Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PAN

Kamu setuju gak kalau bekas koruptor jadi caleg?

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Surabaya, IDN Times - Perbedaan posisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait boleh atau tidaknya eks napi kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg) melahirkan perdebatan tersendiri di kalangan masyarakat. Sebagian mendukung KPU, sisanya sependapat dengan Bawaslu.

Bagi yang satu pemikiran dengan KPU, pelarangan itu menimbulkan efek jera kepada para koruptor sekaligus mengembalikan legitimasi lembaga pemerintah di mata rakyat. Sedangkan mereka yang tak setuju, alasannya adalah itu melanggar HAM serta kontra dengan hukum yang ada. 

Lalu, apa kata dua politisi muda Andy Budiman dari PSI dan Faldo Maldini dari PAN? Tapi sebelumnya, kamu perlu tahu dulu seperti apa duduk masalahnya.

1. Mahkamah Agung (MA) putuskan mantan koruptor boleh maju ke pemilu legislatif

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Di ranah hukum, perbedaan sikap KPU dan Bawaslu sudah diselesaikan oleh MA yang mengetuk palu menyatakan bahwa bekas napi kasus korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba tetap berhak maju pemilihan legislatif. Argumentasi MA adalah pelarangan mereka maju sebagai wakil rakyat justru bertentangan dengan UU Pemilu yaitu Pasal 240 Ayat (1).

Hal yang sama dikemukakan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Selain menegaskan KPU tak berhak melarang siapa yang bisa jadi peserta pemilu, Yasonna juga menyebut dalam pasal itu bekas koruptor yang telah dihukum penjara lima tahun atau lebih bisa menjadi caleg selama secara terbuka mengemukakan kepada publik tentang statusnya.

2. Pencabutan hak politik pernah diberlakukan kepada napi kasus korupsi

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Sebenarnya, melarang seorang napi kasus korupsi untuk memilih dan dipilih dalam pemilu bukan barang baru. Berdasarkan catatan, Salah satu contoh paling terkenal menimpa Djoko Susilo. Mantan petinggi Polri itu terjerat kasus korupsi simulator SIM pada 2013.

Hakim memutuskan Djoko harus dijatuhi hukuman tambahan, yaitu pencabutan hak politik. Artinya, ia bukan hanya harus mendekam di balik jeruji besi selama 18 tahun, tapi juga dilarang memilih serta dipilih dalam pemilu. Ini merupakan hukuman tambahan. 

Selain Djoko, ada eks Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, kewajiban membayar denda sebesar Rp10 miliar, serta pencabutan hak politik.

Baca Juga: KPK Imbau Masyarakat Tak Pilih Caleg Bekas Napi Koruptor

3. Pencabutan hak politik bersifat sah, tapi dengan persyaratan tertentu

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANIDN Times/Cije Khalifatullah

Ada sejumlah hak-hak tertentu yang bisa dicabut negara ketika individu secara kuat telah melanggar hukum. Salah satunya adalah hak memilih dan dipilih yang diatur dalam Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim sendiri berhak untuk menentukan berapa lama hak politik itu dicabut, tapi tidak boleh untuk selamanya.

Sedangkan pengembalian hak politik hanya bisa terjadi sejak terpidana selesai menjalani lima tahun masa hukuman. Lalu, untuk hak dipilih, hanya berlaku jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat yang mendapatkan larangan. 

Bila individu tersebut mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diangkat, maka pencabutan hak tersebut tidak berlaku. Saat ini sendiri ada 41 mantan napi kasus korupsi yang resmi menjadi caleg di tingkat DPRD dan DPD.

4. Muncul perdebatan tentang apakah pencabutan hak politik melanggar HAM

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Perdebatan pun mengarah ke apakah pencabutan hak politik melanggar HAM. Argumen ini sempat dipakai hakim yang mengadili Djoko Susilo sebelum menganulir keputusannya. Airlangga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga berpendapat sebaliknya.

"Artinya mereka mendapatkan amanah untuk mengelola urusan publik dan institusi publik. Nah, ketika mereka melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, artinya hal itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan rakyat," ujar Airlangga kepada IDN Times.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pencabutan hak politik adalah harapan penegakan hukum, mengingat masa hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor rata-rata terbilang singkat.

"Menurut penelitian ICW, rata-rata koruptor hanya divonis 2 tahun 2 bulan penjara selama 2016. Pada 2013, rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan; pada 2014, 2 tahun 8 bulan; dan 2015, 2 tahun 2 bulan. Dengan rendahnya vonis itu, penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi," tulis ICW dalam situs resminya.

5. Faldo Maldini selaku caleg DPR RI sekaligus juru bicara Prabowo-Sandiaga Uno sependapat dengan MA

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANinstagram.com/faldomaldini

Ketika ditemui IDN Times dalam sebuah acara diskusi di Surabaya pada Selasa (13/11), Faldo mengatakan bahwa secara umum ia berada dalam satu kubu dengan Bawaslu dan MA. Menurutnya, mantan napi kasus korupsi "sudah selesai dengan permasalahan hukumnya", jadi tak ada alasan untuk mencabut hak politiknya.

"Kalau saya based on peraturan saja karena di negara demokrasi seperti sekarang memang setahu saya untuk, misal, caleg bekas koruptor itu kan sudah diputus dari masalah hukum," kata Faldo yang kemudian mengaku bahwa dia "gak ngerti hukum terlalu banyak".

Hanya saja, ia menilai perlu ada pengecualian bagi napi koruptor yang mendapatkan hukuman penjara selama waktu tertentu. "Kalau memang di atas lima tahun [yang dicabut hak politiknya] tiba-tiba dia bisa jadi nyaleg, ya jangan. Tapi kalau di bawah lima ya dia sudah menjalani hukumannya ya selesai."

Tapi penilaian itu tidak konsisten ketika sampai pada kasus Tommy Soeharto yang pernah divonis 10 tahun penjara dan kini menjadi caleg dari partai yang dipimpinnya sendiri, Partai Berkarya. 

"Menurut saya dia sudah menerima demokrasi is the game in this town. Dan dia akhirnya bikin partai," tambah Faldo terkait orang yang berada dalam satu koalisi dengannya untuk Pilpres 2019 tersebut.

6. Andy Budiman, caleg dari PSI melihat pencabutan hak politik eks napi kasus korupsi itu sangat diperlukan

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANTwitter.com/Andy_Budiman

Di sisi lain, Andy mengaku yakin bahwa pencabutan hak politik eks napi kasus korupsi memang jalan yang harus ditempuh. Ini karena ia dan partainya menilai korupsi adalah "kejahatan luar biasa" dan "situasinya masih darurat". 

"Dengan dasar kedaruratan tadi kami melihat, dengan segala hormat, Indonesia itu gak kekurangan orang baik yang berintegritas dan gak kekurangan orang yang punya kapabilitas untuk jadi caleg. Kenapa harus pilih para caleg yang punya masalah dengan isu korupsi?" ucapnya kepada IDN Times.

Apalagi, lanjut mantan jurnalis itu, pencabutan hak politik para bekas napi kasus korupsi takkan berdampak kritis kepada kelangsungan hidup mereka. "Mereka tetap bisa hidup, tetap bisa bekerja, mencari nafkah, meski tidak masuk ke politik karena situasi darurat. Masa lalu mereka tidak memungkinkan kita untuk menerima orang-orang yang pernah mengambil uang masyarakat."

7. KPU mencari cara untuk membuat masyarakat tahu apakah seorang caleg adalah mantan koruptor

Eks Napi Koruptor Nyaleg? Begini Kata Politisi PSI dan PANANTARA FOTO/Agus Setiawan

Perbedaan pendapat terjadi, tapi keputusan MA tetap bersifat mutlak bahwa meski pernah menjadi terpidana kasus korupsi, seseorang masih diizinkan untuk menjadi peserta pemilu. Pada akhirnya, KPU mengaku mencari cara agar publik mengetahui siapa saja kandidat yang pernah berurusan dengan pidana korupsi.

Salah satunya adalah mewajibkan mereka untuk membuat pengumuman publik tentang statusnya, seperti yang tertera dalam peraturan. Pengumuman itu bisa disampaikan lewat media massa. Kemudian, ia wajib melaporkan sudah melakukan itu lengkap dengan buktinya.

Cara lainnya adalah dengan mengumumkan informasi soal caleg bekas koruptor di situs resmi mereka. Komisioner KPU Hasyim Asyari mengatakan,"Paling tidak di website KPU ditayangkan terus dan nanti bisa dikutip oleh siapa pun karena menjadi pengumuman KPU di situs resmi."

Nah, bagaimana pendapat kalian guys?

Baca Juga: Pencabutan Hak Politik Warga Negara, Bagaimana Aturannya?

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya