Getir Perantau di Depok: Hilang Mata Pencaharian hingga Gadai Barang

Mereka hanya segelintir dari ratusan ribu perantau di Depok

Depok, IDN Times - Pandangan Kusoy (44) terpaku pada sekeliling gerobak jualannya yang kosong melompong. Bukan karena dagangannya ludes terjual, tapi ia terenyuh lantaran sudah lebih dari sebulan tak memperoleh penghasilan. Jualan bubur ayam yang saban hari ia lakoni untuk menyambung hidup keluarganya lumpuh total dari sejak satu bulan pandemik virus corona melanda.

Kusoy adalah satu dari sekira 485 ribuan perantau (berdasar data BPS 2019) di Kota Depok yang kini hidupnya kian rentan kala pandemik tiba. Penghasilan dari lapaknya yang berdiri di kawasan padat permukiman Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji, bergantung pada para pekerja yang saban hari mampir mengisi perut.  

Namun bagai efek domino, lapak milik Kusoy mulai sepi, seiring imbas pandemik yang turut andil menyumbang jumlah pengangguran baru. Serikat buruh setempat mencatat ada 1.000-an orang yang terkena pemutusan hak kerja (PHK). Jumlah itu pun berbekal data dari buruh yang hanya melapor. Selebihnya, jumlah mereka yang menganggur ditaksir lebih dari itu.

Kini, tak ada lagi asap yang mengepul dari dapurnya kala memasak bubur. Pun tak ada lagi bunyi spatula yang beradu dengan wajan saat menggoreng kerupuk. Dan tak ada lagi saut pelanggan yang meminta tambah porsi. Sekarang hari-harinya hanya meratap nasib di rumah kontrakan dua petaknya, sembari berharap pandemik lekas pergi.

Baca Juga: Nasib Pemulung di Tengah Pandemik, Pemerintah Anggap Sebelah Mata

1. Kusoy, perantau asal Majalengka yang sempat banting setir jadi pemulung karena lapaknya sepi pengunjung

Getir Perantau di Depok: Hilang Mata Pencaharian hingga Gadai BarangKusoy, perantau terdampak pandemik corona di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Peristiwa lengsernya Suharto dari jabatan presiden jadi penanda waktu Kusoy mulai merantau dari tanah lahirnya di Majalengka, Jawa Barat. Artinya sudah dua dekade ia mengadu nasib di Kota Depok dan selama itu pula ia bergantung hidup sebagai penjual bubur ayam.

Saat masa awal perjuangan di tanah rantau, ia berjualan kaki lima hingga akhirnya usaha mulai berkembang dan mampu menyewa sebuah kios pada medio 2015. “Saya kawin dan ke Depok pas krismon (krisis moneter). Dulu sebelum punya kios, jualan bubur kaki lima, dari seporsi Rp300-500 perak,” ujar Kusoy di kiosnya, Jumat (22/5).   

Dari ladang cuannya itu, ia biasa beroleh omzet paling banyak Rp1 juta rupiah tiap hari. Uang itu kemudian ia bagi untuk keperluan sewa kios, membeli bahan membuat bubur, kebutuhan hidup sehari-hari hingga membiayai pendidikan ketiga anaknya. Ketika pandemik tiba, lantas penghasilan Kusoy menyusut lebih dari setengah. Alhasil, ia lebih memilih untuk menutup kios, lantaran hasil penjualan tak kuasa menahan beban produksi.

“Pas corona cuma dapzt Rp300 ribu. Itu kotor. Mau gimana cukupnya. Kalau dulu kan sejuta bisa buat modal. Saya mending istirahat aja. Capek daripada gak ada untungnya,” keluhnya.

Selama masa hiatus, ia bertahan hidup dengan cara apa pun, termasuk banting setir menjadi pemulung.

“Buat makan, saya bingung mau gimana lagi. Sampai ngerongsok keluar jam 10 malam. Daripada maling, mending usaha mulung kardus,” ujarnya.

Namun profesi barunya itu tak sekonyong-konyong bisa menambal kebutuhan hidup. Pengalaman berjualan bubur berpuluh tahun kadung jadi satu-satunya keahlian sehingga memulung pun jadi sulit dilakoni, selain memang sampah tak gampang dicari saat pandemik ini, menyusul ‘lumpuhnya’ sebagian aktivitas (terlebih saat PSBB mulai) yang berdampak pada berkurangnya produksi sampah.  

“Mau ngerongsok juga gak laku. Tapi itu kan bukan keahlian saya kan bisanya dagang,” tuturnya.

Getir hidupnya terus berlanjut. Setelah gagal memulung, lantas siasat untuk bertahan hidup pun jatuh pada pilihan meminjam uang. Ia terpaksa mengandalkan pinjaman uang dari saudaranya di kampung.

Ngutang ke mpok (kakak) saya di kampung transfer ke sini Rp2 juta. Saya pulang kampung gak bisa, anak-anak juga di sini semua, saya pinjam dulu buat hidup di sini,” ucap Kusoy.

Bantuan dari sanak keluarga di kampung halaman itu bagai harapan satu-satunya di tanah rantau, ketika bantuan sosial (bansos) yang semestinya ia terima tak kunjung tiba. Ia mendgaku sudah didata oleh ketua RT setempat, akan tetapi tak ada satu pun bansos yang datang hingga jelang hari Lebaran. Padahal setidaknya, bansos bisa ia terima dari dua arah; bansos Pemerintah Provinsi Jawa Barat atau pemerintah pusat.

2. Nawi, perantau asal Brebes yang harus gadai motornya demi bertahan hidup

Getir Perantau di Depok: Hilang Mata Pencaharian hingga Gadai BarangSofiah dan suaminya di belakang, perantau terdampak pandemik corona di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Kusoy tak sendiri, getir yang sama juga dirasa perantau lain, Nawi (49) dan istrinya, Sofiah (43). Mereka sudah 6 tahun meninggalkan asal kampungnya di Brebes, Jawa Tengah. Selama itu, mereka menyambung hidup sebagai penjual es kelapa di Depok.

Hidup di tanah rantau bukan perkara gampang, ketika modal yang dibawa dari kampung hanya ala kadarnya. Selama bertahun-tahun, mereka tinggal di tempat yang sama untuk berjualan. Di kios berukuran sekira 4x3 meter yang berdekatan dengan lapak Kusoy itu hanya menyisakan satu tempat tidur sempit, lainnya habis untuk bangku dan meja pelanggan. Untuk keperluan buang hajat dan mandi, mereka harus menumpang ke toilet umum.

Hari-hari mereka kian pelik kala pandemik tiba. Bila biasanya bisa meraup penghasilan Rp700-800 ribu per hari, kini pendapatan melorot setengah. Imbasnya, mereka keteteran untuk membagi hasil antara kebutuhan sehari-hari dan bayar sewa kios Rp1,2 juta serta cicilan motor per bulannya. Belum lagi mereka harus memikirkan hidup anak bungsunya di kampung yang kini duduk di sekolah menengah atas.

Sebagaimana Kusoy, mereka pun lantas meminta bantuan saudara di kampung untuk meringankan pengeluaran. “Saya gadaikan motor yang masih dicicil buat bayar cicilan motor di kampung. Digadaikan dengan saudara. Untungnya gak ada bunga,” ujar Nawi di kiosnya, Jumat.       

Getir Nawi tak berhenti di situ, karena sang istri sedang mengandung anak keempat. Ia mesti memikirkan bagaimana kelak bayinya lahir baik-baik saja. Tentu butuh pengeluaran ekstra, semisal membeli susu.

“Ini juga bingung, sudah tua, istri lagi hamil sekarang 5 bulan,” tuturnya.

Senasib dengan Kusoy, mereka pun perantau yang terlantar nasibnya. Bansos yang dinanti-nanti tak kunjung mereka terima. Sebagai warga Jawa Tengah, mereka sepatutnya menerima bansos, seiring janji Gubernur Ganjar Pranowo yang akan memberi sembako bagi perantau di kawasan Jabodetabek. Lain itu, mereka juga berhak memperoleh bansos dari Pemprov Jabar senilai Rp500 ribu atau pemerintah pusat sebesar Rp600 ribu.

Bergantung pada penghasilan harian di tanah rantau dan menanti harap bansos dari pemerintah jadi hal yang bisa dilakukan mereka kala pandemik ini. Karena anak sulungnya yang sudah berkeluarga pun hidup didera kemiskinan dengan berprofesi sebagai nelayan yang tak punya alat kerja.

“Gak mengharapkan bantuan dari anak yg sudah menikah. Karena hidupnya juga susah. Nelayan di Brebes ikut sama orang. Upah harian,” ucap Nawi.

3. Pemerintah jangan berpangku tangan, harus ada kebijakan tepat bagi perantau terdampak

Getir Perantau di Depok: Hilang Mata Pencaharian hingga Gadai BarangSofiah dan suami di belakangnya, perantau terdampak corona di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)

Dalam pandangan pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, para perantau yang terlantar di masa pandemik termasuk kelas marjinal yang luput dari perhatian pemerintah. Karena itu, perlu ada kebijakan kolaboratif antara pemerintah daerah setempat dan pemerintah asal perantau untuk memikirkan nasib mereka.

Ia menyadari sulitnya para perantau memperoleh bansos ditengarai oleh masalah validasi data. Di satu sisi, pemda setempat tak memasukkan perantau dalam data DTKS (data terpatu kesejahteraan sosial), dan di lain sisi tak ada komunikasi baik antara pemda setempat dan pemda asal dalam hal data pasti jumlah perantau terdampak.

Selain soal validasi data dan lemahnya komunikasi antar pemda, Trubus menilai minimnya anggaran jadi persoalan lain yang membuat nasib perantau terdampak kian terlantar.

“Jadi anggaran yang dibutuhkan besar sekali, tapi pemda-pemda asal ini tak punya anggaran cukup, karena kebanyakan habis bayar gaji pegawai. Mereka tak menganggarkan  khsusus untuk situasi darurat atau penyakit menular. Saya udah tanya ke daerah di Jateng, Jatim sampai Bekasi. Ada BTT (Biaya tak terduga), tapi itu pun terbatas. Gak bisa meng-cover untuk pandemik ini,” ujar Trubus kepada IDN Times, Kamis (21/5).

Kebijakan publik yang bisa diambil oleh masing-masing pemda, kata Trubus, salah satunya dengan memberi ruang dan fasilitas kepada perantau terdampak, selain mengucurkan bansos. Ia mencontohkan perlu ada penataan dan perlakuan khusus bagi mereka yang bergantung pada penghasilan harian dengan berdagang, misalnya.

“Pemda setempat semestinya memberi fasilitas, karena sekarang belum ada aturan soal tanggung jawab pemda setempat dan asal terhadap nasib perantau terdampak. Pemerintah harus menampung aspirasi warga perantau yang ingin tetap berusaha. Mestinya pemda setempat memberikan perlakuan khsusus untuk penataan, jangan bukannya pakai cara represif,” tutur dia.

Ia lantas mewanti-wanti pemerintah terkait gejolak sosial yang bakal terjadi, bila tak adanya kebijakan yang inklusif bagi nasib perantau terdampak.

“Ada efek domino bila tak ada kebijakan yang tepat. Jangan sampai terjadi konflik sosial. Terlebih di masa Lebaran nanti yang membuat transportasi penuh untuk bepergian silaturahmi. Nanti bisa saja ada aksi kriminalitas di sana,” katanya.         

Baca Juga: Usia Produktif di Depok Paling Rentan Kena COVID-19, Apa Penyebabnya?

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya