Halaqah Fiqih Peradaban: Pancasila Tidak Bertentangan Syariah Islam

Nasionalisme bukan fanatisme

Jakarta, IDN Times - Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir, membeberkan dasar-dasar Islam dan penerimaan politik dalam Islam. Menurut dia, tasawuf memberikan kontribusi yang cukup tinggi pada agama, sehingga banyak orang yang memeluk Islam jalur ini.

Namun, kata dia, dari setiap dasar-dasar agama itu, yang paling dominan adalah ajaran syariat. Syariat ada yang merupakan hukum mati, ada pula yang berpotensi beradaptasi. Ini merupakan karakter fikih. Sementara dalam fikih, terdapat fikih muamalat dan fikih ibadah, dan politik berada dalam fikih muamalat.

“Politik adalah setiap aktivitas atau kebijakan yang menggiring manusia ke dalam
kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan, meski tidak ditunjukkan oleh Nabi Muhammad maupun wahyu Allah,” ujar dia dalam acara Halaqah Fiqih Peradaban bertema Fiqih dan Tasawuf dalam Kehidupan Bernegara, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah, Kebonsari, Panggungrejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur, Ahad, 13 November 2022.

Baca Juga: Antropolog Asal Prancis Minta Indonesia Tonjolkan Pancasila di KTT G20

1. Pancasila dinilai membawa kebaikan

Halaqah Fiqih Peradaban: Pancasila Tidak Bertentangan Syariah Islam(Dok. Kemenag-PBNU)

Menurut Afifuddin, di antara sikap politik seorang muslim di Indonesia adalah menerima Pancasila sebagai bagian dari kehidupan beragama. Pada awalnya, Pancasila sebagai asas berorganisasi memang penuh polemik, tetapi Pancasila adalah kebaikan, isinya baik, dan membawa pada kebaikan.

“Dalam menerima Pancasila, ada tiga kategori, yaitu Pancasila tidak bertentangan dengan syariah, Pancasila sesuai syariah, Pancasila ya syariah itu sendiri,” ujar pria yang juga sebagai Rais Syuriah PBNU tersebut, dalam keterangan tertulis.

Afifuddin menjelaskan Pancasila tidak bertentangan dengan syariah Islam karena memang tidak ditemukan dalilnya dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai syariah karena memang ditemukan dalilnya dalam syariah, dan Pancasila juga menjadi cerminan syariah itu sendiri.

2. Kecintaan pada Tanah Air tidak termasuk dalam fanatisme

Halaqah Fiqih Peradaban: Pancasila Tidak Bertentangan Syariah Islam(Dok. Kemenag-PBNU)

Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Dr. H. Hilmy Muhammad, mengatakan nasionalisme sebagai bagian dari kecintaan kepada Tanah Air harus ditanamkan kepada setiap warga negara Indonesia.

Kendati, kata dia, kecintaan tersebut tidak termasuk dalam fanatisme. Perilaku yang termasuk fanatisme seperti jika ada seorang teman yang jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi masih tetap dibela habis-habisan.

“Kalau ada teman yang jelas-jelas berbuat salah tetapi masih dibela, itu namanya fanatisme keblinger. Ini sekaligus menolak ideologi suatu negara yang menyatakan bahwa salah atau benar negaraku, akan tetap aku bela. Ajaran agama Islam menyampaikan apa yang salah disalahkan, apa yang benar dibenarkan. Maka fanatisme tidak dapat dibenarkan,” ujar pria akrab disapa Gus Hilmy tersebut.

3. Terdapat tiga pola dalam melihat hubungan agama dan negara

Halaqah Fiqih Peradaban: Pancasila Tidak Bertentangan Syariah Islam(Dok. Kemenag-PBNU)

Menurut pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut, dalam melihat hubungan agama dan negara, terdapat tiga pola, yaitu integralistik, sekularistik, dan simbiosis mutualistik.

“Integralistik artinya terdapat hubungan yang saling mengatur antara agama dan negara. Sementara sekularistik, keduanya tidak ada hubungan sama sekali, berjalan sendiri-sendiri. Dan Indonesia, menganut pola yang ketiga, yaitu keduanya saling membutuhkan," ujar Gus Hilmy.

Bahkan, kata dia, bisa dilihat sejak adanya peradaban, keberadaan agama kerap kali menjadi dasar bagi kekuasaan. Baik di Timur Tengah, Eropa, Asia, dan di tempat-tempat lain. "Bahkan partai-partai juga mendasarkan diri pada agama.” ungkap pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut.

Menurut Gus Hilmy, di Indonesia, hubungan timbal balik itu dapat dilihat bagaimana negara melindungi setiap warga negaranya dalam menjalankan agama masing-masing. Misalnya, negara memfasilitasi hukum-hukum Islam dalam hukum formal negara, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji dan Umrah, UU Perkawinan, UU Zakat, UU Pesantren, dan lain sebagainya.

Dia menjelaskan negara mengatur syariah karena negara memang membutuhkannya. Agama dan kekuasaan, menurut Gus Hilmy, adalah seperti anak kembar yang bersinergi dan bekerja sama. Mengutip dari Imam al-Ghazali, dia mengatakan, agama seperti dasar atau pondasi, sementara kekuasaan seperti penjaga.

“Sesuatu yang tidak memiliki dasar akan mudah roboh, sesuatu yang tidak dijaga akan mudah hilang. Jadi ada kepentingan dari agama dan negara yang saling membutuhkan. Agama tanpa negara, tidak bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sementara kekuasaan tanpa agama akan berjalan semaunya sendiri dan ngawur,” kata dia.

Baca Juga: Pancasila: Pengertian, Fungsi, dan Kedudukan di Indonesia

4. Islam tidak memiliki satu sistem pemerintah tertentu

Halaqah Fiqih Peradaban: Pancasila Tidak Bertentangan Syariah Islam(Dok. Kemenag-PBNU)

Islam, dalam pandangan Gus Hilmy, tidak memiliki satu sistem pemerintah tertentu. Namun di Indonesia, kata dia, sistem demokrasi yang dianut diadopsi sebagai sistem negara tetapi didasari dengan keagamaan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Islam juga tidak memiliki konsep nation state.

“Meski tidak memiliki konsep sistem kenegaraan, tetapi Islam memberikan syarat-syarat bagi suatu kepemimpinan. Misalnya dilakukan dengan yang adil dan amanah, melalui pengambilan keputusan yang dihasilkan dari musyawarah, dan tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar pria yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.

Pada acara digelar atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kementerian Agama, dan PP Salafiyah Pasuruan ini, Gus Hilmy melihat NU melalui Muktamar 32 di Makassar, memungkinkan melakukan penyerapan hukum Islam dalam hukum negara melalui tiga cara, yaitu formalisasi, substansi, esensial (jauhariyah).

“Formalisasi berarti menjadikan hukum syariat sebagai hukum formal negara, seperti haji, zakat , dan sebagainya. Sementara substansi berarti larangan di dalam agama dijadikan aturan meskipun tidak menggunakan istilah agama, seperti larangan narkoba, pornografi, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah esensial, seperti hukum yang ada di masyarakat meski tidak tertulis dan formal. Ketiganya menjadi urutan penerapan hukum kita,” ungkap pria yang juga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya