Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu Ada

Seberapa rentan kamu terhadap hoaks?

Artikel ini merupakan jawaban dari pertanyaan terpilih yang masuk ke fitur #MillennialsMemilih by IDN Times. Bagi pembaca yang punya pertanyaan seputar Pilpres 2019, bisa langsung tanyakan kepada redaksi IDN Times.

Surabaya, IDN Times - Sebuah artikel dengan judul When Fake News Kills: Lynchings in Mexico are Linked to Viral Child-kidnap Rumors  diterbitkan oleh LA Times pada September 2018. Artikel itu menjelaskan bagaimana Ricardo Flores (21) dan pamannya Alberto Flores Morales (56) dihajar lalu dibakar massa di jalanan pada 29 Agustus 2018. 

Jika diterjemahkan, judul artikel itu dalam bahasa Indonesia adalah Saat Berita Bohong Membunuh: Pembunuhan Ekstra Yudisial oleh Massa Berkaitan dengan Rumor Penculikan Anak yang Viral. 

Massa termakan rumor yang beredar di WhatsApp bahwa ada dua pelaku penculikan anak yang berkeliaran. Polisi menegaskan tidak ada bukti sama sekali bahwa Flores dan Morales adalah pelakunya.

Ini adalah salah satu dampak hoaks yang mengerikan...

1. Tahun politik menjadi periode yang rawan penyebaran hoaks

Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu Adaunsplash.com/John Schnobric

Kasus tersebut mengilustrasikan betapa mudahnya hoaks tersebar melalui media sosial. Konsekuensinya pun sulit diprediksi. Hoaks sukar dibendung sebab saat ini siapapun dengan akses internet sangat mudah membuat dan menyebarkannya. Apalagi jika tahun politik sudah datang, seperti di Indonesia.

Contoh paling kentara adalah ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sengitnya kompetisi antar calon—terutama karena keikutsertaan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—membuat beragam hoaks bertebaran untuk saling menjatuhkan.

Misalnya yang menimpa mantan editor pelaksana beritasatu.com Ulin Yusron. Foto laki-laki berambut panjang itu disebarluaskan sebagai Amalia Ayuningtyas, sukarelawan tim kampanye Ahok. Amalia adalah perempuan berjilbab. 

Dalam meme yang memuat foto Ulin, pembuatnya mencantumkan tulisan: "Kerudungnya mana?" Foto tersebut beredar di Twitter, Facebook, Instagram serta grup-grup WhatsApp. Memang tidak ada yang kehilangan nyawa dari situ, tapi praktik ini masih terus digunakan demi meraih keuntungan sepihak.

2. Internet menjadikan produksi dan distribusi hoaks semakin mudah

Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu AdaIDN Times/Sukma Shakti

Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2017 lalu ada 143,26 juta penduduk Indonesia yang sudah memakai internet dalam kehidupan sehari-hari. Angka itu naik 7,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadikan potensi kerentanan masyarakat untuk menerima hoaks kian besar.

Yang terbaru adalah viralnya foto puluhan anggota kepolisian memakai peci putih. Foto yang beredar di Facebook, Twitter dan Instagram itu dibubuhi caption : "KAMI POLRI SIAP MENGAWAL SUARA PRABOWO-SANDI DI PILPRES 2019. DEMI MENJAGA KEAMANAN NEGARA NKRI BAGAIMANA PENDUKUNG PRABOWO-SANDI APA SIAP MENGAWAL SUARA 02 DEMI MENUJU PERUBAHAN."

Polri menjelaskan bahwa itu adalah foto peringatan Hari Santri Sekolah Polisi Negara Jawa Timur di Mojokerto, Jawa Timur, pada 22 Oktober 2018 lalu. Tentu saja ini bukan fenomena terisolasi yang hanya terjadi di Indonesia. 

Para peneliti dari Ohio University merilis hasil riset pada awal 2018 lalu yang mengindikasikan bahwa hoaks mungkin berkontribusi terhadap hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat tahun 2016. Dari pilpres tersebut, Donald Trump keluar sebagai pemenang.

Baca Juga: Jurnalisme di Tengah Gempuran Misinformasi dan Disinformasi

3. Hoaks dinilai sebagai ancaman oleh pemerintah

Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu AdaIDN Times/Sukma Shakti

Bagi pemerintah, hoaks sudah menjadi ancaman serius. Ini terlihat dari betapa reaktifnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dalam menanggapi hoaks. Misalnya, dengan memblokir sejumlah situs yang dinyatakan bermuatan konten-konten palsu untuk menyerang pemerintah.

Kemudian, Kemkominfo juga mendedikasikan situs stophoax.id di mana masyarakat bisa melaporkan misinformasi dan disinformasi yang ditemukan. Dalam liputan eksklusif, Bloomberg mengunjungi ruangan milik Kemkominfo yang berisi 70 teknisi di mana tugas mereka adalah memantau media sosial dan mendeteksi hoaks.

"Selama apa yang mereka lakukan berlawanan dengan UU ITE, kami mengambil tindakan. Setiap hari kami menemukan hal baru. Setiap hari kami menemukan ancaman-ancaman baru," ujar Menkominfo Rudiantara.

"Setiap menit, setiap detik, negara ini diserang. Beberapa serangan langsung dari negara lain dan kadang satu negara memakai negara lain sebagai proksi," tambahnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

4. Harus ada perubahan paradigma dalam merespons hoaks

Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu Adaunsplash.com/rawpixel

Menurut pendiri Remotivi, Roy Thaniago, selama ini kita selalu reaktif ketika menerima hoaks, tak terkecuali pemerintah. "Yang mereka lakukan adalah ngeblokir [situs] hoaks, ngeblokir Tumblr dan lain-lain," kata Roy.

"Karena perspektif mereka adalah orang-orang ini butuh gak mampu otonom atau berpikir mandiri, berpikir kritis. Menurut mereka ketimbang mereka diganggu mendengar [tentang hoaks], salurannya ditutup, sudah biar gak usah lihat," tambahnya.

Ini adalah cara lama yang sebenarnya tidak efektif. Masih banyak situs yang kemudian bisa diakses menggunakan Virtual Private Network (VPN). Roy menilai seharusnya ada "perubahan paradigma" dalam menangani hoaks. Artinya, tak lagi sekadar reaktif, tapi juga melakukan langkah preventif.

5. Kemampuan berpikir kritis harus diutamakan untuk membentengi diri dari hoaks

Kamu Wajib Kritis Karena Hoaks akan Selalu Adaunsplash.com/William Iven

Langkah preventif itu adalah dengan mempromosikan kemampuan berpikir kritis. Ini diamini oleh Novi Kurnia, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, "mempunyai kemampuan berpikir kritis dalam mengelola berbagai jenis informasi politik, kesehatan, bencana alam, pendidikan, juga informasi lainnya" bersifat penting.

Kemampuan berpikir kritis itu, antara lain, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, dan mengevaluasi sebuah konten yang diterima. Novi pun mengkritik pola produksi dan distribusi informasi yang dilakukan oleh media massa. "Apakah media sudah memberikan ruang bagi pekerjanya untuk berpikir kritis dan mempertimbangkan akurasi informasi serta mitigasi risiko terhadap pembacanya? 

"Atau apakah media terjebak pada rutinitas untuk memproduksi informasi secepat-cepatnya dengan mengurangi pertimbangan-pertimbangan di atas dengan alasan bisnis atau alasan lainnya?" Distribusi yang "serba bergegas" tersebut berpengaruh terhadap degradasi kemampuan berpikir kritis.

Baca Juga: Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat Baca

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya