Kebijakan Sertifikasi Halal Dinilai Makin Membingungkan

Nantinya mobil dan kulkas harus berlabel halal

Baru-baru ini muncul kembali dua topik perdebatan seputar sertifikasi halal. Pertama, mengenai institusi mana yang punya otoritas sebenarnya untuk menetapkan sebuah produk itu halal atau tidak. Kedua, produk apa saja yang menjadi sasaran sertifikasi tersebut. Kembali mencuatnya dua topik tersebut di kalangan masyarakat dilatarbelakangi oleh keharusan mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada tahun 2017 ini.

Struktur BPJPH diprediksi akan terisi lengkap paling lambat pada April 2017.

Kebijakan Sertifikasi Halal Dinilai Makin MembingungkanSigid Kurniawan/ANTARA FOTO

Pada 17 Oktober 2014 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Konsekuensinya,Kementerian Agama, harus segera mendirikan sebuah badan khusus yang menangani jaminan halal. Pendirian BPJPH pun dimulai dengan tenggat maksimal tahun 2017.

Kemudian, pada Oktober 2016 lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sendiri telah menandatangani Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 Tentang Organisasi Tata Kerja (Ortaker). Isinya menegaskan bahwa BPJPH menjadi bagian dari struktur Kemenag. Diperkirkan, pada bulan Maret atau April tahun 2017, ini seluruh struktur BPJPH sudah akan terisi.

Baca Juga: Gak Cuma Smartphone, Xiaomi Juga Pernah Produksi 10 Perangkat Unik Ini

UU Jaminan Produk Halal membagi kewenangan pemberian sertifikat halal antara Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kebijakan Sertifikasi Halal Dinilai Makin MembingungkanSaiful Bahri/ANTARA FOTO

UU Jaminan Produk Halal mewajibkan pada 2019 nanti seluruh produk dan jasa yang ada dan digunakan masyarakat mendapat sertifikat halal. Berlakunya UU Jaminan Produk Halal berkonsekuensi pada kewenangan untuk memberikan sertifikat halal.

Sebelum undang-undang ini berlaku, pihak yang bertanggungjawab penuh dalam pemberian label halal adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) yang berada di bawah komando MUI.

Di tahun 2019, nanti konfigurasinya akan berubah. Pelaku usaha harus mendaftar kepada BPJPH yang akan memeriksa semua kelengkapan dokumen. Sedangkan pengujian dan pemeriksaan kehalalan produk akan dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang harus memperoleh akreditasi dari BPJPH.

Hasil dari LPH akan diserahkan kembali kepada BPJPH. Berikutnya, BPJPH memberikan hasil itu kepada MUI. Melalui sidang fatwa halal, MUI yang akan memutuskan apakah sertifikat halal bisa dikeluarkan oleh BPJPH. Skema ini memperlihatkan bahwa sejatinya kehalalan suatu produk sudah diketahui sejak dari laporan LPH kepada BPJPH.

Karena perubahan ini, Gus Mus pun angkat bicara.

Kebijakan Sertifikasi Halal Dinilai Makin MembingungkanAji Styawan/ANTARA FOTO

Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, pun angkat bicara berkaitan dengan perubahan ini. Dalam wawancaranya dengan Tempo, Gus Mus mengaku heran mengapa Kementerian Agama tak memiliki kuasa penuh atas penerbitan sertifikat halal.

Ia mengaku tak bisa memahami mengapa MUI yang bukan lembaga justru diberi kewenangan untuk memutuskan apakah suatu produk itu halal. Pengurus Pondok Pesantren Roudlatuth Thoblin di Rembang ini mempertanyakan status MUI yang tak jelas apakah termasuk instansi pemerintah, ormas, parpol, atau rekanan Kementerian Agama. Lebih lanjut, ia menganggap mekanisme tersebut lucu karena Kementerian Agama yang berwenang mengeluarkan label halal, sedangkan MUI tetap bisa memberi fatwa.

Selain itu, target dari UU Jaminan Produk Halal juga menimbulkan kontroversi tersendiri.

Kebijakan Sertifikasi Halal Dinilai Makin Membingungkanstocksnap.io

Dikutip dari BBC Indonesia, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Danang Girindra Wardhana, mengaku tak sepenuhnya setuju terhadap mandat dalam UU Jaminan Produk Halal. Menurutnya, UU ini mengubah seluruh mekanisme perdagangan di Indonesia. Danang menggarisbawahi ketentuan bahwa semua produk impor juga menjadi target UU Jaminan Produk Halal.

Dalam UU Jaminan Produk Halal, semua produk barang dan jasa tanpa terkecuali harus mendapat sertifikat halal. Tentu ini tak masuk akal mengingat ada banyak barang yang diimpor. Danang mengkhawatirkan karena aturan administratif ini pemerintah akan menghentikan, misalnya, impor beras padahal Indonesia belum mandiri secara pangan.

Pihaknya juga mempertanyakan mengapa produk teknologi seperti telepon genggam dan barang rumah tangga seperti kulkas harus mendapat label halal. Jika benar diaplikasikan, dia memperkirakan akan banyak pro dan kontra karena penggunaan produk-produk tersebut cukup besar. 

Belum lagi tentang jasa yang juga wajib bersertifikat halal. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengapa sektor ini juga harus menjadi target, serta bagaimana menilai kehalalan sebuah jasa. Sebab, tak seperti produk makanan, obat-obatan maupun kosmetik yang bahan bakunya bisa diuji sesuai hukum Islam. Sektor jasa dinilai tak punya aspek seperti ini. Agar tak semakin membingungkan, MUI dan Kementerian Agama diminta untuk melakukan sosialisasi tentang perubahan prosedur dalam pengajuan sertifikasi halal.

Baca Juga: Setelah Pokemon GO, Kini MUI pun Keluarkan Fatwah Haram Polisi Tidur. Mengapa?

Topik:

Berita Terkini Lainnya