Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?

Hoaks dan kampanye hitam masih bertebaran di media sosial

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Jakarta, IDN Times - Jelang pencoblosan pemilu 2019 pada 17 April mendatang, konstelasi politik mulai memanas sejak hari pertama kampanye, 23 September 2018. Khususnya untuk pemilihan presiden. Kedua kubu pasangan calon saling serang kampanye negatif hingga hoaks bertebaran di media sosial dan dibanjiri berbagai macam unggahan tentang politik disertai komentar-komentar tajam dan pedas.

Meskipun dalam politik hal itu lumrah terjadi, namun jika dilakukan secara tak sehat bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Seperti menyebar hoaks, fitnah, kampanye hitam, pemanfaatan isu SARA, dan lain-lain.

Padahal, jika melihat ke belakang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada awal tahapan Pemilu 2019 telah menggelar deklarasi kampanye damai di Monas, Jakarta Pusat, pada Minggu 23 September 2018. Perhelatan ini dihadiri kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko 'Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dalam deklarasi kampanye damai yang berlangsung sejak pukul 06.30 WIB itu, kedua pasangan calon sudah sepakat dan menandatangi serta berjanji menjalankan pemilu damai. Lantas kenapa sekarang janji mereka justru dilanggar kedua kubu?

1. Deklarasi damai ditandai dengan pelepasan burung

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?IDN Times/Gregorius Aryodamar

Setelah tuntas membacakan deklarasi kampanye damai, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPD, dan ketua partai peserta Pemilu 2019 membubuhkan tanda tangan dan melepaskan burung sebagai simbol dukungan kampanye damai.

Dengan pembacaan janji kampanye damai, maka deklarasi kampanye damai pun berakhir sore itu. Rangkaian acara itu pun ditutup dengan penampilan Tantri 'Kotak’ dan Candil.

Baca Juga: Tabloid Indonesia Barokah Dianggap bukan Kampanye Hitam

2. Kedua kubu berjanji melaksanakan kampanye pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, politisasi SARA, dan politik uang

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Setelah pawai keliling di Jalan Medan Merdeka, pasangan nomor urut 1, Joko 'Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin maupun paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, beserta 16 ketua partai politik peserta Pemilu 2019, serta calon anggota DPD membacakan janji kampanye di hadapan hadirin.

Berikut isi deklarasi kampanye damai tersebut:

"Kami, Peserta Pemilu Tahun 2019 beserta Tim Kampanye dan para
pendukung, berjanji:
Mewujudkan Pemilu yang Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Melaksanakan Kampanye Pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoax,
politisasi SARA dan politik uang.
Melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku"

Tapi pada praktiknya usai deklarasi kampanye damai dan berintegritas, kedua pasangan calon dan kubunya saling sindir hingga menghujat di media arus utama maupun media sosial. Bahkan terjadi kampanye hitam dan kampanye negatif.

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?IDN Times/Sukma Shakti

3. Menangkal hoaks dan kampanye hitam dengan edukasi politik kepada pemilih

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?IDNTimes/Fitang Adhitia

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, perlunya penekanan bagi penyebar hoaks jelang pemilu dapat dilakukan dengan menggunakan dua strategi, yakni daring (online) dan luring (offline).

Titi menjelaskan strategi daring bisa melalui kerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Sementara, untuk strategi luring, bisa dilakukan dengan meningkatkan literasi digital pemilih.

“Karena upaya paling efektif untuk menolak kampanye jahat adalah pemilih yang cerdas, punya nalar yang baik dalam memilah informasi. Online penting tapi offline juga harus dioptimalkan,” ujar Titi, dikutip dari laman resmi Perludem, Minggu (24/2).

Titi menegaskan kepada seluruh pihak harus memberikan pendidikan literasi digital tersebut. Menurutnya, saluran pendidikan tersebut yang paling efektif yakni melalui kelompok-kelompok kecil dan terdekat.

“Jadi yang berbasis kelompok pergaulan (peer group) menurut saya paling efektif. Kemudian keluarga, perempuan, anak muda, kelompok agama,” kata dia.

Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Eriko Sotarduga mengatakan kampanye negatif memang diperbolehkan dalam undang-undang, namun harus tetap menggunakan data dan fakta. Ia pun mengintakan jangan sampai melakukan kampanye negatif menggunakan ilusi.

Menurut Eriko, kampanye memang bisa dilakukan melalui beberapa cara. Bisa melalui kampanye positif dan negatif. Namun, yang dilarang adalah kampanye hitam. Kampanye negatif memang bisa dilakukan asalkan memiliki data-data yang tepat dan sesuai fakta.

"Kalau kampanye negatif menyampaikan dengan data-data bahwa ini lebih baik dengan seperti ini, komparasinya ini, ternyata ini masih belum, itu sah-sah saja. Silakan saja," kata Eriko di Gedung DPR RI, Selasa 16 Oktober 2018.

Eriko mengingatkan apabila memang ingin menyampaikan kampanye negatif, harus benar-benar menyampaikan sesuatu yang nyata sesuai fakta dan bukan ilusi.

"Tentu dengan data, tentu dengan sesuatu yang benar-benar nyata. Jangan berupa misalnya ilusi-ilusi. Ini yang sering terjadi, menyampaikan kampanye negatif dengan ilusi-ilusi, dengan perbandingan-perbandingan yang tidak dengan data sesungguhnya," kata dia.

4. Kampanye negatif rawan pelanggaran

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?ANTARA FOTO/Reno Esnir

Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan apabila di dalam kampanye negatif mengandung unsur menjelek-jelekkan orang lain, hal tersebut tak sesuai dengan aturan. Kampanye negatif sejatinya sangat rawan tindak pelanggaran dalam kampanye.

“Tapi kalau memang (isi kampanye negatif) memang seperti itu ya, tentu saja rawan terhadap pelanggaran,” kata dia.

Melansir dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomer 23 tahun 2018 Bab VII pasal 69, bahwa dalam kegiatan kampanye ada larangan dan sanksi yang tertulis. Salah satunya adalah pasal 69 ayat 1 poin b dan c yang membahas bahwa dalam kampanye peserta dan tim kampanye dilarang untuk melakukan tindakan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengihina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.

Selain itu tertulis juga pada poin d di pasal yang sama bahwa menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat adalah perbuatan yang dilarang selama kampanye.

Dalam PKPU jelas tertulis bahwa setiap pelangaran yang dilakukan ada sanksinya. Penjelasan tersebut tertulis di pasal 74. Mulai dari peringatan tertulis, penurunan atau pembersihan Bahan Kampanye atau Alat Peraga Kampanye; dan/atau penghentian Iklan Kampanye di media cetak, media elektronik, media dalam jaringan, media sosial, dan lembaga penyiaran. 

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menyebut, hingga saat ini masih banyak aturan kampanye yang masih belum jelas. Sehingga mengakibatkan kebingungan peserta pemilu dan masih ada pelanggaran kampanye.

Berbeda dengan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, menurut dia banyaknya pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye bukan disebabkan karena kurangnya sosialisasi aturan dari KPU terkait aturan.

Ia mengklaim, KPU sudah memberikan sosialisasi yang cukup kepada para peserta pemilu terkait aturan kampanye. Masih ditemukannya sejumlah pelanggaran aturan karena peserta pemilu memang tidak menaati aturan kampanye.

5. Apa itu kampanye negatif?

Pemilu Damai dan Berintegritas Hanya Seremonial, Kenapa?IDN Times/Sukma Mardya Shakti

Kampanye negatif dan kampanye hitam merupakan dua hal berbeda. Kampanye negatif menghadirkan informasi berupa fakta, data, termasuk rekam jejak terkait kandidat. Sementara kampanye hitam berisi hoaks, fitnah, ujaran kebencian, hingga isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan di negara maju kampanye negatif justru menjadi tren saat pemilu. Hal itu menjadi pendidikan politik kepada calon pemilih.

"Apa yang salah dengan negative campaign? Negara maju kampanyenya malah negative campaign. Baik saat debat maupun kampanye. Saling membuka fakta dan rekam jejak lawan. Di situlah pendidikan politik terjadi,” kata Yunarto. 

Menurut Terry Cooper pada 1991 dalam “Negative Image, Campaign and Elections" iklan kampanye negatif adalah rangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif, untuk menyerang kelebihan dari lawan dan menunjukan berbagai kelemahannya berdasarkan fakta dan data.

Sementara, menurut Gina M Garrmone dalam "Voter Response to Negative Political Ads. Journalism Quarterly" kampanye negatif juga merupakan bentuk penyerangan kepada personalitas kandidat lain atau parpol lain dengan mengangkat isu tertentu.

Beberapa ahli menuturkan kampanye yang berkonotasi negatif adalah kampanye yang menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan kelemahannya. Namun kampanye itu akan menjadi kampanye hitam jika kampanye tidak lagi menggunakan data dan fakta serta menjurus kepada fitnah dan hujatan.

Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Ibnu Sina Chandranegara dalam karya tulisnya "Pemilu 2019 Momentum Penguatan Demokratisasi Indonesia yang berintegritas", 31 Maret 2018, lebih menyoroti pelanggaran saat pencoblosan dan menyebutkan pelanggaran pemilu sebagai 'malpraktik pemilu'.

Menurut dia tidak sesuainya pemilu berdasarkan regulasi menunjukkan masih adanya masyarakat di sejumlah daerah yang minim pemahaman tentang pemilu dan demokrasi. Minimnya pemahaman tersebut bisa karena akses pendidikan demokrasi atau pendidikan pemilu belum efektif sampai ke daerah tersebut, atau memang terdapat upaya pembiaran masyarakat tidak memahami pemilu (pembodohan).

"Dimungkinkan ada elite politik lokal melestarikan kondisi ini untuk menjadikannya sebagai kantong suara yang pasti dimilikinya pada ajang pemilihan umum," tulis Ibnu Sina.

Pada konteks ini, kata dia, penyelenggara pemilu baik Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau pengawas pemilu nyaris tak berdaya untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Pendidikan pemilih atau sosialisasi jelang pemilu untuk daerah-daerah seperti ini tidaklah cukup.

"Malpraktik ini penting menjadi perhatian para pihak untuk melakukan kegiatan pendidikan demokrasi atau pemilu pada masa post electoral secara terfokus," kata dia.

Baca Juga: Ketum PPP: Demi Uang, Jelang Pemilu Produsen Hoaks Jadi Profesi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya