Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di Surabaya

Seorang pejabat berkata ada ABK diduga jadi korban pelecehan

Surabaya, IDN Times - Gadis kecil itu memakai gaun panjang yang warnanya hampir secerah ekspresi wajahnya ketika meminum susu kotak kesukaannya. "Susunya rasa apa, Sulis?" tanyaku kepadanya yang masih berusaha menghabiskan susu yang dipegang erat dengan kedua tangannya.

Bukan jawaban yang aku dapat, tapi hanya tawa yang cukup meledak dan celotehan-celotehan yang tak aku mengerti. Belakangan baru aku tahu bahwa dia tak menangkap pertanyaanku. Ini bukan karena aku yang kurang jelas dalam bertanya. Dengan kata lain, kami terhambat dalam bertukar kata-kata.

Sulis adalah anak perempuan berusia tujuh tahun yang memiliki autisme. Sore itu, Jumat (27/7), dia bersama beberapa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) lainnya berkumpul di sebuah rumah milik Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus di kawasan Manyar Sabrangan, Surabaya.

1. Butuh usaha ekstra untuk mengenali beragam jenis ABK dan bagaimana berinteraksi dengan mereka

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Tak mudah memang memahami dan merawat anak seperti Sulis. Selain butuh ekstra kesabaran, pemahaman juga menjadi hal mutlak. Sayangnya, ketidakpemahaman terhadap berbagai pola interaksi ABK justru jamak terjadi.

Hal tersebut disebabkan berbagai hal. Pertama, ada banyak jenis disabilitas yang mungkin dimiliki oleh seorang anak. Kedua, agar ia mendapatkan perawatan dan perlakuan yang tepat, maka anak tersebut harus melalui serangkaian tes. Ketiga, cara berkomunikasi kita terhadap satu ABK dengan disabilitas tertentu dengan yang lainnya pun bisa jadi berbeda.

Ini bisa diilustrasikan dengan baik melalui cerita Yusiana (49) yang merupakan ibu dari Ivan (21). Awalnya, ia hanya menduga putranya sakit fisik biasa yang bisa disembuhkan dengan obat.

"[Dulu] dia kejang. Diagnosa awal itu epilepsi. Rutin minum obat selama empat tahun dari Rumah Sakit Dr. Soetomo. Rutin setiap bulan, tidak boleh lepas obat kejangnya," ucap perempuan yang tinggal di kawasan Juanda ini.

Lalu muncul persoalan lain. "Jalannya itu jinjit. Lima langkah jatuh," kata Yusiana. Terapi sudah dijalani. Hingga usia tujuh tahun, Ivan tak lagi kejang. Kemudian, ia menunjukkan sikap sulit diam. "Kok gak mau diam. Aku kasih hadiah kalau bisa diam 10 menit. Tetap gak mau diam. Akhirnya ganti [ke dokter jiwa]. Maksudnya disarankan ke psikiater di Dr. Soetomo."

Dari sejumlah pertemuan dengan psikiater pun diketahui bahwa Ivan ternyata autis dan hiperaktif. Ia pun mengingat waktu sekolah Taman Kanak-kanak yang dilalui putranya ketika mungkin saja autisme itu sudah ada, tapi belum terdeteksi. "Lama dulu sekolahnya. Ya, dia sempat gak diluluskan gurunya."

2. Pemerintah Kota Surabaya berusaha turun tangan, salah satunya melalui PUSPAGA yang menggratiskan pelayanan

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Pemerintah Kota Surabaya pun sebenarnya tak tinggal diam merepons fenomena tersebut. Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Surabaya, Chandra Oratmangun mengatakan bahwa pihaknya telah menyediakan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Bahkan, pada Mei lalu, Wali Kota Tri Rismaharini meresmikan salah satu ruangan yang dikhususkan untuk konsultasi orangtua ABK.

Upaya ini, menurut Chandra juga sejalan dengan langkah Pemkot untuk menerapkan konsep kota layak anak. Meski belum bisa dinilai efektivitasnya, namun seminggu sebelumnya di Dyandra Convention Center, Risma menerima penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Surabaya, menurut serangkaian survei oleh kementerian, dinyatakan sebagai Kota Layak Anak kategori Utama.

"Poin kita tinggi juga untuk penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Mereka datang ke sini. Para juri juga terkaget-kaget," ucap Chandra saat aku temui di PUSPAGA pada Selasa (24/7).

Senada, Antho Handiono, Kepala Bidang Kesejahteraan Keluarga, mengatakan pihaknya berupaya untuk membantu orang tua mengenali dan mengasuh anak-anak mereka yang memiliki disabilitas, meski belum menyeluruh.

"Sementara ini pelayanan kami hanya terbatas kepada orangtua dengan ABK yang memiliki gangguan belajar. Sementara ini ada beberapa kasus yang masuk ke kami. Tapi penanganannya kami refer (rujuk). Kami masih belum mampu sebab baru lima psikolog khusus ABK yang bergabung," ungkapnya.

Kendala lain yang dihadapi adalah para psikolog dan psikiater yang ada berstatus sukarelawan dari beberapa universitas terkemuka di Surabaya serta para pemerhati anak. Meski masih baru dan serba terbatas, DP5A mengklaim kelas parenting untuk ABK selalu laris manis.

Rully, pejabat DP5A yang mengurus PUSPAGA, mengatakan,"Kalau kelas parenting ABK pasti ramai peminatnya. Kadang ada 50 peserta setiap kelas. Kita memang batasi maksimal 50." Sayangnya, saat masa peliputan, PUSPAGA tidak sedang menggelar kelas tersebut. Aku juga tidak bisa mewawancarai orang tua ABK yang ke sana karena alasan privasi.

3. Kelompok ABK belum terdokumentasi dengan baik dalam bentuk data yang komprehensif

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Di satu sisi, Pemerintah Kota Surabaya memang sudah mulai memperhatikan keberadaan ABK. Namun, di sisi lain, ada yang terlewatkan dari upaya tersebut yaitu data. Tanpa memegang informasi mengenai jumlah ABK di Surabaya, sulit untuk mengetahui berapa yang dijangkau serta sejauh mana kemajuan secara umum yang sudah dicapai.

Antho sendiri mengaku bahwa pihaknya memang tidak memiliki data terkait ABK. Mantan Kepala DP5A, Antiek Sugiharti, pun suatu kali pernah berkata bahwa memang pemerintah belum melakukan pendataan terhadap ABK di Surabaya, termasuk berapa yang sudah memasuki usia sekolah, tapi ternyata tidak mengikuti pendidikan.

Kekecewaan diungkapkan oleh Yaya, Ketua Pelaksana Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus, yang aku jumpai pada sebuah kesempatan. Dilatarbelakangi oleh pengamatannya selama ini, Yaya mengaku ragu pada kemampuan pelaksana survei dari pemerintah. Salah satunya apakah mereka memahami kompleksitas seputar ABK.

"Misal, kalau menurut saya, BPS (Badan Pusat Statistik) kan mendata, Dinas Sosial juga, tapi gak semuanya terdata secara sinergis. Kenapa? Salah satunya karena enumeratornya itu bisa atau gak. Karena ABK itu segitu rumitnya," kata Yaya.

Ia melanjutkan,"Misalnya, dia diagnosis CP (Cerebral Palsy), tapi sebelum ketahuan CP kan dia harus ke dokter, harus ke psikolog, harus ke psikiater yang harus didiagnosis dari berbagai setting. Nah apakah yang data statistik tadi itu melihat sampai segitunya? Atau cuma melihat sampai sebatas,’Oh, dia cacat’?"

4. Peran keluarga sangat besar dalam menghadirkan lingkungan yang inklusif kepada ABK, tapi sebagian besar tanggung jawab dibebankan kepada ibu

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Mengetahui jenis disabilitas yang dimiliki oleh seorang anak penting sebagai langkah awal yang berkontribusi dalam pemberian penanganan secara tepat. Ini harus dimulai dari lingkup keluarga. Yusiana bukan satu-satunya ibu yang bekerja keras untuk memahami dan mengurus keperluan anaknya.

Dalam konteks ABK, ibu seakan secara langsung diberikan tanggung jawab untuk melakukannya. Sedangkan ayah lebih banyak berperan dalam mencari uang di luar rumah. "Bapaknya ya support, kan cari dana ya. Kalau untuk antar terapi ya saya, gak ada yang bantu. Dari pihak keluarga pun ya cuma kasihan. Tapi untuk tenaga ya saya sendiri," ucap Yusiana.

Setidaknya ini sesuai dengan hasil pengamatanku ketika mengikuti sesi diskusi di Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus. Ada 15 ibu yang hadir bersama anak-anak mereka yang memiliki disabilitas beragam. Sementara itu, hanya ada lima ayah yang datang.

Mereka lebih memilih berada di halaman tanpa mengikuti proses diskusi yang saat itu sedang membicarakan tentang manajemen finansial keluarga. Yaya juga mengamini ini. "Timpang banget antara kedatangan ibu dan bapak. Misalnya dari 10 ABK, hanya dua sampai tiga yang sama ayahnya. Itu pun ayahnya mengantar. Ayahnya juga sibuk kerja kan? Jadi bisa aja menjadi alasan gak bisa datang," kata perempuan berjilbab tersebut.

Srimin, salah satu ayah dari ABK yang ikut mengantar istri dan putrinya ke yayasan, mengatakan ia memang lebih fokus untuk mencari uang. "Tapi kalau hanya mengantar seperti ke acara ini ya gak ada masalah," tutur laki-laki yang sehari-harinya berprofesi sebagai sopir ojek online itu. Pemandangan yang hampir sama juga tersaji di SDN Airlangga I yang merupakan sekolah inklusi.

Sebanyak 52 siswa ABK belajar di sekolah yang berlokasi sangat dekat dengan Universitas Airlangga tersebut. Aku melihat enam ibu dan satu nenek berada di kantin dekat ruang kelas inklusi.

"Mereka di sini karena anak-anak mereka masih butuh didampingi. Kalau gak, suka nangis dan menolak mengikuti pelajaran," kata Matra'i Faridhin yang merupakan kepala sekolah SDN Airlangga I yang aku temui pada Senin (30/7).

5. Sekolah inklusi hadir, tapi masih jauh dari ideal

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Selain penyediaan sarana konsultasi, satu dari banyak bentuk penerimaan terhadap ABK di lingkungan masyarakat adalah terbukanya akses pendidikan bagi mereka. Matra'i selaku Kepala Forum Komunikasi Sekolah Inklusi Surabaya pun sependapat dengan ini. Ketika aku mengunjungi sekolah yang dibinanya, ia dengan terbuka menunjukkan apa yang sudah dicapai dan apa yang perlu perbaikan.

"Seharusnya fasilitas yang menunjang anak-anak itu ada, termasuk ruangannya. Kita itu punyanya hanya sedikit. Anak-anak ini kan butuh [dilatih] keterampilannya. Kalau akademik saya rasa gak mungkin," kata laki-laki asal Madura itu. Soal guru, Matrai'i menjelaskan bahwa di sekolahnya hanya ada empat Guru Pendamping Khusus (GPK).

"Tapi guru regulernya sudah dibina. Bukan pendamping khusus, tapi guru-guru di sini dari olahraga, agama, semuanya sudah ikut pelatihan untuk mengelola anak-anak inklusi itu. Dalam seminggu, mereka dimasukkan ke kelas reguler dua kali dan kelas inklusi tiga kali.

Aku diberi kesempatan untuk melihat perbedaan dua kelas itu. Di ruang inklusi, mereka lebih banyak dibiarkan bermain dan berinteraksi secara lebih dekat dengan guru. Kebetulan saat aku datang, seorang siswa ABK bernama Bagas berulangtahun.

Anak usia sembilan tahun yang diduga memiliki keterlambatan bicara dan autisme itu merayakan bersama teman-teman dan guru-gurunya dalam suasana bersahabat. Di kelas reguler, siswa ABK duduk di dekat guru, sedangkan teman-teman sekelasnya belajar seperti biasa.

"Ini karena mereka butuh perhatian khusus," kata Febri Dwi Cahya, guru pendamping ABK, yang menemaniku. Tak seperti siswa lain, satu ABK dengan autisme yang aku temui belajar berhitung dengan mengubah angka menjadi bentuk buah yang kemudian diwarnai agar menarik.

Aku menduga situasi seperti itu cukup sulit, apalagi jika dalam satu kelas ada 40-an siswa lainnya. "Idealnya memang ada GPK di setiap kelas," tambah Febri.Meski begitu, menurut Matra'i, Surabaya sebenarnya lebih perhatian kepada pendidikan ABK.

"Dibandingkan di wilayah lain di Indonesia, kita ini betul-betul diperhatikan oleh Wali Kota. Teman-teman reguler yang membantu dua hari di kelas itu, mereka dikasih reward juga. Kalau gak salah Rp800 ribu per bulan."

6. ABK belum terhindar dari perlakuan buruk dari lingkungan, salah satunya kemungkinan sebagai korban pelecehan seksual

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Cerita gelap mengenai ABK aku dengar datang dari salah satu pejabat Pemerintah Kota Surabaya yang menolak disebutkan namanya. Aku bertemu dengannya di kantor pada Sabtu siang (27/7). Ia mengatakan bahwa baru-baru ini ada kasus di mana seorang siswa ABK mengaku jadi korban pelecehan seksual oleh gurunya di sekolah.

"Gak sampai ke polisi. Kan sulit membuktikan apalagi orangtuanya sendiri mungkin malu punya anak ABK," kata pejabat tersebut. "Akhirnya tetap dibantu berikan pendampingan psikologi untuk anaknya. [Orang tuanya] kadang percaya, kadang gak. Mungkin dianggapnya karena anaknya berkebutuhan khusus, lalu bisa jadi itu bohong. Bisa jadi itu imajinasi si anak."

Cerita ini rupanya turut didengar oleh Matra'i. Namun, ia mengaku bahwa informasi yang diperolehnya sangat terbatas sebab pihak sekolah ingin menyelesaikannya secara internal. Menurut Matra'i, Risma juga sempat dilapori masalah ini.

"Saya pertama yang harus turun. Karena semuanya gak ada yang tahu. Guru pendampingnya, ketiganya saya hubungi mengaku gak ada [kejadian itu]. Setelah itu sudah saya gak diberi [informasi lagi]," tutur Matra'i. Sama seperti kata pejabat tersebut, ia juga mendengar bahwa orang tua si ABK tidak percaya pada klaim anaknya yang memiliki autisme itu.

7. Semua pihak punya peran dalam memastikan bahwa ABK menerima hak-hak mereka tanpa diskriminasi

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Rosa Folia

Aku harus mengakui bahwa sebelum bersentuhan langsung dengan ABK, aku tak mengetahui apapun tentang kesulitan yang mereka alami. Aku juga tak tahu bahwa ternyata, meski butuh kesabaran ekstra, berinteraksi dengan mereka bisa menjadi pengalaman yang mengharukan.

ABK memang punya cara berkomunikasi sendiri. Namun, keceriaan di wajah mereka terlalu sayang untuk disembunyikan. Bahkan, mereka sangat senang ketika melihatku membawa kamera. Mereka pun dengan lepas mengekspresikan diri di depan lensa. Para ABK, sama seperti kita semua, juga memerlukan perhatian dan kasih sayang.

Keacuhan seputar kondisi ABK adalah penghalang bagi mereka untuk mendapatkan hak seperti layaknya kita pada umumnya. Keacuhan tersebut bisa muncul karena kita menilai disabilitas menjadi penentu derajat makhluk hidup.

Atau mungkin juga itu terjadi ketika keluarga berusaha menutupi keberadaan mereka karena rasa malu. Oleh karena itu, untuk menghilangkan faktor kedua, setidaknya kita bisa membantu mewujudkan faktor yang pertama.

Melihat Lebih Dekat Anak Berkebutuhan Khusus di SurabayaIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Dilema Seorang Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya