Nasib Pemulung di Tengah Pandemik, Pemerintah Anggap Sebelah Mata

Hidup kian rentan, sementara bansos tak kunjung tiba

Depok, IDN Times - Sudah dua dekade Partono bergantung hidup sebagai pemulung di Depok. Saban hari ia memunguti satu botol ke botol lain atau sampah apa pun yang memiliki nilai jual yang berserakan di sepanjang Jalan Margonda.

Kala fajar mulai menyingsing adalah waktu di mana ia mulai mengais rezeki dengan capitan dan karung sampahnya. Lalu, begitu sinar mentari mulai redup menjadi pertanda waktu perjalanan usai dan saatnya bergegas kembali ke rumah menghitung hasil jinjingannya.  

Biasanya ia bisa membawa 3-4 karung yang penuh dengan botol. Dari hasil itu, ia biasanya mendapat penghasilan sekira Rp50 ribu. Tak jarang ia kesulitan dalam mengatur siasat membagi jumlah cuan yang tak seberapa. Selain mesti menjamin anak dan istri agar tetap bisa makan, tanggungan biaya pendidikan anak bungsunya yang duduk di bangku sekolah dasar menjadi persoalan lain.

Getir kian tak tertahan ketika pandemik virus corona melanda. Penghasilannya ikut menyusut hingga setengah. “Mulung di waktu corona ini sepi banget, enggak ada buangan, barangnya sepi. Jadi susah lah dicari. sekarang Rp20-25 ribu. Cukup buat makan aja sudah bersyukur,” tutur Partono sembari memilah botol dari karung sampahnya, Kamis (15/5).

Baca Juga: Pemulung: Saya Warga DKI, Tidak Dapat Sembako dan Tak Tahu Prakerja

1. Partono, pemulung perantau yang belum tersentuh bantuan pemerintah

Nasib Pemulung di Tengah Pandemik, Pemerintah Anggap Sebelah MataPartono, pemulung di Depok yang belum beroleh bantuan pemerintah (IDN Times/Rohman Wibowo)

Pada ujung dekade 90-an, nasib membawa Partono berlabuh ke daerah pinggiran ibu kota dengan menyambung hidup sebagai pemulung. Ia adalah warga rantau asal desa di Wonosobo, Jawa Tengah. Sebelum mantap mengadu nasib di kota orang, ia bertahan hidup dengan bertani di kampung halaman. Namun usahanya menanam cabai dan sayuran urung berbuah hasil manis. Panen yang diharap nyatanya tak kuasa menutup biaya operasional dan pengeluaran harian, lantas usahanya gulung tikar.

Dari tiga anaknya, hanya si bungsu yang diboyong ke kota perantauan, sedang duanya lagi mencoba peruntungan di kampung dengan bertani. Setibanya di Depok, ia menetap di kampung Lio yang terletak di Kelurahan Depok Jaya Kecamatan Pancoran Mas. Kawasan itu bagai cerminan kemiskinan di Kota Belimbing. Mayoritas warga yang tinggal di sana adalah perantau yang saban hari mencari rezeki sebagai pengemis dan pemulung. Ironisnya, lokasi kampung itu hanya berjarak 3 kilometer dari balai kota.

Partono beroleh tempat tinggal di kampung padat penduduk itu berkat uluran tangan dari pengepul barang rongsokan, yang kemudian menjadi bosnya. Saban hari, ia mesti setor sampah yang punya nilai jual demi tetap diberi tempat untuk berteduh. Beberapa tahun setelah merantau, istri dan satu anaknya bermukim di sana, sebelum akhirnya pada tahun 2019, proyek pemerintah memporak-porandakan tempat tinggalnya. Mereka ‘diusir’ dengan dalih perbaikan tata kota.

Diusir dari kampung pemulung, membuat mereka berganti tempat tinggal ke kampung pemulung lainnya. Dengan kondisi serupa, mereka tinggal di rumah pemilik pengepul barang rongsokan di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji. Tempat tinggal baru mereka tak kalah kumuhnya dan sama-sama mengundang kesan ironi. Kampung pemulung itu hanya berjarak lebih kurang 500 meter dari pusat modernitas, semisal gedung bertingkat macam pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, dan kampus.

Selama 20 tahun tinggal di Depok, ia belum sedikit pun mencicipi bantuan pemerintah, mulai dari program keluarga harapan, kartu sembako, dan bantuan sosial lainnya. Begitu pun di masa pandemik sekarang. Belum ada satu bansos dari pemerintah yang Partono dan keluarganya terima. Padahal semestinya mereka berhak mendapat bansos, seiring janji Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang bakal membantu penduduk berprofesi sebagai pemulung, meski yang bersangkutan bukan warga asli Jawa Barat.

Sudah berulang kali pihak RT/RW menarik KTP dan kartu keluarga yang kemudian disetor ke Dinas Sosial setempat, namun bantuan Rp500 ribu dari sumber APBD Pemprov Jabar itu tak kunjung mengalir ke Partono dan keluarga. Malah, polisi sempat turut juga mendata mereka dan berjanji akan memberikan bantuan.

“Saya dimintain KTP sudah 3 kali selama corona, sama RT/RW dan polisi, datang sendiri ke sini polisi bilang katanya mau dikasih bantuan sama pemerintah,” ucapnya.

2. Penghasilan menurun karena pandemik membuat Partono ingin pulang kampung

Nasib Pemulung di Tengah Pandemik, Pemerintah Anggap Sebelah MataPartono, pemulung di Depok yang belum beroleh bantuan pemerintah (IDN Times/Rohman Wibowo)

Berulang kali terbesit di pikiran Partono untuk pulang kampung, menyusul kondisi yang kian rentan di tanah rantau saat masa pandemi. Tapi apa boleh buat, aturan pemerintah melarang aktivitas mudik dengan tujuan menghindari potensi penularan virus corona, meski di saat bersamaan melonggarkan aturan penggunaan moda transportasi antar kota/provinsi untuk keperluan bisnis dan kesehatan.

“Sebenarnya ingin banget mudik, tapi ada yang bilang gak bisa keluar ke mana-mana. Tiket bus juga gak ada, travel juga sama. Ya kangen dengan saudara-saudara, anak-anak di kampung dan kondisi mulung juga lagi gini,” ujarnya.

Namun hidup mesti berlanjut dan Partono mesti terus memulung di tengah beban penghasilan yang drastis menurun serta ancaman tertular virus mematikan. Baginya, hidup setengah abad dalam jurang kemiskinan membuat setiap hari sama sulitnya.

“Ya saya antep aja, yang penting percaya diri saja, moga-moga selamat. Kalau saya gak keluar, ya tambah susah gak makan. Jadi walau ada aturan, harus di rumah aja itu kan saya bingung, kalau nuruti di rumah aja anak bini makan apa?” keluhnya.  

3. Terus memulung di tengah pandemik demi bertahan hidup

Nasib Pemulung di Tengah Pandemik, Pemerintah Anggap Sebelah MataPartono, pemulung di Depok yang belum beroleh bantuan pemerintah (IDN Times/Rohman Wibowo)

Kendati Kota Depok menjadi daerah awal munculnya pandemik di Indonesia dan sebagai wilayah tertinggi kedua sebagai lokus penyebaran kasus COVID-19 di kawasan Jabodetabek, nyatanya tak menyulutkan nyali Partono untuk terus memulung, meski potensi terpapar virus dan menjadi Orang Tanpa Gejala (OTG) sangat mungkin terjadi.

Terlebih bergantung hidup sebagai pemulung sudah dijalani nyaris dari setengah umurnya, lantas menjadikan ‘keahlian’ memulung jadi satu-satunya yang ia punya. “Walaupun jelek kerjaannya, yang penting halal. Kalau kerja yang lain-lain saya kan sudah gak bisa. Tenaganya sudah tua, sudah gak bisa angkat berat, memikul gak bisa, apalagi kerja lain,” ujarnya.

Ia tak bisa berharap banyak pada dua anaknya yang sudah punya tanggungan hidup (berkeluarga) di kampung. Mereka pun sama sulitnya didera kemiskinan. Hasil panen dari sawah sendiri hanya mampu mencukupi kebutuhan keluarga.

“Pas-pasan karena buat modal lagi penghasilannya, paling kalau dapat untung ya dikit, paling bisa buat makan sendiri aja. Ya saya kan bisa bilang begini, saya masih bisa cari sendiri,” tuturnya.

Baca Juga: Manusia Gerobak, Yang Terlupakan di Masa Pandemik Corona

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya