Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat Capres

Jakarta sibuk adu klaim soal siapa yang paling membela Papua

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Jakarta, IDN Times - Hampir separuh badan kandidat presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, terlihat dari bagian atas mobil Mitsubishi hitam. Hari itu adalah Senin (25/3) dan ia sedang berada di Merauke, Papua, untuk berkampanye.

Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu melambaikan dan mengulurkan tangan ke arah pendukung di sekitar mobilnya yang berjalan kaki. Ini adalah ciri khasnya yang mengingatkan pada cara kampanye pemimpin Afrika seperti Presiden Uganda Yoweri Museveni atau Presiden Gambia Adama Barrow.

"Elite di Jakarta terlalu lama hanya memikirkan diri sendiri. Mereka hanya mencari kekayaan untuk dirinya dan keluarganya saja. Dia tidak peduli dengan rakyat Indonesia. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang miskin--yang hidupnya susah. Dia tidak peduli dengan rakyat kita yang berada di tempat-tempat jauh," ucap dia di depan microphone.

1. Masing-masing kubu saling klaim soal Papua

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Tim BPN

"Pak Prabowo seberapa sering turun ke timur Indonesia sebagai elite partai?" tanya anggota Tim Kampanye Nasional (TKN), Meutya Hafid, ketika diundang ke Mata Najwa. Ini adalah pertanyaan valid, apalagi Prabowo menuding elite di pusat (yang mudah diterjemahkan sebagai pemerintah) cuek terhadap Papua.

TKN membantah tudingan itu dengan menyinggung bahwa petahana, yaitu Joko Widodo (Jokowi), telah berjuang untuk memajukan provinsi paling timur tersebut dengan "membangun Trans Papua" serta "mengambil alih Freeport".

"Apa maksudnya kemudian negara harus bertarung melawan corporate Amerika [untuk] mengambil alih Freeport? Untuk siapa? Untuk Papua," tambah Adian Napitupulu, juru bicara TKN.

Sementara, Mardani Ali Sera dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menganalogikan yang dilakukan Jokowi seperti menggeser sofa yang berada di bawah atap bocor dan "menganggap sofanya tidak basah, padahal atapnya masih bocor".

"Pembangunan jalan tidak menyelesaikan masalah," ujar dia. Menurut dia, Prabowo berencana melakukan pemekaran Papua "jadi empat sampai enam [provinsi], kemudian kita arahkan industri-industri besar kita di sana, kita buat transmigrasi".

Baca Juga: Menko Polhukam Pastikan Pemilu 2019 di Papua Aman

2. Suara masyarakat Papua tenggelam di tengah adu kepentingan politik

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Zabur Karuru

Jokowi memang berulang kali membanggakan pembangunan Trans Papua sepanjang 908,8 kilometer serta pengambilalihan Freeport. Sayangnya, yang hilang dari adu klaim antara kedua kubu adalah suara rakyat Papua yang peduli pada tanah kelahiran mereka.

Tak hanya Papua mengalami depolitisasi dan persoalan di sana nyaris hilang saat Debat Pilpres, tapi saat diangkat pun narasi yang disuguhkan selalu sama bahwa masalah keamanan di sana akan selesai dengan pendekatan militeristis dan pembangunan infrastruktur serta ekonomi.

Lalu, transmigrasi kembali diusung sebagai solusi, seolah masyarakat Papua inferior dibandingkan warga di Indonesia bagian lain atau bahkan mereka dianggap tidak ada sama sekali.

"Papua bukan tanah kosong," kata Aprila Wayar, jurnalis dan novelis kelahiran Jayapura, kepada IDN Times.

"Selama ini juga kita telah merasa jadi second class citizen (warga kelas dua) yang kemudian akan dibicarakan ketika ada kepentingan saja. Ketika bicara Freeport, semua akan bicara soal Papua," dia melanjutkan.

Aprila yang bertahun-tahun meliput soal Papua mencontohkan, ketika tak ada yang membahas penembakan di Nduga pada awal Desember atau banjir bandang di Sentani. "Kita berharap itu dibahas dalam debat pertama, tapi ternyata tidak. Kita menunggu di debat kedua, tapi tidak juga. Jadi ini menjadi akumulasi kekecewaan bagi orang Papua."

Satu-satunya momen di mana banjir di Sentani disinggung adalah saat Sandiaga Uno menyampaikan bela sungkawa dalam debat pada 17 Maret lalu. Itu pun ia lakukan hampir di penghujung debat. Banjir Sentani sendiri terjadi sehari sebelumnya dan menewaskan 112 orang.

Baca Juga: Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di Papua

3. Konsep kemakmuran warga Papua asli dan yang bukan itu berbeda

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Zabur Karuru

Papua memang topik yang sensitif. Oleh karena itu, memaksakan perspektif orang dari orang luar Papua untuk diterapkan di sana adalah langkah yang sah dipertanyakan. "Dari kacamata orang Indonesia bagian barat, permasalahan orang Papua itu adalah ekonomi. Tapi persoalan itu bukan hal yang inti bagi orang Papua," tutur Aprila.

"Bicara soal ekonomi, kami mungkin tidak hidup di zaman kapitalis, tapi kami hidup di mana laut dan hutan menjanjikan kami kehidupan," kata dia, melanjutkan. Ada perbedaan konsep kemakmuran antara orang Papua asli dan non-Papua yang coba diterangkan Aprila.

"Saya bicara dalam konteks orang asli Papua yang benar-benar hidup tergantung kepada hutan. Ketika hutannya dihancurkan, kehidupannya juga mulai hancur. Sehingga penyelesaiannya menurut saya, hutan-hutannya dijaga, masyarakat adatnya diberi ruang yang lebih besar untuk berekspresi."

Ini yang sempat diprotes Koalisi Organisasi Masyarakat Pro Keadilan, HAM dan Lingkungan di Tanah Papua pada 2018 ketika Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan izin usaha perkebunan sawit seluas 28.817 hektare kepada PT Sawit Makmur Abadi. Padahal, kawasan hutan yang diubah adalah milik masyarakat adat.

Melalui siaran pers, Pendeta Magda Kafiar dari KPKC Sinode GKI menyatakan, "Kebun sawit tak cocok dengan kita. Kita tidak punya modal besar jadi petani sawit. Perusahaan-perusahaan ini bukan bagian dari cara kita bekerja. Ini yang menimbulkan stigma orang Papua malas. Membuat kita miskin padahal punya tanah."

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresIDN Times/Sukma Shakti

4. Dampak pendekatan militeristis pun dipertanyakan

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Zabur Karuru

Papua juga selalu dianggap rawan, apalagi setelah terjadi penembakan di Nduga yang menewaskan 30 warga sipil, empat anggota TNI dan satu polisi. Untuk pengamanan Pemilu 2019 juga disiapkan 7.500 personel TNI dan 7.500 anggota kepolisian yang dikerahkan di wilayah tersebut.

Hanya saja, Aprila mempertanyakan sampai kapan pendekatan militeristis akan terus dilakukan di tanah kelahirannya. Ini terutama karena sempat muncul usulan agar pemerintah menetapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Papua usai insiden Nduga.

"Sampai hari ini, hasil apa yang didapat oleh Indonesia? Artinya apakah kemudian masalah itu selesai? Tidak, kan? Kelompok-kelompok yang melawan ini kan tetap ada," kata perempuan yang sosoknya difilmkan dalam sebuah dokumenter berjudul "Aprila" dan menang di Pacific Fifo Documentary Film Festival di Tahiti pada Februari lalu.

5. Harus ada evaluasi terhadap strategi yang selama ini diimplementasikan

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Gusti Tanati

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pemerintah wajib memiliki ukuran yang jelas ketika mengerahkan militer.

"Apa persisnya ancaman? Jangan sampai kemudian yang seharusnya dihadapi dengan pendekatan penegakan hukum, kepolisian, malah dihadapi dengan kekerasan bersenjata lewat militer," kata Usman kepada IDN Times.

Keberadaan militer secara berlebihan, menurut Usman, "menimbulkan persoalan hak asasi manusia". Hanya saja, dia menyebut belum ada visi dan misi yang jelas, baik dari pihak Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga terkait keamanan di Papua.

"Kita berharap di dalam debat nanti konsep berpikir di bidang pertahanan dan keamanan bisa disampaikan, khususnya bagaimana aransemen keamanan di Papua, baik itu menghadapi gangguan keamanan tradisional maupun ancaman bersenjata separatis."

6. Langkah politik sebaiknya dipertimbangkan untuk segera dilakukan

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Zabur Karuru

Tindakan yang menurut Aprila absen dilakukan pemerintah adalah dialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Apalagi OPM baru saja terlibat baku tembak dengan TNI yang menewaskan seorang tentara.

"Kalau saya membandingkan dia dengan SBY, SBY masih mengirim Farid Husein ke rimba Papua [untuk] bicara dengan kelompok OPM. Artinya, ada niat baik untuk menyelesaikan masalah Papua. Sama seperti SBY mengirimkan Farid Husein ke Aceh [untuk] menyelesaikan masalah Aceh, sehingga sampai ke MOU Helsinki," kata dia.

Menurut Aprila, Jokowi selama ini hanya melakukan pendekatan "kepada elite Papua di sekitar dia, yang sudah sekian puluh tahun jauh dari Papua". IDN Times mencoba menghubungi Staf Khusus Presiden Kelompok Kerja Papua Lenis Kogoya untuk meminta tanggapannya. Namun, sampai tulisan ini terbit, Lenis belum merespons.

Sementara, dalam resolusi konflik, salah satu cara yang harus ditempuh memang dialog. Karena dialog mampu mewadahi perbedaan pendapat, mengakui niat baik masing-masing, mencari jalan tengah, sehingga muncul solusi jangka panjang yang saling menguntungkan.

Alasan lainnya adalah tidak mungkin militer akan selamanya berada di Papua tanpa memperuncing konflik yang sedang diusahakan untuk selesai. "Sering kali penggunaan alat-alat keamanan menimbulkan persoalan hak asasi manusia (HAM) dan dampak negatif nya. Itu saya kira harus dibereskan," kata Usman.

7. Memanusiakan manusia Papua adalah kuncinya

Hilangnya Suara Papua di Tengah Hiruk-Pikuk Debat CapresANTARA FOTO/Zabur Karuru

Perkara keamanan dan pertahanan tidak bisa dilepaskan dari hak asasi manusia. Inilah yang harus dipahami setiap pemangku kepentingan. Pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi tanpa pemahaman mendalam mengenai apa yang sesungguhnya diinginkan rakyat Papua, hanya akan sia-sia.

Apalagi, jika Jakarta tetap 'keras kepala' dengan meningkatkan kehadiran militer di sana. Ada elemen kemanusiaan yang bersifat fundamental, tapi justru mudah dilupakan. Aprila mencontohkan ada 229 siswa SD hingga SMA yang karena penembakan di Nduga harus mengungsi, dan terancam tak bisa ikut Ujian Nasional. Mereka tak bisa ditolong dengan peluru.

"Bagi saya sendiri, harapannya terhadap siapa pun yang terpilih nanti, pembangunan yang akan dilakukan untuk Papua ke depan itu memprioritaskan manusia Papua. Seperti pembangunan sekolah dan pengiriman guru-guru berkualitas," ujar Aprila.

"Kami tidak butuh tentara. Kami butuh guru. Kami butuh dokter. Ketika manusia Papua berpendidikan, ketika manusia Papua sehat, dia yang kenal alamnya, dia yang tahu apa yang terbaik untuk negerinya," kata Aprila, menambahkan.

Baca Juga: Menko Polhukam Pastikan Pemilu 2019 di Papua Aman

Topik:

  • Rochmanudin
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya