang sebenarnya diuntungkan karena teknologinya sudah lebih mendukung untuk lakukan riset?

Ya kalau saya enggak pernah bicara mana yang untung, zaman dulu atau zaman sekarang. Karena setiap zaman itu berbeda. Sekarang banyak teknologi tapi kompetisinya jauh lebih berat.

Jadi ya kalau kita bicara riset misalnya, kalau dulu kita mungkin cukup hanya dengan mikroskop, sekarang sudah enggak bisa.

Untuk mengklaim sesuatu perlu alat yang lebih canggih ya, yang saya belinya harus Rp300 miliar misalnya. Dan itu kan perlu penguasaan juga untuk menguasai alat itu.

Jadi cukup menantang ya, kalau buat anak sekarang menurut saya. Itu makanya kita harus bikinkan supporting system.

Jadi masalahnya manajemen riset kita itu enggak paham riset juga mungkin ya, jadi supporting system-nya enggak dipikirkan. Jadi makanya kita ada generation lost tadi.

Baca Juga: BRIN: Jabatan Politik Tak Lepas dari Uang, Maju Pilkada Habiskan Rp30 M

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya