Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik Gaduh

Yuk mulai bijak menggunakan media sosial

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Jakarta, IDN Times - Menjawab pertanyaan Nico Erdi Purwanto di #MillennialsMemilih, soal peran generasi millennials dalam mengurangi penyalahgunaan media sosial (medsos) atau meredam suhu politik jelang pemilu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.     

Di antaranya adalah bijak dalam bermedsos, yakni dengan cara memilih akun-akun medsos yang tidak jelas. Kamu juga bisa memilih sumber-sumber informasi yang terpercaya, sehingga terhindar dari hoaks, yang bisa menambah suhu politik di negeri ini.  

Berikut tanggapan dari sejumlah millennials untuk menanggapi pertanyaan Nico Erdi Purwanto: 
Generasi milenial tidak terlalu identik dengan politik, tapi dekat dengan media sosial. Belakangan, media sosial digunakan sebagai ajang mencemooh dan menjatuhkan lawan politik. Bagaimana peran generasi milenial dalam mengurangi penyalahgunaan media sosial tersebut, atau setidaknya 'mendinginkan' suasana panas menjelang pemilu dan pilpres--kalaupun tidak bisa dibilang menghilangkan gesekan panas antarpendukung? 

Baca Juga: Alasan Millennials Tak Boleh Golput, Menurut Kubu Jokowi dan Prabowo

1. Lebih bijak dan selektif menggunakan media sosial

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhDok.IDN Times/Istimewa

Mirza Aditya, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Persada Indonesia Y.A.I (UPI YAI) berpendapat, untuk mengurangi penyalahgunaan medsos atau 'mendinginkan' panasnya suhu politik lang pemilu, millennials harus lebih selektif menggunakan medsos.  

Seperti di Twitter, pria yang akrab disapa Mirza itu lebih suka menggunakan akun-akun politisi atau influencer yang sudah terverifikasi. Dengan demikian akan mengurangi hoaks yang dapat menambah kegaduhan politik jelang Pilpres 2019.  

"Kalau menurut saya tergantung media sosial yang digunakan. Misalnya di Twitter kan banyak influencer mereka yang udah ter-verified, sehingga konten-konten yang mereka posting lebih terpercaya," ujar mahasiswa semester tujuh itu kepada IDN Times di Jakarta, Kamis (22/11).

Menurut Mirza, akun-akun yang tidak jelas biasanya akan menyebar konten-konten yang provokatif. Karena itu, menurut dia, sebaiknya hindari akun-akun tersebut. 

"Gak usaha dihirauin. Akun-akun itu biasanya bikin suasana makin runyam. Kita harus memilih akun yang terverified, lebih selektif menggunakan medsos," ujar dia. 

2. Tidak menjelekkan calon pilihan lain dan fokus memberikan dukungan pada calon pilihannya

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhDok.IDN Times/Istimewa

Fatru, mahasiswa semester enam Universitas Pancasila memiliki pandangan dan cara lain untuk mengurangi penyalahgunaan media sosial, agar tidak menambah suhu politik memanas menjelang pemilu.

"Secara umum di media sosial yang memanas-manasi millennials, yang berantem mereka-mereka juga. Jadi menurut gue tumbuhkan kesadaran menggunakan medsos dengan baik. Dibanding menjatuhkan lawan politik mending mendukung pasangan yang mereka dukung, dibanding cari kejelakan lawan," ujar dia.

Mahasiswa bernama lengkap Fatru Qalbie Septizar Akbar itu juga sependapat dengan Mirza, untuk menghindari akun-akun yang tidak terverifikasi.

"Gak usah dihiraukan kalau ada akun-akun gak jelas atau ngancurin situasi, kan banyak akun yang gak jelas, sama cari sumber-sumber berita yang jelas. Kan banyak media yang gak jelas. (Jadi) kita harus nge-filter info yang masuk," kata pria 21 tahun itu.

3. Millennial bisa membuat konten-konten kreatif yang membangun di medsos

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhDok.IDN Times/Istimewa

Sementara, Siti Diana Safitri, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka berpendapat, kaum millennials bisa membangun suasana politik yang damai dan santun melalui konten kreatif di medsos.

"Generasi millennial ini harusnya bisa menyemarakan, bahwa pemilihan presiden itu pesta rakyat yang demokratis. Bisa dari YouTuber-YouTuber bikin konten mengenai pemilihan yang 'berbeda itu indah', atau 'Indonesia damai'. Karena aku lihat gak ada YouTuber millennial yang ngangkat itu, mungkin karena terlalu ekstrem ya, dan harusnya bisa buat konten yang menarik, sehingga bisa mengedukasi temen-temen millennial yang lain," kata perempuan 23 tahun itu. 

Adanya gesekan-gesekan di masyarakat mejelang pemilu, menurut Diana, karena kesadaran berpolitik santun di Indonesia belum sampai pada titik kedewasaan. Sehingga medsos dipenuhi olokan atau saling caci antara pendukung dan pasangan calon.

4. Memberikan edukasi politik kepada temannya

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhDok.IDN Times/Istimewa

Cara lain peran generasi millennial dalam mengurangi penyalahgunaan medsos dan membangun suasana damai menjelang pemilu, menurut karyawan swasta, Deri Ramdhani, memberikan pemahaman atau edukasi kepada teman di sekitarnya. 

"Peran generasi millennial salah satu yang bisa dilakukan yaitu memberikan penjelasan dampak negatif yang ditimbulkan kepada teman-teman yang masih terbawa suasana 'panas' atau gesekan di media sosial, seperti bisa menimbulkan permusuhan secara horizontal," ujar Deri.

Karena, menurut Deri, perbedaan pendapat atau pilihan politik dua orang yang sebelumnya bersahabat bisa menjadi saling menjauhi, atau bahkan saling membenci. Padahal, perbedaan pandangan politik bukan berarti menjadi musuh, justru dengan berbeda politik yang ada, mencerminkan demokrasi yang sehat. 

"Tidak melayani perdebatan yang belum jelas, bahkan bisa menimbulkan fitnah terhadap salah satu tokoh politik. Generasi millennial harus mampu berpikir cerdas dan bisa mengontrol diri dalam sikap politik," ujar pria 23 tahun yang bekerja di perusahaan logistik itu. 

5. Saling mengingatkan kepada sesama millennial melalui konten positif dan kreatif

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhDok.IDN Times/Istimewa

Berbeda dengan Kiky Priscilla Dwi Putri, karyawan sebuah perusahaan di Jakarta ini mengaku tidak tertarik dunia politik. Alasan tidak tertarik karena pilihan politik kerap membuat perpecahan. 

"Kiky salah satu bagian orang-orang yang kurang tertarik dengan politik itu sendiri, kalau dilihat dari teman-teman Kiky juga kurang lebih gitu. Sebenarnya bukan tidak tertarik, tapi lebih ke karena politik, persahabatan yang sudah bertahun-tahun, saudara yang bahkan sedarah bisa ribut besar dan gak lagi saling menegur karena politik ini sendiri," kata dia. 

Perempuan 21 tahun itu berpendapat, millennial adalah kelompok yang masih labil dan penuh semangat, kritis sekaligus fanatik terhadap hal baru yang mereka anggap benar. Bahkan, kata dia, millennials cenderung  mudah mengikuti arus yang belum tentu benar. 

"Siapa suara terbanyak berkata salah, mereka akan ikut berkata itu salah, mereka gak lagi berpikir apa alasannya itu salah. Gak berpikir, apakah kesalahan itu benar atau hanya buatan belaka untuk menjatuhkan," ujar dia. 

Kendati, perempuan yang akrab disapa Kiky itu berpendapat, millennials bisa saling mengingatkan pentingnya politik santun dan damai secara lebih kreatif, melalui konten-konten di medsos seperti Instagram atau YouTube, yang dimulai dari para influencer. 

"Sebenarnya udah banyak generasi millennial yang melakukan 'pendinginan' ini, contohnya influencer yang bikin konten keberagaman antar daerah, komunitas sejarah, konten antihoaks (ini penting juga buat mereka yang keburu panas sama kubu politik lainnya), dan lain-lain. Mereka semua itu tujuannya sebenernya sama, sama-sama mau ngenalin indahnya perbedaan pendapat," ujar Kiky. 

6. Pengguna internet di Indonesia lebih dari separuh jumlah penduduk

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik GaduhPexels/ Pixabay

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat sedikitnya jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143 juta pada 2017, atau lebih dari separuh jumlah penduduk. 

Apabila dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan pertama kali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka sekitar 76,47 persen dari total DPT adalah pengguna internet. 

Diikutip dari kantor berita Antara, Kamis (22/11), KPU telah menetapkan jumlah DPT sebanyak 187.781.884 orang, dimana angka tersebut masih terus diperbaiki untuk meminimalkan potensi pemilih terdaftar ganda. 

Kampanye menggunakan medsos juga dinilai jauh lebih efektif dan efisien menyasar kaum menengah ke atas, dibandingkan dengan melakukan kampanye konvensional, yaitu menggunakan atribut partai politik dan berorasi di ruangan terbuka. 

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di pasal 1 ayat 35, kampanye pemilu diartikan sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. 

Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, pengaturan kampanye di media sosial hanya sebatas mengatur pendaftaran akun milik peserta pemilu. 

KPU membatasi setiap peserta pemilu hanya boleh memiliki akun media sosial yang digunakan untuk kampanye paling banyak 10 akun. 

Namun, KPU tidak mengatur mengenai penyebaran konten kampanye, yang bisa saja dilakukan orang di luar tim kampanye, atau oleh buzzer politik musiman yang muncul lima tahun sekali. Belum lagi fenomena hoaks dan ujaran kebencian yang dengan mudahnya tersebar hanya dengan satu klik di akun media sosial. 

7. Indonesia lahan subur untuk hoaks

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik Gaduhpixabay.com/TeroVesalainen

Dengan bermodalkan gawai dan koneksi internet, warganet dengan mudah membuat lebih dari satu akun di satu platform medsos. Bahkan, tidak menutup kemungkinan satu orang bisa memiliki belasan, bahkan puluhan akun di medsos. 

Medsos menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi, yang pastinya belum terkonfimasi kebenarannya. Peneliti Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan medsos menjadi sarana mudah untuk penyebaran berita bohong, konten negatif, serta kampanye hitam. 

"Medsos ini yang paling krusial, karena di situ hoaks, kampanye hitam, isu SARA bisa dengan mudah tersebar," kata Veri Junaidi, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (22/11). 

Sehingga, pengaturan terkait kampanye di medsos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan penanganannya oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus mendapat perhatikan khusus. 

Saat ini, dalam Undang-undang Pemilu, pengaturan pidana terkait kampanye belum mengatur mengenai penggunaan medsos. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 di Pasal 491, 492 dan 493 mengatur ancaman pidana dan denda bagi setiap orang yang menghalangi jalannya kampanye, melaksanakan kampanye di luar jadwal, serta melanggar ketentuan kampanye. 

Ketentuan kampanye yang diatur dalam UU tersebut adalah seluruh peserta pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, UUD 1945 dan bentuk NKRI, melakukan kegiatan yang membayakan keutuhan NKRI, menghina seseorang berdasarkan suku, agama, ras, golongan dan peserta pemilu lain, menghasut dan mengadu domba perseorangan maupun kelompok masyarakat serta mengganggu ketertiban umum. 

Tim kampanye peserta pemilu juga dilarang mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan, merusak dan menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan, menggunakan tanda gambar dan atribut selain yang ditetapkan KPU, serta menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. 

Selebihnya, kata Veri, apabila pelanggaran itu berkaitan dengan penggunaan di medsos, maka penangan menggunakan penindakan pidana dengan melibatkan kepolisian. 

Pelaksanaan kampanye melalui medsos menjadi tugas berat bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), apabila tidak ada terobosan dalam mengatasi potensi jutaan akun yang menyebarkan informasi dan konten negatif selama masa kampanye. 

Selain dengan aparat penegak hukum, Bawaslu bisa menggandeng perwakilan perusahaan penyedia aplikasi medsos yang ada di Indonesia, untuk meminimalkan penyebaran hoaks dan konten negatif selama masa kampanye. 

Menurut Veri, pelaksanaan kampanye di medsos lebih mudah dipantau dari sisi pengawasan, dibandingkan dengan pelaksanaan kampanye tatap muka. Namun, Bawaslu harus memiliki cara tersendiri untuk mengatasi pelanggaran kampanye di medsos. 

"Memang untuk proses penegakan hukumnya, Bawaslu tidak bisa sendiri, harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan institusi terkait. Tapi yang sulit itu soal status-status kampanye di medsos, itu yang sulit dipantau," kata dia. 

Salah satu perusahaan penyedia aplikasi medsos yang dapat menyaring penyebaran konten negatif adalah Facebook. Bahkan, Facebook sudah bersedia membuat algoritma khusus bagi pengguna di Indonesia untuk menekan penyebaran konten negatif dan hoaks. 

Upaya sistematis seperti Facebook tersebut yang perlu dijajaki lebih lanjut oleh Bawaslu, guna membantu menemukan pelanggaran kampanye di medsos dan menegakkan hukum pemilu. 

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pun telah berupaya meringkus penyebar hoaks selama masa kampanye pemilu. Dalam pelaksanaan Pilkada pada Februari lalu, Kemkominfo bersama Bawaslu telah melakukan penindakan terhadap akun-akun yang berupaya melakukan kampanye negatif. 

Tindakan yang dilakukan Bawaslu bersama Kepolisian dan Kemkominfo terhadap akun-akun penyebar hoaks di pemilu itu adalah dengan membekukan akun tersebut dan menangkap pelaku di balik akun itu. 

Tentu saja tindakan tersebut patut diapresiasi, namun akan lebih baik lagi apabila upaya pencegahan dapat dilakukan sejak dini di awal masa kampanye Pemilu 2019, untuk mendapatkan proses demokrasi yang sehat di Tanah Air.

Peran Millennials Cegah Penyalahgunaan Medsos dan Politik Gaduh

Baca Juga: Soal Pilpres 2019, Ini Jawaban Ketua PP Muhammadiyah ke Amien Rais

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya