Beda Cara Kaum Elit dan Papa Cegah Pandemik COVID-19

Keadaan ekonomi berperan andil dalam dorong mereka bersikap

Depok, IDN Times - Pendirian kampung siaga COVID-19 di setiap lingkungan rukun warga (RW) digadang-gadang jadi satu di antara cara Pemerintah Kota Depok dalam menekan penularan virus asal Wuhan, Tiongkok itu. Sejak penghujung Maret lalu, wacana program tersebut sudah digaungkan, namun baru resmi dimulai awal April. 

Setiap lingkungan RW dibekali Rp3 juta untuk menggelar giat kampung siaga corona. Misalnya, kegiatan pola hidup bersih dan sehat dengan penyediaan sarana cuci tangan, membuat posko keamanan sebagai garda terdepan pendeteksian dini, hingga membuat simbol-simbol dalam bentuk spanduk bernarasikan bahaya corona di tiap sudut sebagai pengingat warga bahwa ancaman virus ini berujung kematian.

Namun bagi sebagian tempat, bukan perkara gampang menjalankan program ini. Hal itu kentara terlihat dari pelaksanaan kampung siaga di kawasan permukiman dalam perumahan dan non-perumahan. Di satu sisi, tak jadi perkara sulit buat para warga perumahan mengikuti protokol kesehatan di lingkungannya.

Mulai dari rajin cuci tangan, mengenakan masker, sampai menjaga jarak fisik. Tapi di lain sisi, hal itu tak bisa sekonyong-konyong jadi kebiasaan mereka yang bermukim di luar kawasan perumahan.  

Lalu, bagaimana praktiknya di lapangan?

Baca Juga: Kasus COVID-19 Tinggi, Rumah Sakit di Depok Krisis Tenaga Medis 

1. Perumahan yang dihuni warga menengah dan menengah ke atas lebih mudah melaksanakan kampung siaga

Beda Cara Kaum Elit dan Papa Cegah Pandemik COVID-19Kampung siaga corona di perumahan di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Implementasi kampung siaga di Perumahan Kalibaru Permai Cilodong, misalnya. Di sana, kampung siaga pertama kali dibentuk dan disebut sebagai kawasan percontohan, di mana segala aturan dijalankan dalam menghindari penularan virus corona. Begitu sampai di muka perumahan, dijumpai petugas pengamanan atau satpam dan yang sudah berdiri di samping aparat TNI (Babinsa).

Kendaraan tak bisa begitu saja melewati portal masuk, karena harus terlebih dulu disemprot cairan disinfektan. Pengendara kendaraan juga diarahkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memasuki komplek rumah. Sementara, bagi tamu, petugas akan lebih dulu bertanya soal keperluan berkunjung masuk ke kompek rumah. 

Aturan serupa juga diberlakukan bagi warga perumahan yang hendak keluar. Saban hari petugas mencatat siapa saja yang bepergian. “Itu buat mengetahui tujuannya ke mana. Kalau ke zona merah bisa kita masukkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP). Kami gak pengen kecolongan sampai hal kecil kami perhatikan,” kata Dedy, humas satgas kampung siaga setempat kepadaIDN Times pada Kamis (7/4).

Sejak penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), pengawasan makin diperketat. Tapi, warga senantiasa mengikuti. Dedi pun menyebut hanya sedikit pelanggaran yang ditemui.

Ia tak lagi menjumpai adanya kerumunan dalam setiap kegiatan. Bahkan, ritual keagamaan di dalam masjid perumahan pun nihil.

Aktivitas warga komplek yang bepergian juga minim. Maklum, mereka yang tinggal di sana kebanyakan berstatus kelas ekonomi menengah, yang tak bergantung pada upah harian. Penghuninya variatif, ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta di perusahaan ternama hingga pejabat eselon II pemerintahan setempat.  

Jadi, selama pandemik COVID-19 berlangsung, mereka masih bisa bekerja dari rumah. Pendapatan tiap bulan pun tetap akan mereka terima, lantaran mereka tidak terlalu merasakan dampak pandemik COVID-19.

Kemapanan ekonomi itu lah membuat implementasi kampung siaga tampak berjalan lancar. Misal dalam hal menjaga pola hidup sehat dan bersih, warga tak perlu khawatir akan kehabisan stok sabun atau cairan disinfektan. “Kami ada dana kolektif dari warga yang jumlahnya lumayan buat menunjang operasional kampung siaga. Seminggu sekali kami bahkan mengadakan baksos di luar komplek,” tutur dia. 

Baca Juga: Belum Terapkan PSBB, Depok Lebih Pilih Bentuk Kampung Siaga COVID-19

2. Kaum menengah semakin berat menghadapi pandemik COVID-19

Beda Cara Kaum Elit dan Papa Cegah Pandemik COVID-19Kampung siaga corona di kawasan kumuh di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Di lain tempat, sekira 15 menit dari komplek Dedy, ada sejumlah warga yang tinggal dengan kondisi standar kampung siaga yang biasa saja. Kawasan itu dikenal sebagai salah satu kawasan kumuh di tengah Kota Depok, persisnya bernama Kampung Lio. Area itu terletak di Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas.

Ada empat RW dengan total ribuan warga yang tinggal di sana. Mayoritas penghuninya bergantung hidup pada upah harian. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, pedagang kelontongan, hingga memunguti satu sampah ke sampah lain alias pemulung.

Tak ada pintu masuk khusus untuk bisa memasuki kawasan tempat mereka tinggal. Orang bisa mengakses kampung itu dari berbagai area termasuk melalui gang-gang sempit. Intinya, tak ada pengawasan ketat selayaknya implementasi kampung siaga di kawasan komplek.

Posko keamanan dibuat seadanya dan tampak tak ada petugas satgas kampung siaga berada di sana yang mengawasi lalu lalang warga. Yang terlihat hanya kerumunan warga bercengkerama tanpa memakai masker secara benar. Mereka pun luput menjaga jarak fisik. Tak pelak, hal ini jadi salah satu celah penularan virus corona.

Salah seorang warga bernama Taufik berujar ia bosan berdiam diri dalam rumah meratapi masalah impitan ekonomi. “Sumpek kita di dalam rumah,” ujarnya.

Baginya, menghindari virus sangat penting, tapi yang tak kalah penting yaitu mereka bertahan hidup di tengah pandemik. Taufik memilih melepas penat dengan canda tawa bersama tetangga. Dengan begitu, ia bisa melupakan sementara beban impitan ekonomi karena ia sudah menganggur sejak Februari lalu. 

Profesi sebagai sopir pribadi bos perusahaan multinasional yang ia geluti sejak 30 tahun silam, lenyap begitu saja.   

“Ya saya nunggu kabar aja, apa abis Lebaran atau lebih dari Lebaran, ya saya gak tau deh,” kata Taufik sembari tersenyum masam.

3. Warga membutuhkan bantuan dari pemerintah

Beda Cara Kaum Elit dan Papa Cegah Pandemik COVID-19Kampung siaga corona di kawasan kumuh di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Salah seorang ketua RW setempat Sukri mengatakan kebanyakan warga di lingkungannya menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah, baik itu dari Pemkot Depok, Pemprov Jabar maupun pemerintah pusat. Namun bantuan yang dinanti tak kunjung tiba, meski ia sudah mengajukan data setiap warga yang berhak menerima.

“Pemerintah kalau mau bantu, ya bantu saja jangan menggantungkan harapan kami untuk mendapat bantuan. Karena kan data kami sudah ada di sana semua,” keluh Sukri.

Sembari warga menanti bantuan, pelaksanaan kampung siaga jadi sedikit tersendat. Sebab, uang yang mereka punya semuanya difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Alhasil, ketika cairan disinfektan habis, mereka kesulitan untuk mengisi ulang. Cairan pembersih tangan pun sering kosong lantaran tak lagi rutin diisi. 

Baca Juga: 221.327 KK Belum Dapat Bansos, Pemkot Depok Kelabakan soal Anggaran?

Topik:

Berita Terkini Lainnya