unsplash.com/Priscilla Du Preez Hubungan intim kedua pelajar di bawah umur itu terjadi bukan hanya sekali. Bahkan, menurut pihak tetangga, keluarga seharusnya sudah khawatir dengan perilaku keduanya yang kerap berduaan di dalam rumah yang sepi. Ini menandakan bahwa tak menutup kemungkinan pengawasan orangtua sangat lemah.
"Bagaimana bisa sih kedua anak ini sering berduaan di rumah sang lelaki, lalu orangtua tidak curiga, tidak mempertanyakan, atau mengkritisi?" ujar Anna. Belum lagi jika melihat fakta bahwa si anak laki-laki berusia 13 tahun, tapi masih berada di sekolah dasar karena dua kali tinggal kelas.
3. Terjadi kekerasan terhadap anak berupa pengabaian
unsplash.com/Sammie Vasquez Anna berpendapat fakta bahwa si remaja laki-laki sudah dua kali tidak naik kelas, dan ternyata sudah melakukan tindakan semacam ini (menghamili pacarnya), mengindikasikan bahwa orangtua si remaja laki-laki telah melakukan pengabaian. "Ini jadi indikator sang anak menjadi korban kekerasan dalam keluarga, kemungkinan berupa tindak pengabaian," kata psikolog dari Universitas Indonesia tersebut.
Padahal, menurut Anna, pola asuh orangtua terhadap anak sangat krusial dalam tumbuh kembang mereka, baik secara psikologis maupun akademis. Pola asuh bukan hanya untuk remaja laki-laki, tapi juga perempuan.
"Kita bicara pola asuh sebagai kombinasi antara kehangatan hubungan, ketegasan aturan, dan pengawasan kepada anak," tuturnya.
4. Pernikahan bukan jawaban
unsplash.com/Andre Hunter Terlihat bahwa orangtua kedua anak tidak memandang masalah ini sebagai sesuatu yang serius. Hal tersebut tampak dari solusi yang ditempuh yakni dengan menikahkan mereka. Beruntung Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tidak menyetujui pendaftaran pernikahan itu, karena usia keduanya yang belum sah menurut hukum.
Anna pun melihat bahwa pernikahan bukan jawaban. "Sebaiknya jangan menikah. Agak riskan punya suami yang kurang bertanggung jawab. Indikatornya adalah tidak berhasil menuntaskan tanggung jawab pendidikannya, bahkan di level dasar," tuturnya.
"Apalagi kalau (calon) mertuanya ada indikasi meremehkan menantunya," tegas Anna, merujuk kepada komentar si ayah yang menyebut kehamilan itu hasil dari uji kejantanan anak laki-lakinya. Di mata seorang psikolog, sikapnya yang merendahkan itu menunjukkan bahwa ia melihat perempuan hanya sebagai obyek.
Kalimat itu, kata Anna, juga memperlihatkan si ayah tidak memiliki pemahaman yang tepat tentang perbedaan gender, ia merendahkan perempuan. "Saya mempertanyakan relasi macam apa yang diajarkan kepada anak lelakinya dengan sikapnya yang seperti itu."
5. Keduanya wajib meneruskan pendidikan
unsplash.com/Henrique Ferreira Tindak lanjut yang wajib dilakukan, menurut Anna, adalah tidak membuat keduanya berhenti mengejar pendidikan. "Perlu diusahakan anak tetap sekolah, jangan sampai putus sekolah. Kalau perlu, lakukan homeschooling, dan cari tahu dengan benar bagaimana caranya. Pastikan tidak putus sekolah."
Anna menyarankan sekolah bisa menawarkan untuk tetap memberikan pendidikan kepada anak dengan beragam cara. Sekolah juga bisa mengusahakan agar anak-anak lain di sekolah mendapat pendidikan seksualitas yg benar.
Adapun hal yang tak boleh ditinggalkan adalah soal penanganan psikologis, karena usia keduanya masih sangat muda. Sedangkan apa yang mereka alami bukan persoalan kecil dan bisa berdampak panjang. Bahkan, jika memungkinkan, orangtua mereka perlu mendapatkan pendekatan psikologis yang baik.
Baca juga: Heboh Siswi SMP Dihamili Siswa SD, Ini Pernyataan KPAI