Pernyataan Menkumham soal Isu Papua dalam Sidang UPR Disorot

Kekerasan di Papua masih terjadi namun tak dilaporkan

Jakarta, IDN Times - Manajer kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri menyebut adanya ketidakadilan atas pernyataan Menkumham RI Yasonna H Laoly, terkait isu Papua dalam laporan sidang Universal Periodic Review (UPR).

Hal itu disampaikan Nurina pada acara Konferensi Pers: Pemantauan Sidang UPR 4th Cycle Indonesia, yang dilakukan secara daring, Kamis (10/11/2022).

“Di dalam laporan, pemerintah hanya menyampaikan situasi di Papua dari perspektif pembangunan infrastruktur, kesejahteraan, padahal di saat yang bersamaan kekerasan berlanjut," kata Nurina.

1. Yasonna tidak menyebut isu kekerasan di Papua

Pernyataan Menkumham soal Isu Papua dalam Sidang UPR DisorotANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Sebelumnya, Yasonna mengatakan, ada beberapa negara yang mengangkat isu Papua dalam sidang UPR yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss, Rabu (9/11/2022). Kemudian dia juga menyampaikan, Pemerintah RI sudah melakukan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan di Papua.

“Ada beberapa negara yang angkat. Kita yakin dan sudah sampaikan bahwa pemerintah sudah melakukan pembangunan di Papua, ekonomi, kesejahteraan,” ujar Menkumham.

Pernyataan tersebut tentu membuat Nurina geram dan merasa tidak adil. Lantaran, Yasonna tidak menyebutkan kasus kekerasan yang marak terjadi di Papua.

"Tentu tidak adil menjawab segala kekerasan ini hanya dengan jargon pembangunan infrastruktur,” kata Nurina.

Baca Juga: Di Markas PBB, Menkumham Klaim Sejumlah Capaian HAM Indonesia

2. Masih banyak pasal RKUHP yang berpotensi melanggar HAM

Pernyataan Menkumham soal Isu Papua dalam Sidang UPR DisorotInfografis alur pembentukan undang-undang di Indonesia (IDN Times/Arief Rahmat)

Tidak hanya itu, Nurina juga mengkritisi pemerintah Indonesia yang tidak memberikan informasi utuh mengenai situasi HAM di Indonesia dalam sesi UPR. 

Pemerintah hanya menjelaskan bahwa Indonesia tengah membenahi instrumen hukum melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Padahal, masih banyak pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM.

“Pasal pencemaran nama baik, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan pemerintah, pasal makar, ini adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan untuk membungkam mereka yang kritis terhadap kebijakan negara, merepresi mereka yang memiliki pandangan politik yang berbeda," jelas Nurina.

"Dan pasal-pasal itu dipertahankan di dalam draft terbaru RKUHP. Padahal hak-hak tersebut dijamin di dalam instrumen hukum internasional yang diratifikasi Indonesia dalam bentuk Undang-Undang,” sambungnya.

3. Pembela HAM belum mendapatkan perlindungan

Pernyataan Menkumham soal Isu Papua dalam Sidang UPR DisorotKoordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti diwawancarai wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (19/7/2022). Dahrul Amri/IDN Times Sulsel

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti juga menanggapi pernyataan pemerintah yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia selalu bekerja sama dengan pembela HAM, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan elemen sipil lainnya dalam rangka perlindungan HAM. 

Namun kenyataannya, pembela HAM sendiri tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Sehingga, KontraS menekankan harus adanya perlindungan pembela HAM dan kebebasan berpendapat secara komprehensif dalam hukum.

“Pembela HAM di Indonesia menghadapi berbagai serangan, di mana mereka atau keluarga mereka dibuntuti, diawasi, menjadi sasaran tuntutan pidana, dan pencemaran nama baik di depan umum," kata dia.

Baca Juga: RI Lapor Capaian Isu HAM di PBB, Hukuman Mati dan Papua Jadi Sorotan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya