Pemkot Depok Imbau Pabrik Libur, Buruh: Upah Juga Ikut Libur

Harus ada jaminan hidup layak untuk buruh selama COVID-19!

Depok, IDN Times - Pemerintah Kota Depok meminta seluruh aktivitas perekonomian di perkantoran, perusahaan, hingga tempat usaha disetop sementara dan mengalihkan seluruh pekerjanya untuk bekerja dari rumah alias Work From Home (WFH) selama dua pekan.

Keputusan demikian tertuang dalam Surat Edaran (SE) nomor 560/152/Disnaker tentang imbauan pelaksanaan bekerja dari rumah untuk kegiatan perkantoran, perusahaan/pelaku usaha dan pemilik usaha dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19 yang ditandatangani oleh Wali Kota Depok Mohammad Idris, Sabtu (28/3).

“SE bekerja dari rumah ini berlaku sejak tanggal 30 Maret sampai dengan 11 April 2020, dan akan dilakukan evaluasi kemudian,” kata Idris dalam SE tersebut.

Idris menambahkan ada pengecualian dalam imbauan WFH ini, bahwa perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, penyediaan kebutuhan bahan-bahan pokok agar tak menyetop kegiatan usahanya.

Namun untuk kalangan buruh, SE ini bisa menenangkan sekaligus jadi ancaman. Karena, di satu sisi bisa menekan risiko penularan COVID-19 di antara buruh, tetapi di sisi lain kehidupan mereka terancam selama masa WFH, terlebih yang berstatus buruh harian lepas—yang memakai sistem “Hari ini kamu tak bekerja, saya tak bayar”.

1. Perusahaan libur dan upah juga ikut libur

Pemkot Depok Imbau Pabrik Libur, Buruh: Upah Juga Ikut LiburKetua FSPMI Depok, Wido Pratikno (Rohman Wibowo/IDN Times)

Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) cabang Depok, Wido Pratikno mengatakan posisi buruh yang sudah rentan dalam rezim kerja hari ini semakin rentan kondisinya karena pandemi COVID-19.

Kondisi buruh harian, kata dia, bisa sengsara selama masa WFH karena perusahaan tak membayar upahnya bila buruh bersangkutan tak bekerja.

“Kalau yang ikut serikat pekerja mungkin bisa agak lega karena pasti kami advokasi, tapi kalau yang gak ikut, bisa dipastikan upahnya ikutan libur,” kata Wido kepada IDN Times, Selasa (31/3).

Dia menambahkan, posisi tawar buruh semakin terpojok karena perusahaan sebisa mungkin memanfaatkan momen WFH ini untuk lari dari tanggung jawab. “Lha wong UU nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan aja perusahaan masih banyak yang melanggar. Di waktu normal saja masih banyak buruh dibayar di bawah standar. Nah dengan momen ini perusahaan bisa tambah sesuka hati, bahkan terancam PHK,” katanya.

Baca Juga: Petugas Medis di Depok Pakai Jas Hujan, di Mana Peran Pemkot?

2. Harus ada jaminan hidup layak bagi buruh selama masa pandemi COVID-19

Pemkot Depok Imbau Pabrik Libur, Buruh: Upah Juga Ikut LiburAktifitas buruh di Gudang Bulog Sibolga (Hendra Simanjuntak/IDN Times)

Apa yang disuarakan Wido, selaras dengan tuntutan dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), yang menentang SE Menteri Ketenagakerjaan RI nomor M/3/HK/.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19, karena dianggap melindungi pengusaha dengan membuka peluang terjadinya pemotongan upah atau bahkan peniadaan upah.

“Surat edaran itu mengizinkan adanya perubahan besaran dan waktu pembayaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang pada kenyataannya hanya dimaknai sebagai "pemaksaan keinginan pengusaha dan buruh harus menerimanya" karena posisi tawar yang tidak seimbang antara pengusaha dengan buruh,” kata Juru Bicara GEBRAK, Nining Elitos dalam keterangan tertulisnya yang diterima IDN Times.

GEBRAK, ujar dia, mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan insentif untuk mengurangi beban pekerja harian, berpenghasilan rendah. “Insentif tersebut dapat berupa pembebasan tagihan listrik, gas, air bersih, iuran BPJS Kesehatan, iuran BPJS Ketenagakerjaan, relaksasi kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit pemilik kendaraan,” ucapnya.

3. Negara harus peduli kepada nasib buruh

Pemkot Depok Imbau Pabrik Libur, Buruh: Upah Juga Ikut LiburAksi Ribuan Buruh Palembang Tolak RUU Omnibus Law di DPRD Sumsel (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Dia juga mengatakan kondisi buruh lepas dalam masa WFH ini kesulitan bertahan hidup akibat hilangnya ladang nafkahnya. Sementara bila memaksakan bekerja yang jadi taruhan adalah nyawa. Akan tetapi, negara tak sampai melihat sedetail itu dan justru melihat dari sudut pandang pemodal.

“Mereka yang diupah harian, bekerja dalam kontrak singkat, dan sering kali dibayar murah kini dalam kondisi frustasi akibat hilangnya pekerjaan untuk mereka,” kata Nining.

Getir lain yang dirasa buruh adalah bayang-bayang PHK. Dari temuan kasus GEBRAK, kata dia, didapati masifnya gelombang PHK akibat krisis COVID-19.

“Sektor industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, tekstil dan alas kaki mulai melakukan PHK seiring dengan menurunnya permintaan akibat dari Eropa dan Amerika. Begitu juga di sektor-sektor industri lainnya, katanya.

Oleh karena itu, dia melanjutkan, GEBRAK mendesak pemerintah memberikan jaminan agar tidak ada PHK selama krisis COVID-19 da menindak tegas bagi perusahaan yang masih melakukan PHK.

Baca Juga: Pembatasan Sosial Skala Besar Versi Bogor: Bentuk RW Siaga COVID-19

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya