Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials 

Politik masih menjadi milik kaum mapan nan populer

Surabaya, IDN Times - Keriuhan peresmian pasangan calon presiden dan wakil presiden sangat terasa dalam seminggu belakangan ini, salah satunya tentu saja di media sosial seperti Twitter serta Facebook. Percakapan (atau barangkali lebih tepat disebut sebagai debat kusir) didominasi oleh ulama mana yang harus diikuti, uang Rp1 triliun milik Sandiaga Uno, atau tentang drama pembatalan pencalonan Mahfud MD sebagai pasangan Joko Widodo (Jokowi). Minim sekali perdebatan mengenai visi, misi dan program.

Bahkan, kini mulai bermunculan narasi tentang golput (golongan putih) karena beragam alasan, misalnya, tak puas dengan dua pasangan yang akan berkontestasi pada 2019. Mereka dianggap terlalu elit, tidak memerhatikan realita masyarakat Indonesia yang beragam, serta tak punya rekam jejak yang cukup baik untuk didukung oleh kalangan pemilih mengambang.

"'Golput emang hak. Tapi ingat, it doesn’t fix anything.' Obviously. And why I should fix mistakes I don't make? Why don't people realize their own mistakes? Memilih yang terbaik di antara pilihan-pilihan buruk adalah kesalahan. Kalian yang melakukan. Perbaikilah sendiri," tulis akun @trendingtopic yang kini sudah mendapat 194 retweets dan 203 likes.

1. Elit dari generasi X dan baby boomers masih menguasai proses politik di Indonesia

Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Sebenarnya publik tidak bisa sepenuhnya disalahkan saat apa yang mereka ributkan bukanlah substansi, melainkan kegaduhan-kegaduhan yang justru mendistraksi dari masalah bangsa sesungguhnya. Ini utamanya karena mereka yang memiliki kekuasaan menutup rapat proses pemilihan kandidat tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat.

"Alotnya proses tersebut hingga detik-detik akhir pendaftaran menunjukkan bahwa penentuan cawapres dilandaskan pada transaksi kepentingan antar elit, bukan pada kesamaan ideologi dan platform partai yang seharusnya bisa kita lihat dari visi, misi dan kebijakan yang diusung," kritik Mahardika dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi.

Elit-elit yang dimaksud tentu saja yang sudah bertahun-tahun mendominasi proses politik di Indonesia. Mereka berasal dari generasi tua yang membuat anak-anak muda mengasosiasikan politik dengan beragam kepentingan sesaat bagi segelintir orang saja. "Nyatanya kita gak bisa melihat sama sekali bagaimana posisi dua poros koalisi ini terhadap berbagai isu, salah satunya terhadap kepentingan kaum muda," tambahnya.

2. Sistem internal di partai politik tak terbuka terhadap proses regenerasi

Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, akan ada 12 juta anak muda yang berusia tepat 17 tahun pada saat pemungutan suara pemilu presiden pada 2019 mendatang. Kemudian, pemilih muda (17 tahun hingga 35 tahun) akan berjumlah lebih banyak dari generasi tua pada tahun depan.

Artinya, secara jumlah, millennials dan generasi Z yang sudah punya hak pilih berjumlah sangat signifikan. Hanya saja, selama ini mayoritas anak muda masih menjadi obyek semata. Partai sebagai kendaraan politik bagi siapapun yang ingin duduk di lembaga legislatif dan, di banyak kasus, eksekutif, seperti menutup akses untuk regenerasi.

"Bukan anak muda yang gak bergerak sebenarnya. Tapi sorry to say mungkin ada gerakan yang ingin mempertahankan status quo.  Saya tidak mau menyebut siapa tokohnya, tapi ada, sehingga tidak memberikan ruang kepada anak muda," tutur wakil bupati termuda yang masih berusia 28 tahun, Muhammad Nur Arifin.

Senada dengan Arifin yang segera menggantikan Emil Dardak sebagai bupati Kabupaten Trenggalek, Mahardika menilai partai politik dipandang tidak menarik bagi anak muda karena sejumlah alasan. Yang paling utama adalah sulitnya untuk menembus struktur kekuasaan tanpa modal yang cukup.

"Sistem rekrutmen partai yang perlu dikritik. Sistemnya gak inklusif buat anak muda. Rekrutmennya gak jelas, jenjang karirnya gak jelas. Partai juga kebanyakan dicitrakan sebagai institusi paling korup, selain DPR. Anak muda semakin malas ke partai politik." Selain itu, kata Mahardika, seseorang harus "punya patron di elitnya untuk menempati posisi-posisi strategis kayak ketua, sekjen dan segala macam".

3. Popularitas seorang kandidat menjadi pertimbangan sebelum memberi dukungan

Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Salah satu contoh yang mengilustrasikan bahwa tanpa modal cukup seseorang sulit menembus rangking partai adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia merupakan putra sulung dari bekas presiden dan kini menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Pencalonannya sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2017 hingga sempat digadang-gadang mendampingi Prabowo pada Pilpres 2019 sulit dibayangkan bisa terjadi tanpa statusnya tersebut. Apalagi AHY tak pernah berkarir di birokrasi maupun politik sebelumnya. Ia terakhir bertugas di militer dengan pangkat mayor.

Kemudian, faktor popularitas tak bisa dipungkiri menjadi pertimbangan penting bagi partai sebelum memutuskan memberikan dukungan. Misalnya, di pemilu legislatif. "Jika dikaitkan ke sistem pemilunya, kalau di pemilu legislatif kan sistemnya suara terbanyak. Dan orang bisa terbuka memillih calonnya," jelas Mahardika.

Ia menambahkan,"Mungkin partai akan menghitung itu. Partai akan mencalonkan orang yang punya elektabiltas dan popularitas tinggi untuk menaikkan suara partainya. Kemudian kalau kita lihat ada parliamentary threshold yang sekarang sudah naik jadi empat persen. Ini bikin partai melihat si calonnya hanya untuk meraup suara saja."

Faktor popularitas ini juga yang tak dibantah oleh Arifin ketika ia dan Emil didukung oleh PDI Perjuangan untuk maju sebagai peserta Pilkada Trenggalek pada 2015 lalu. "Ternyata mereka [partai] punya sisi rasionalitas. Apa yang dilihat adalah hasil survei. Meski incumbent waktu itu posisinya tinggi tapi tren kita dari hari ke hari naik," tegasnya.

"Dan karena satu partai besar itu ikut, terus partai-partai lain ikut mendukung. Akhirnya gak ada yang namanya mahar karena dipersepsikan dua anak muda ini promising. Jadi incumbent hanya berangkat dengan dua partai, sedangkan kita dari tujuh partai."

Baca Juga: Kubu Jokowi-Ma'ruf Siap Libatkan Tim Medsos dari Kalangan Millennials

4. Mengkritik melalui media sosial saja semestinya tidak cukup bagi anak muda

Politik, Panggung yang Tak Ramah bagi Millennials ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Menurut survei Pew Research Center pada 2015 lalu, sebanyak 61 persen millennial mendapatkan berita dari media sosial seperti Facebook. Dari media sosial pula diskusi maupun perdebatan terjadi sebagai kelanjutan dari konsumsi berita tersebut. Ini yang juga terjadi di Indonesia.

Tak sedikit generasi muda yang kemudian meluapkan pikiran mereka dengan memberikan komentar, kritikan atau dukungan di media sosial. Tsamara Amany, caleg DPR RI berusia 22 tahun dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menilai "media sosial itu penting" sebab "itu adalah wadah bagi anak muda untuk berekspresi dan mencari tahu soal politik serta demokrasi".

Namun, aktif di media sosial saja tidak cukup. Gagasan itu perlu diterjemahkan ke dalam aksi, apalagi jika anak muda sudah menganggap politik dan para pelakunya tidak membawa kebaikan. Dengan semakin besarnya jumlah pemuda yang berhak memilih maupun menjadi peserta pemilu, seharusnya anak muda menyadari potensi mereka.

"Kalau kita lihat pemilihan eksekutif syarat usianya paling rendah di posisi bupati. Yang jadi bupati atau wali kota kan minimal berumur 25 tahun. Jadi itu mungkin bisa membuka [kesempatan] untuk anak muda masuk ke politik," tutur Mahardika.

"Generasi muda ini jadi penentu. Gak boleh abstain. Kritik ketika perlu. Dan jangan jadikan waktu ini untuk menarik diri, tapi justru sebagai ajang mengawasi pemilu," tegas Tsamara. Hanya saja, menurut Tsamara, "anak muda masuk ke politik itu wajib tahu apa yang harus diperjuangkan" sehingga tidak sekadar mengikuti arus.

Sekarang pertanyaannya, apakah elit-elit yang menguasai partai politik dengan kekuatan finansial mereka bersedia merelakan egoisme untuk memberikan ruang kepada anak muda agar bisa berkiprah lebih aktif dan secara gradual menggantikan generasi mereka?

Baca Juga: Jokowi: Masa Depan Ekonomi Indonesia di Tangan Millennials

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya