Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih Golput

Ini mematahkan mitos golput karena tak peduli negara

Jakarta, IDN Times - Di kalangan aktivis dan pejuang hak asasi manusia (HAM), nama dan sosok Sumarsih sudah tidak asing lagi. Selama 12 tahun terakhir, perempuan bernama lengkap Maria Catarina Sumarsih tersebut selalu melakukan aksi diam di depan Istana Negara setiap Kamis. Aksi ini kemudian dikenal luas sebagai Kamisan.

Sumarsih, 66 tahun, melakukannya demi mendiang putranya. Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan) ditembak oleh aparat saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Nyawa mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta itu melayang. Namun, dalang dan pelakunya dibiarkan tidak bertanggung jawab hingga sekarang.

1. Sumarsih kecewa karena merasa tidak mendapatkan keadilan

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih Golput

Walau begitu, Sumarsih tetap bergerak. Rambut putih dan baju serba hitamnya bisa dikatakan menjadi penanda tersendiri, selain tentu suara lantangnya ketika mengatakan bahwa dirinya kecewa kepada dua pasangan calon presiden yang kini sedang bertarung untuk memenangkan kursi orang nomor satu di negeri ini.

"Bagi kami keluarga korban, dua capres-cawapres di bidang HAM sangat buruk," ucapnya di depan Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Maman Imanulhaq dan Direktur Relawan Badan Pemenangan Nasional Ferry Mursyidan Baldan di kantor Amnesty International Indonesia pada Senin (15/4).

"Pak Jokowi mengangkat orang-orang terduga pelaku pelanggaran HAM berat, ditempatkan di jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya. Kemudian, Pak Prabowo, apapun, dia adalah terduga dalang pelaku pelanggaran HAM berat."

2. Menurutnya, dua pasangan kandidat tak memberikannya harapan

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih GolputANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Sumarsih mengaku kepada IDN Times bahwa ia sama sekali tak menaruh harapan kepada kedua pasangan capres-cawapres, khususnya karena tidak ada langkah konkret untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, apalagi yang menyangkut mendiang putranya.

Jokowi tersandera oleh realita politik di mana dirinya harus merangkul, misalnya, Wiranto untuk menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan ke dalam kabinetnya. Ketika Tragedi Semanggi I terjadi, Wiranto adalah seorang Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI.

Sedangkan Prabowo, mantan Jenderal Kopassus, diduga menjadi otak di balik berbagai penculikan mahasiswa dan aktivis yang menentang rezim Orde Baru. "Kalau misalnya sekarang statusnya masih terduga karena hukum di negara diperlakukan tidak dengan sewajarnya. Yang salah tidak dipersalahkan. Yang benar tidak dibenarkan," tegasnya.

Baca Juga: 9 Agenda HAM Amnesty untuk Capres, Salah Satunya Soal LGBT

3. Sebelumnya, Sumarsih sangat mendukung Jokowi. Kini, ia memilih golput

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih GolputANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Menariknya, Sumarsih dengan terbuka mengatakan ia sangat kecewa kepada Jokowi yang pernah membuatnya berkampanye demi kemenangan capres nomor 01 itu. "[Pada] 2014 tidak hanya datang ke TPS, saya justru ikut kampanye Pak Jokowi menang karena visi, misi, dan program aksi Jokowi-JK itu kan selaras dengan apa yang kami perjuangkan di dalam aksi diam di depan Istana itu," kata Sumarsih kepada IDN Times.

"Dan ketika Aksi Kamisan dipakai untuk kampanye di sebuah televisi, kami tidak keberatan karena memang ya kami ingin Pak Jokowi menjadi presiden dan mewujudkan komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," tambahnya. Saat ditanya apakah ia akan mendukung Jokowi lagi, Sumarsih menegaskan,"Gak. Saya mau golput lagi."

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih GolputIDN Times/Muhammad Arief

4. Tim kampanye Jokowi bersikeras bahwa pembangunan infrastruktur adalah bagian dari pemenuhan HAM

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih Golput

Ketika disinggung soal rekam jejak penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, tim kampanye Jokowi selalu menolak menjawab dengan tegas dan kembali memakai pembangunan infrastruktur untuk memvalidasi bahwa Jokowi peduli pada hak asasi manusia.

Ia tidak merespons kegelisahan para keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Sumarsih. Menurut Maman, pembangunan "yang tidak Jawa-sentris", misalnya di Papua, adalah jawaban atas keraguan publik bahwa Jokowi tidak peduli soal masalah tersebut di mana itu disebutkan di dalam Nawa Cita pada 2014 lalu.

"Jokowi menempatkan seluruh penegakan HAM ini pada konteks yang menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM itu sendiri secara keseluruhan," kata Maman. "Sekali lagi suasana yang kondusif dan skema politik yang sudah on the track walaupun sekali lagi di periode pertama ini kami lebih [fokus] kepada infrastruktur."

5. BPN, di sisi lain, justru menyalahkan berbagai pihak yang tak punya "mindset tentang HAM"

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih Golput

Seperti Maman, Ferry juga tak menjawab apa yang ditawarkan Prabowo-Sandiaga Uno untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ia justru mengklaim masih banyak pihak yang tidak menjadikan perspektif HAM sebagai bagian dari kerangka berpikir. Alhasil, menurutnya, isu hak asasi manusia hanya muncul di momen tertentu.

"Mindset tentang HAM ini belum selesai sehingga seluruh isu HAM itu hanya menjadi isu seksi menjelang pemilihan. Jadi orang tidak terikat," ujarnya. "Menurut saya, kalau kita mau berdebat, mari kita mulai dengan mengubah mindset kita tentang HAM."

Di saat bersamaan, mindset Ferry soal hak asasi manusia sebetulnya juga bisa dipertanyakan. Misalnya, ketika ia menggunakan kasus diskriminasi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ia menolak mengakui bahwa ada grup tertentu yang ingin menyingkirkan keberadaan mereka.

Padahal, seperti catatan Komnas HAM, lebih dari 20 pengikut Ahmadiyah di Lombok harus mengungsi pada Mei 2018 karena rumah mereka diserang kelompok tak dikenal. "Mindset kita tentang HAM saya katakan berbahaya," ucapnya. Ia menyebut masalah Ahmadiyah adalah "ruang privat yang dipublikkan" sehingga "menjadi subyektif".

"Saya katakan misalnya Ahmadiyah. Sejak saya SMP, SMA, sudah tahu ada Ahmadiyah. Masjidnya berbeda gak ada masalah, gak ada berantem, gak ada berkelahi," kata Ferry. "Saya gak merasa perlu ada ruang ketika itu masuk ke soal akidah keislaman ukurannya."

6. Sumarsih tak terima ketika disebut masalah HAM adalah isu lima tahunan

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih GolputANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Ucapan Ferry bahwa isu HAM hanya mendapat perhatian ketika pemilihan umum pun ditolak mentah-mentah oleh Sumarsih. "Yang membuat isu lima tahunan masalah HAM ini siapa? Bukan kami keluarga korban, tapi para politisi," kata Sumarsih. "Setiap hari Kamis kami menyuarakan mengenai hak asasi manusia."

Ferry pun membantah komentar itu ditujukan untuk Sumarsih maupun aktivis Aksi Kamisan. Ia berkata itu untuk "menyindir semua kita yang [meneriakkan soal HAM] tapi nanti lupa lagi" ketika Pemilu sudah selesai.

Sumarsih sendiri menolak jika kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan dengan cara non-yudisial. Tapi, Ferry tetap berpendapat bahwa mindset tentang hak asasi harus terlebih dulu diperbaiki.

"Jangan melulu berpikiran bahwa kalau kita hadirkan undang-undang baru, maka permasalahan HAM kita akan selesai. No. Malah kalau perlu kita gugurkan undang-undang, tapi masalah HAM-nya selesai," ujarnya.

7. Sumarsih mendukung aktivis HAM yang golput

Saat Kedua Capres Buruk Soal HAM, Aktivis Aksi Kamisan Pilih Golputtwitter.com/Lini_ZQ

Ketidakpuasan terhadap penegakkan hak asasi manusia di kedua kubu memang membuat banyak orang memilih jadi golput. Salah satunya adalah aktivis LGBT Lini Zurlia. Dalam wawancara dengan IDN Times beberapa waktu lalu, Lini menilai banyak kasus HAM yang tak dituntaskan oleh Jokowi, tapi ia juga tak bisa berharap kepada Prabowo.

"Let’s say soal pelanggaran HAM masa lalu. Itu cuma jadi lip service atau cuma jadi kayak bahan kampanye politik aja di 2014," tegas Lini. "Harapan-harapan yang tadinya berkembang, ternyata berkembangnya gak lama. Kita gak bisa menutup mata bahwa memang oligarki politik itu bersarang, bercokol dan sangat kuat."

Sumarsih yang memutuskan golput menilai posisi seperti Lini itu penting. "Saya kalau mengatakan itu golput cerdas," kata Sumarsih. Ini karena orang-orang seperti Lini memilih golput untuk "mengkritisi jalannya pemerintahan dari hasil Pemilu ke Pemilu".

"Memang negara ini masih memerlukan suara golput yang cerdas. Artinya, suara golput yang benar-benar memikirkan masa depan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan negara yang makmur, adil dan sejahtera."

Baca Juga: Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia Maya

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya