Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di Papua

Aprila, sebagai putri daerah asli Papua, mengkritik kebijakan transmigrasi dalam novel terbarunya yang berjudul "Sentuh Papua".

Surabaya, IDN Times - Tak cukup banyak orang yang kita tahu mewakili suara Papua, termasuk dari bidang literatur. Namun, nama Aprila Wayar muncul dan mengizinkan pencinta novel, terutama yang berada di luar Papua, untuk mengintip situasi di sana.

Aprila menjadi sosok novelis yang menarik untuk menceritakan provinsi paling timur Indonesia itu. Ia lahir di Jayapura pada 1980, tapi menghabiskan 20 tahun hidupnya di Jawa, sebelum akhirnya kembali ke tanah asal untuk menjalani profesi sebagai jurnalis selama tujuh tahun.

Dalam kalimatnya sendiri, Aprila mengaku "bisa melihat Papua dengan lebih jelas" sebab ia tak hanya pertama kali membuka mata di Bumi Cendrawasih, tapi juga mengenyam pendidikan di luar pulau. Ini membuatnya tahu bagaimana orang luar menilai tempat kelahirannya.

Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di PapuaIDN Times/Sukma Shakti

Novel terbaru Aprila, "Sentuh Papua" mengkritik transmigrasi gelombang ketiga pasca Otonomi Khusus (Otsus) pada 2002. Transmigrasi itu menurutnya semakin memperuncing tensi sosial di Papua. Karyanya membuat media Selandia Baru, Radio New Zealand, merilis artikel tentangnya.

IDN Times sendiri berkesempatan untuk berbincang dengan Aprila mengenai kondisi sosial dan politik di Papua, termasuk tentang pelanggaran HAM yang ia nilai belum mampu diselesaikan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Berikut petikan wawancaranya:

Baca juga: Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui Novel

Pengalaman seperti apa yang Anda alami sehingga mendorong penulisan novel "Sentuh Papua?"

Saya lahir di Jayapura, sampai SD kelas 3 di Wamena. Lalu pindah ke Tasikmalaya hingga SMA. Saya kuliah di Yogyakarta. Saya baru menyentuh Papua lagi setelah lulus kuliah pada 2008. 

Saya lebih suka menyoroti transmigrasi gelombang ketiga. Para transmigran setelah Otsus adalah mereka yang datang karena memang kepentingan uang. Apalagi setelah mereka mendengar ada saudara-saudara mereka yang berhasil di Papua, mereka pun melihat Papua sebagai tanah yang menjanjikan—tempat yang menjanjikan pekerjaan. 

Contoh konflik itu ketika saya masih di Papua, tahun berapa ya, saya masih aktif di jurnalistik itu, itu ada konflik di Keerom. Itu sekitar satu jam perjalanan dari Jayapura. Itu konflik sektarian yang kemudian kalau kita.. kalau kita bisa lebih jujur dengan..sebagai jurnalis jujur kita harus tahu bahwa konflik-konflik itu kemudian sangat bernuansa agama, bernuansa SARA.

Karena orang asli Papua mayoritas Kristen sedangkan pendatang dari Indonesia barat adalah orang-orang Muslim sehingga ini seakan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat. Itu yang saya lihat di Jayapura dan itu juga sama di beberapa kabupaten-kabupaten baru yang kemudian arus transmigran sangat luar biasa.

Secara umum, sumber daya manusia di Papua belum berkembang, tapi tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang berijazah sehingga muncul gesekan yang semakin buruk?

Setelah lulus, kemudian kerja sebagai jurnalis membuat saya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran transmigran yang ketiga ini pasca Otsus yang datang ke Papua memang karena iming-iming dapat pekerjaan yang lebih baik. Ini diperparah dengan pemekaran-pemekaran yang dilakukan oleh provinsi Papua, kepentingan-kepentingan politik lah.

Mereka berdatangan dan artinya Papua secara SDM tidak siap kemudian akhirnya orang-orang yang diterima berijazah. Sementara SDM [Papua] tidak dimajukan. Sehingga kemudian dalam kehidupan sehari-hari tentu akan muncul konflik—konflik sosial.

Apalagi ketika pembukaan-pembukaan lahan untuk mereka tinggal itu di dalam program REPELITA itu sebenarnya ada dampak, ada konflik yang cukup, tapi tidak besar, tidak meluas seperti yang saat ini pasca Otsus

Karena waktu itu tanah adat ketika diambil pasti kan orang adat akan merasa terganggu, tersinggung. Tapi kemudian mereka tidak cukup punya kekuatan untuk bersuara untuk tanah adat yang diambil alih oleh pemerintah secara sewenang-wenang seperti itu. 

Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di PapuaIDN Times/Sukma Shakti

Skala konfliknya semakin besar setelah transmigrasi gelombang ketiga?

Kehidupan-kehidupan toleransi beragama dulu sebelumnya kan sangat baik. Misalnya, saat Natal, teman-teman Muslim bantu kita hias gereja dan dekorasi gereja. Tapi setelah transmigrasi pasca Otsus, saya melihat kelompok-kelompok radikal masuk ke Papua. Ada juga indikasi pembuatan isu sama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso. Tapi kemudian tidak berhasil di Papua.

Kan mereka pintu masuknya lewat Fakfak. Mereka tiga agama hidup bersama-sama, rukun, di situ. Ketika upaya-upaya itu dimasukkan lewat Fakfak dalam pengamatan saya, kemudian itu tidak berhasil karena kehidupan beragama mereka sangat baik sehingga konflik-konflik sektarian masuk di Papua memang gak bisa, tatanan kehidupan [di sana] toleran.

Pemerintah ikut bertanggung jawab besar dalam timbul dan berkembangnya konflik di Papua?

Ya. Bertanggung jawab penuh. Kalau kita mau jujur, Indonesia yang sebenarnya itu ada di Papua. Semua suku ada. Nilai-nilai Pancasila dijalankan. Di sini [Jawa] bilang Pancasila tapi demokrasi [tidak dijalankan], gereja tidak bisa dibangun. Di Papua, masjid bisa dibangun di mana-mana.

Menurut saya kalau boleh jujur, kami berbahasa Indonesia setiap hari. Di sini ketika berhadapan dengan pedagang, orang harus bicara pakai bahasa Jawa. Saya punya hambatan-hambatan dalam berkomunikasi. Tapi di Papua semua orang berbicara dengan bahasa Indonesia. Coba kalau melakukan riset, pasca 2001 itu konfliknya lebih berat. Konflik-konflik sektarian.

Kalau kita bicara mengerucut ke transmigrasi, pembangunan yang Jawa-sentris sudah rahasia umum, bukan cuma Papua. Kita bisa jujur seluruh wilayah Indonesia, di luar Jawa, juga merasakan apa yang kami rasakan, tapi memang Papua yang paling kasihan karena sangat jauh dari segi transportasi dan sangat mahal. 

Mungkin karena saya menghabiskan setengah hidup saya di Jawa, di luar Papua, saya bisa melihat persoalan Papua lebih clear. Konflik sektarian juga tak hanya muncul di Jayapura, tapi juga hampir di berbagai kota. Belum lagi ditambah isu-isu politik jelang Pilkada.

Ini korban banyak, apalagi calonnya menggunakan isu-isu SARA. Apalagi dengan jumlah orang asli Papua yang semakin sedikit. Orang Papua yang semakin termarjinalkan ini membuat gesekan-gesekan yang berdampak kepada kebijakan-kebijakan politik.

Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di PapuaANTARA FOTO/Yulis Satria Wijaya

Kami sempat tanya ke Dubes Tantowi Yahya yang di Selandia Baru soal ini. Dia katakan,"Ah, gak. Sebenarnya itu sudah gak ada. Gak ada persoalan transmigrasi kemudian Islamisasi yang menyebabkan konflik. Hanya dimunculkan lagi ketika ada sebuah buku yang dirilis". Apa tanggapan Anda?

[Pernyataan Tantowi Yahya: "Tidak ada isu baru yang diangkat. Semuanya isu lama termasuk transmigrasi yang sering dikonotasikan sebagai Jawanisasi dan Islamisasi. Semua ini sudah sering kali kita respons dan klarifikasi karena apa yang diungkap tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Isu ini muncul kembali karena dibukukan."]

Kalau Tantowi Yahya, pertanyaan saya dia pernah ke Papua gak? Ini yang dimaksud ketika berbicara “Orang yang mengambil kebijakan di Jakarta itu, kemudian Jakarta-sentris.” Saya mengikuti Tantowi Yahya, pernyataan-pernyataannya di media yang kemudian menurut saya blunder.

Coba tanya kepada Tantowi, pernah gak dia tinggal di Tolikara yang listriknya mati saat tengah malam? Listrik di Tolikara hanya menyala pada pukul 18.00 sampai jam 00.00 malam. Jadi, laptop pasti sulit menyala.

Dia banyak bicara tentang Papua tapi sebenarnya ini justru persoalan inti dari Papua. Mereka hanya mendengar, tapi tidak mendengarkan. Ini persoalan yang kemudian membuat orang Papua terus meraung-raung.

[Belakangan, Tantowi mengakui bahwa ia beberapa kali ke Papua dan memang belum pernah ke Tolikara. Menurut dia, keadaan Papua dulu sebagaimana yang digambarkan tidak bisa dibandingkan dengan sekarang.]

Artinya begini, ketika saya tulis novel, saya tulis tentang Papua. Orang Jakarta bilang,”Ah! Itu kan hanya segelintir orang!” Saya bilang kalau memang hanya segelintir orang, buka akses jurnalis asing masuk. Silakan masuk. Dan apakah yang dibicarakan orang Papua itu salah?

Yang paling penting kan hak kami sebagai warga saja itu tidak dipenuhi. Hak-hak berbicara. Hak mengeluarkan pendapat. Ketika orang mengeluarkan pendapat, itu ditangkap. Diproses secara hukum. Dan hukum-hukum seperti..Gus Dur sempat mengeluarkan undang-undang tentang mengembalikan nama Papua yang sebelumnya Irian Jaya, itu kan kontroversi di Jakarta.

Sebelumnya ketika menyebut kami Papua itu ditangkap. Novel ini saya tulis karena riset. Ini kalau sebenarnya dilihat dengan mata jernih, masalah ini bukan hanya sekadar kritikan untuk pemerintah Indonesia, tapi juga untuk Papua.

Misalnya, mereka melakukan perjuangan-perjuangan dengan cara-cara yang dalam buku saya, saya bilang corrupt. Dan mereka menggunakan semangat rakyat untuk nama besar mereka. Untuk membuat mereka menjadi besar. Ada yang benar-benar berjuang. Tapi ada juga yang hanya memanfaatkan isu-isu itu untuk kepentingan sendiri. Itu yang kemudian saya lebih kritisi.

Berjuang ini maksudnya apa? Menuntut persamaan hak, kesejahteraan, perhatian yang sama seperti, misalnya, di Pulau Jawa, atau berjuang untuk memerdekakan diri?

Saya memang lebih kepada perjuangan yang memerdekakan diri sendiri karena memang novel saya based on true story dan saya tulis tentang sejarah perjuangan. Sejak kecil saya dengar nama-nama ini [aktivis kemerdekaan Papua]. Setelah besar, saya melakukan riset.

Saya mengalami hambatan-hambatan dalam penulisan. Misalnya, saya perempuan dan sejarah Papua itu sejarah laki-laki, jadi patriarki yang sangat kuat. Sehingga jawaban-jawaban para tetua ini pada saya selalu bilang pada saya "Tidak tahu," "Saya tidak berada di sana," atau "Saya tidak mengerti".

Saya yakin sebenarnya mereka tahu, tapi mereka sedang menutupi sejarah yang sebenarnya. Saya kemudian cari buku yang ditulis oleh orang luar [negeri]. Jadi, tujuan saya menulis novel ini adalah meletakan sejarah Papua pada tempatnya. Agar generasi muda Papua, ketika mereka bicara..sejarah itu kan jati diri. Apa yang dilakukan Soekarno di masa lalu juga tidak bisa kita lupakan hanya karena kampanye anti-Komunisme, misalnya. 

Jadi, boleh dikatakan ke arah self-determination (menentukan nasib sendiri)?

Mungkin seperti itu. Tapi saya lebih senang menyebutkannya sejarah karena saya menulisnya lebih kepada sejarah.

Apakah dalam pandangan Anda masyarakat dan budaya Papua tidak kompatibel dengan Indonesia, oleh karena itu suka tidak suka, mau tidak mau, harus melakukan self-determination?

Kalau pertanyaannya seperti ini, memang secara ras kita bukan Melayu. Artinya, orang Papua tidak ada dalam sejarah perjuangan Indonesia untuk merdeka. Itu kita harus jujur. Orang Indonesia harus jujur bahwa orang Papua tidak ada dalam sejarah perjuangan Indonesia merdeka.

Contoh paling kongkret, ketika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Tidak ada orang Papua di sana. Tidak ada perwakilan Papua. Kemudian itu kan ketika penentuan batas wilayah yang baru itu ada klaim dari Soekarno bahwa Papua adalah bagian dari jajahan Hindia-Belanda.

Padahal, Papua bukan jajahan Hindia-Belanda. Papua itu ada langsung di bawah Kerajaan Belanda. Itu berbeda. Berada di bawah kerajaan, berada di bawah kendali ratu saat itu. Sehingga secara administrasi kita berbeda. Lalu, misalnya sejarah Majapahit. Papua juga tidak jadi bagian dalam sejarah itu.

Kalau ada yang bilang Papua pernah dikunjungi Sultan Tidore, ya itu benar adanya. Sejarah untuk mengoneksikan Papua dengan Tidore, Papua dengan Maluku, ya ada. Tapi dengan Indonesia secara luas sampai di Jawa, tidak ada sejarah itu.

Belum ada buku yang saya baca tentang sejarah orang Papua berjuang untuk Indonesia. Itu pun kalau ada hari ini yang hadir dan mengaku-ngaku bahwa, misalnya, Barisan Merah Putih Papua berkata "Saya dulu hadir", tidak ada catatan itu. Tidak ada dalam sejarah. Hanya klaim.

Novelis Aprila Wayar Bicara Soal Transmigrasi dan Konflik di PapuaANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Kalau melihat pendekatan Jokowi ke Papua dengan pembangunan jalan atau memperbaiki perbatasan, seperti apa penilaian Kak Aprila?

Itu pertanyaan yang juga saya harus jujur jawab bahwa saya mengapresiasi Jokowi, apa yang dia buat untuk Papua. Kunjungan-kunjungannya ke Papua harus diakui bahwa presiden-presiden sebelumnya tidak melakukan banyak seperti yang dia lakukan.

Tapi kalau memang dia ke sana, kemudian tidak ada perubahan yang signifkan, artinya pelanggaran-pelanggaran HAM tidak juga diselesaikan, bagi saya itu bullshit. Saya salah satu wartawan yang kejar dia waktu dia di Jayapura. Dia hadir di Jayapura untuk menghadiri perayaan Natal kalau tidak salah.

Dari bandara sampai saya ikuti terakhir di gor yang di Kota Raja. Itu baru beberapa hari setelah penembakan 8 Desember 2014. Tidak ada pernyataan apapun darinya dan itu sangat mengecewakan. Padahal itu berita nasional. Baru pada malam Natal dia menyinggung.

Itu pun tidak menjawab rasa ingin tahu kami sebagai orang Papua, apalagi keluarga korban. Investigasi tersendat di kanan-kiri. Belum pernah ada laporan tertulis yang saya baca sampai hari ini tentang kasus itu. Dan itu jalan-jalan dibangun untuk siapa? Untuk memudahkan truk-truk militer masuk ke tanah Papua dan membunuh rakyat atau apa?

Kalau saya sendiri pada awal [menjabatnya] Presiden Jokowi saya berharap banyak dia akan melakukan banyak pada saat kampanye-kampanye. Saya berharap dia akan melakukan banyak perubahan di Papua. Tapi ternyata setelah dia menjadi presiden, tidak ada satu kasus pun dari ratusan kasus pelanggaran HAM di Papua itu yang diselesaikan. Artinya dia sama saja dengan presiden-presiden sebelumnya. 

Baca juga: Catatan dari Selandia Baru: Ini yang Dibicarakan Presiden dengan Mahasiswa Papua

Topik:

Berita Terkini Lainnya