Kisah Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok Jawa

Perjuangan seorang ibu untuk keluarga dan masyarakat

Jakarta, IDN Times - Muslihah sesekali mengusap keringat di wajahnya yang tertutup caping yang sudah lusuh. Terik matahari siang itu tak membuatnya berhenti menyiangi padi yang baru berumur satu bulan itu. 

Tubuhnya membungkuk, mencabuti rumput liar di sela-sela padi yang menghijau itu. Sesekali dia berdiri sambil mengernyitkan keningnya, karena menahan sakit pinggangnya.

"Sebentar lagi ya, tanggung tinggal sedikit lagi," ujar perempuan berumur 40 tahun itu, kepada IDN Times, awal Februari 2018.

Siang itu, kebetulan Muslihah tidak pergi ke kantor. Namun, waktu luang itu ia gunakan untuk menggarap sawah seluas kurang dari seperempat hektare itu. Satu-satunya sawah warisan orang tua suaminya yang ia rawat saat sang suami merantau ke kota.

Baca Juga: Bawa Kejayaan Ternate, Sultan Baabullah Diberi Gelar Pahlawan Nasional

1. Bekerja sebagai petani, penyuluh desa, guru sekolah diniyah, hingga pendakwah

Kisah Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok JawaIDN Times/Dok.Muslihah

Setahun lalu, Muslihah mencoba mengadu nasib dengan melamar sebagai penyuluh desa. Pucuk di cinta ulam tiba, harapan menjadi penyuluh desa terkabulkan. Kini, ia mulai mencintai pekerjaan ini.

Dengan honor Rp500 ribu setiap bulan, tak membuat semangat Muslihah kendor sebagai penyuluh desa. Ia justru merasa beruntung, karena selain bisa berdakwah, juga dapat menambah pundi-pundi.

"Ya lumayan lah, itung-itung sambil belajar dakwah. Nabung buat akhirat, duit seberapa aja pasti kurang terus," ucap perempuan yang mengenyam pendidikan pesantren selama lima tahun itu, sambil membuka capingnya. 

Honor sebagai guru sekolah diniyah di kampung halamannya Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, jauh dari kebutuhan sehari-hari, yakni Rp290 ribu per bulan.

"Honor penyuluh Rp500 ribu, katanya sih Rp1 juta, tapi sampai sekarang belum terealisasi. Kalau honor guru diniyah dari kabupaten tahun lalu Rp150 ribu, dari sekolahan Rp140 ribu. Untuk tahun ini katanya dari kabupaten Rp200, dari sekolahan Rp150 ribu," ungkap perempuan berhijab itu, sambil membersihkan kedua kaki dan tangannya di parit yang mengalir air jernih.

2. Kecelakaan membuat Muslihah tidak bisa bekerja banyak di sawah

Kisah Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok JawaIDN Times/Dok.Muslihah

Sejak mengalami kecelakaan sepeda motor Januari lalu, Muslihah tak sanggup menggarap sawah untuk pekerjaan yang berat, seperti membajak sawah dan memanen padi. Sebab, kecelakaan itu membuat lengan kirinya patah yang hingga kini harus menjalani terapi.

Muslihah tidak seperti dulu sebelum kecelakaan menimpanya. Ia biasanya sanggup merawat sawah secara keseluruhan, mulai menyemai bibit padi, menanam bibit padi, menyemprot obat anti-hama, membersihkan rumput, hingga memanen padi.

"Biasanya apa-apa sendiri, kayak matun (mencabuti rumput liar di antara padi), gombrang galeng (membersihkan rumput di pematang), nyemprot (obat anti-hama). Tapi karena tangannya belum sehat bener, makanya bayar ke orang," ujar dia dengan logat ngapak Banyumasan.

"Aku gebal (memotong kayu bakar dengan kapak) aja sendiri, kalau suami lagi merantau ke Sumatera," tutur Muslihah, tersenyum.

Biasanya, Muslihah pagi hari sudah pergi ke sawah usai salat subuh, jika suaminya sedang di tanah rantau. Jika matahari mulai terbit, ia pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan buat anak bungsunya sebelum berangkat sekolah.

"Abis nyiapain sarapan buat anak, baru berangkat ke kantor. Sekarang tiap hari harus ke kantor sampai siang. Nanti sorenya baru ngajar sekolah diniyah," ucap Muslihah saat perjalanan pulang dari sawah ke rumahnya yang berjarak sekitar 2 km.

Namun, di antara kesibukan sebagai penyuluh desa dan guru sekolah diniyah, Muslihah harus mengisi dakwah di kampung halamannya serta mengajar kitab kuning di rumahnya. Jadwal mengajar diniyah pun tak jarang harus digantikan guru lain karena harus berdakwah. 

"Kadang sekolah diniyah ada guru pengantinya, gantian, jadi aku bisa ngaji, soalnya seminggu pengajian bisa dua tiga kali," ujar perempuan yang dikenal cekatan itu.

3. Muslihah selalu berusaha belajar bersyukur

Kisah Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok JawaIDN Times/Dok. Muslihah

Honor sebagai penyuluh desa dan guru sekolah diniyah ternyata jauh untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari Muslihah dan biaya sekolah kedua anaknya. Penghasilan suami yang bekerja serabutan juga tidak menentu.

"Kalau suami kerja sedikit-sedikit bisa nabung, tapi kebutuhan tak terduga biasanya lebih banyak kayak kondangan, jenguk orang sakit dan sebagainya," tutur dia.  

Selain membiayai sekolah si bungsu di sekolah dasar, Muslihah dan suaminya juga harus menanggung biaya sekolah anak laki-lakinya yang menuntut ilmu di pesantren. Beruntung, hasil pertanian cukup memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari Muslihah dan keluarganya.

"Yang bungsu kan masih SD, yang di nomer tiga sekarang sekolah sambil ngaji di pesantren. Yang di pesantren biaya tiap bulan Rp500 ribu, yang SD Rp250 ribu," ujar dia.

Meski hidup pas-pasan, Muslihah tak pernah mengeluh. Sebaliknya, dia justru merasa berlimpah rezeki dan bersyukur dengan penghasilan sebagai penyuluh dan guru sekolah diniyah. Dia berprinsip selalu berusaha melihat ke bawah.

"Hidup itu jangan melihat ke atas terus, sekali-kali lihat ke bawah biar kita selalu bersyukur," ucap Muslihah yang kini sudah sudah menimang seorang cucu laki-laki.

4. Suami tidak bisa lagi mencari nafkah karena sakit

Kisah Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok JawaIDN Times/Dok. Muslihah

Sejak tiga bulan terakhir ini, suaminya sudah tidak bisa lagi bekerja mencari nafkah, karena sakit. Karena itu, Muslihah kini harus menghidupi keluarganya sendiri.

"Sekarang udah gak bisa kerja, sejak sakit syaraf kejepit. Mau gak mau harus aku yang cari duit," ujar Muslihah.

Untuk berobat sang suami, terkadang Muslihah juga harus meminjam uang ke saudara atau temannya, meski sudah ada bantuan kartu kesehatan dari pemerintah. "Kan ke rumah sakit kita butuh ongkos, jauh dari rumah ke rumah sakit."

Selamat Hari Pahlawan!

 

Artikel ini pernah tayang sebelumnya pada 22 Desember 2018, dan dipublikasi ulang dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. 

Baca Juga: Riwayat Perjuangan KH Masjkur, Tokoh NU yang Jadi Pahlawan Nasional

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya