Hari Santri dan Resolusi Jihad: Bukan Balas Jasa pada NU

Gus Yahya menyebut Hari Santri bukan balas jasa pada NU

Jakarta, IDN Times - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Apel Nasional Hari Santri 2022 di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (22/10/2022) pagi. Apel berlangsung mulai pukul 06.50 hingga 07.30 WIB.

Acara digelar secara offline dan online yang diikuti seluruh pengurus cabang NU dan PWNU se-Indonesia dari daerah mereka masing-masing. Ketua umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, memimpin langsung apel nasional itu. Ada 528 titik yang menggelar apel serentak di berbagai daerah dan diikuti setengah juta lebih santri.

“Kita berterima kasih kepada pemerintah kepada Presiden Joko Wdodo yang telah menetapkan Hari Santri sebagai salah satu hari nasional. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan dari kalangan para kiai dan para santri,” kata kiai yang akrab disapa Gus Yahya, saat menyampaikan amanat upacara, Sabtu (22/10/2022).

Baca Juga: Kemenag Gelar Simposium Hari Santri, Harap Munculkan Gagasan Baru

1. Hari Santri Nasional dirayakan sebagai momentum mengenang kepahlawanan, bukan menuntut balas jasa pada NU

Hari Santri dan Resolusi Jihad: Bukan Balas Jasa pada NUKetua umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Dok. PBNU)

Gus Yahya menjelaskan, penetapan Hari Santri Nasional merupakan apresiasi pemerintah yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tertanggal 15 Oktober 2015. Namun, ia mengatakan, seperti hari nasional lainnya, Hari Santri adalah peringatan jasa dan keteladanan bagi para pahlawan secara umum.

Para pahlawan terebut seperti KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari, KH. Ahmad Dahlan. H.O.S Cokroaminoto, Tengku Fakinah, Maria Josephine Walanda Maramis, dan lainnya yang turut berjuang sejak zaman pra revolusi kemerdekaan.

"Hari Santri Nasional dirayakan sebagai momentum mengenang kepahlawanan segenap-bangsa Indonesia, bukan hanya satu kelompok tertentu saja; Hari Santri harus benar-benar dipahami, dihayati, dan ditegakkan sebagai harinya seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali," kata dia.

Menurut Gus Yahya, penetapan Hari Santri Nasional berdasarkan peringatan 70 Tahun Resolusi Jihad yang diabadikan sebagai penghormatan jasa para ulama. Namun, Hari Santri Nasional bukan dirayakan sebagai bentuk untuk menuntut balas jasa negara kepada Nahdlatul Ulama.

"Karena yang berjasa mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia bukan generasi masa kini, bukan kita, melainkan para pahlawan agung dari Generasi 1945 lalu," kata Gus Yahya, saat berpidato saat upacara.

2. Sejarah Resolusi Jihad

Hari Santri dan Resolusi Jihad: Bukan Balas Jasa pada NUKetua umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Dok. PBNU)

Merujuk sejarahnya, lahirnya Hari Santri Nasional bersumber pada fatwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari. Sebelum fatwa itu lahir, para ulama pesantren Jawa-Madura menggelar rapat di Kantor PBNU Jalan Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945.

Hasilnya, dua keputusan yang berhasil menggerakkan rakyat melawan penjajahan. Pertama, memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata, serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Kedua, supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan agama Islam.

"Kita kenal, fatwa atau keputusan itu dengan nama 'Resolusi Jihad'," ujar Gus Yahya.

Selain itu, beberapa peristiwa yang membutuhkan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Antara lain, peristiwa perebutan senjata tentara Jepang pada 23 September 1945 yang pada akhirnya membawa Presiden Sukarno melalui utusannya berkonsultasi kepada Kiai Hasyim Asy'ari, yang dinilai memiliki pengaruh di hadapan para ulama.

Fatwa ini, kata Gus Yahya, memang patut ditahbiskan sebagai tonggak sejarah yang tidak hanya bermakna heroik dalam konteks kemerdekaan Indonesia, tapi juga sebagai penanda paling lugas dari tekad para ulama, sebagai rakyat Indonesia yang mencintai bangsanya, untuk membangun peradaban baru dengan menetapkan berdirinya Republik Indonesia sebagai Negara-Bangsa.

"Yaitu, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga kewajiban mempertahankannya adalah kewajiban Jihad Fi Sabilillah dengan pahala syahid," kata dia.

Menurut Gus Yahya jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan kolonial inilah yang menjadi esensi Fatwa Resolusi Jihad. Kala itu, kata dia, para kiai dan pesantrennya memimpin banyak perjuangan bagi kemerdekaan bangsa untuk mengusir penjajah.

"Sehingga, bisa disimpulkan Resolusi Jihad merupakan bagian dari cikal bakal berkobarnya semangat para pahlawan untuk berjuang meraih kemerdekaan, hingga akhirnya 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan," kata dia.

Dari alur sejarah ini, kata Gus Yahya, bisa dipahami meski merupakan fatwa dari Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar NU waktu itu bersama para ulama lainnya, Resolusi Jihad menjelma menjadi seruan yang disambut serempak segenap anak bangsa di seluruh Indonesia.

"Dari semua kelompok dan kalangan, terlepas dari perbedaan latar belakang apa pun, termasuk perbedaan agama. Tugas generasi saat ini, meski tidak turut serta berjuang bertaruh nyawa untuk negara dan bangsa Indonesia, namun bisa mensyukuri kemerdekaan dan mengenang jasa para pahlawan dengan membulatkan tekad untuk meneladani perjuangan mereka, sesuai momentum yang dihadapi," katanya.

Baca Juga: Luncurkan Hari Santri 2022, Yaqut Singgung Ada yang Tak Suka Santri

3. Perlunya meneladani semangat cinta Indonesia dengan terus memupuk rasa nasionalisme

Hari Santri dan Resolusi Jihad: Bukan Balas Jasa pada NUPeringatan Hari Santri Nasional di Jombang, Jawa Timur, Sabtu (22/10/2022). (Dok. PBNU)

Gus Yahya menyebut tahun ini adalah momentum bagi Indonesia yang memimpin dunia lewat Presidensi G20. Kewajiban generasi inilah untuk mendukung penuh pemerintah dalam kancah global dan membangun Indonesia.

"Nahdhlatul Ulama memelopori R20, sebagai G20 Religion Forum, yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam tiga tahun berturut-turut, G20 dipimpin oleh Indonesia yang mayoritas Muslim, dilanjutkan India yang mayoritas Hindu, dan Brasil yang mayoritas Katolik. Dengan mensinergikan nilai-nilai yang dimiliki agama-agama, hal ini akan menjadi kekuatan penting yang masih relevan untuk menjawab tantangan zaman, bahkan 77 tahun, sejak Resolusi Jihad," kata dia.

Gus Yahya menambahkan, perlu pula meneladani semangat cinta Indonesia dengan terus memupuk rasa nasionalisme. Hal ini dapat dilakukan dengan senantiasa mencintai Tanah Air, bangga akan bangsa sendiri--tanpa maksud berpikiran chauvinistik--dan menjaga eksistensi bangsa Indonesia secara bersama-sama tanpa terkecoh dengan politik identitas yang bisa saja merongrong rasa patriotisme generasi bangsa.

"Pantang mengeluh, berani berpeluh, bersatu padu untuk Indonesia maju merawat jagat, membangun peradaban," tegas Gus Yahya.

Sementara, peringatan Hari Santri tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini, apel nasional tak hanya diikuti para santri tapi juga masyarakat umum, kepala daerah, aparat keamanan, pegawai negeri sipil, dan tokoh masyarakat.

"Pada tahun ini kita patut berbahagia, karena peringatan akan dikuti elemen masyarakat. Kita kolaborasi dengan Kementerian Agama, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatan/kota," kata Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf, saat memimpin persiapan akhir apel Hari Santri secara daring, Jumat, 21 Oktober 2022.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya