Studi: Indonesia Krisis Media Sosial karena Pemerintah Gemar Memblokir
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Status demokrasi di seluruh dunia mengalami penurunan. Salah satu indikatornya adalah dibatasinya kebebasan berekspresi, khususnya di media sosial yang merupakan bagian dari mediumnya. Menurut Freedom House , serangan terhadap penyampai kritik dan jurnalis di berbagai negara semakin merajalela dalam enam tahun terakhir.
Situasi yang sama terjadi di Indonesia yang mendapatkan skor 51 dari 100. Otoritarianisme digital yang umumnya terjadi di negara-negara seperti Tiongkok dan Iran, mulai merambah ke Indonesia. Organisasi think-tank yang berkantor pusat di Washington DC itu menyebut, pembatasan berekspresi itu bentuknya antara lain pemblokiran situs dan sensor konten oleh pemerintah.
Baca Juga: ASN Aktif di Media Sosial, Ini Pesan Gubernur Sumsel
1. Respons pemerintah usai Pemilu 2019 dan konflik di Papua jadi sorotan
Kerusuhan di depan Gedung Bawaslu pada Mei lalu membuat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memilih merespons dengan membatasi akses ke media sosial seperti Facebook, Instragram, WhatsApp, dan Twitter selama dua hari. Menurut pemerintah, langkah ini diambil untuk membatasi penyebaran hoaks.
Kemudian, pada Agustus 2019, Kominfo kembali membatasi akses internet di Papua selama protes berlangsung. Ini terjadi selama lebih dari dua minggu. Alasan pemerintah sama, agar tidak ada disinformasi yang beredar luas. Ini justru mempersulit tugas jurnalis untuk memverifikasi kabar terkait kondisi di provinsi paling timur Indonesia tersebut.
2. Pemerintah menginstruksikan penghapusan konten soal LGBT atau yang dinilai tidak bermoral
Krisis kebebasan berekspresi juga tampak dari banyaknya situs maupun konten yang diblokir oleh pemerintah karena dianggap "negatif". Sejauh ini, status tersebut disematkan terhadap situs dan konten yang mengandung pornografi, pencemaran nama baik, kekerasan terhadap anak, perjudian, penipuan, hoaks, disinformasi serta terorisme.
Karena tidak spesifik, platform yang dinilai mempromosikan keberadaan komunitas LGBT juga terkena imbas. Misalnya, Netflix yang tetap tidak bisa diakses lewat jaringan internet Telkom Indonesia.
Lalu, pada 2018, Kominfo meminta Google menghapus lebih dari 70 aplikasi karena dipercaya menyebarluaskan konten LGBT. Pemerintah juga menyamakan LGBT dengan pornografi untuk melegitimasi keputusan tersebut.
Editor’s picks
Baca Juga: ICJR: Pembatasan Akses Medsos tanpa Pemberitahuan Tidak Tepat
3. Legalitas pembatasan atau pemblokiran media sosial dipertanyakan
Freedom House juga mengamati bagaimana pemerintah menggunakan undang-undang yang ada untuk membenarkan pembatasan akses internet maupun pemblokiran berbagai situs. Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam pembatasan internet pada Mei lalu, contohnya, Kominfo berargumen itu sah dilakukan karena ada ancaman terhadap keamanan nasional. Begitu juga dengan yang terjadi di Papua. Pemerintah berdalih Pasal 40 UU ITE memberikan wewenang kepada pemerintah untuk "melindungi kepentingan umum".
Penggunaan UU ITE itu tidak hanya dinilai lemah dan tidak transparan oleh Freedom House, tapi juga oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net). Apalagi pemerintah tidak menetapkan kriteria situasi seperti apa yang mengganggu ketertiban umum secara spesifik dan obyektif.
4. Aktivis dan jurnalis dipersekusi karena dianggap melakukan pencemaran nama baik atau memusuhi negara
UU ITE juga dimanfaatkan untuk menyerang orang-orang yang menyuarakan sikap kritis kepada pemerintah. Salah satu contoh yang dipakai Freedom House adalah penangkapan jurnalis Kemajuan Rakyat, Muhammad Yusuf, pada April 2018.
Ia ditahan dengan tuduhan menyampaikan ujaran kebencian setelah memberitakan soal konflik lahan antara petani dan perusahaan minyak sawit, PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM). Dalam penantian untuk mendapat kepastian hukum, Yusuf pun meninggal di balik jeruji besi.
Kemudian, pada Januari 2019, aktivis pro-kemerdekaan Papua, Augustinus Yolemal, dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Ia terbukti bersalah telah "menyebarluaskan sikap permusuhan terhadap ideologi negara". Apa yang membuatnya sampai ke meja hijau adalah sebuah video di Facebook yang memperlihatkan ia dan putranya bernyanyi tentang kemerdekaan Papua.
Freedom House pun mengingatkan bahwa keputusan hari ini dari seluruh pemangku kepentingan berdampak terhadap masa depan privasi, kebebasan berekspresi dan pemerintahan yang demokratis.
Baca Juga: Selain Indonesia, Ini Negara yang Sensor Media Sosial karena Pemilu