Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah Golput

Berangkat dari rasa kecewa terhadap Orde Baru

Jakarta, IDN Times - Menjelang pelaksanaan Pemilu pada 17 April mendatang, sekelompok masyarakat mendeklarasikan diri sebagai golongan putih (Golput). Mereka mengaku keputusan untuk tidak memilih salah satu pasangan calon--baik Joko 'Jokowi' Widodo dan Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno--dilatarbelakangi rasa kecewa.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi golput sebagai ekspresi protes karena tak ada pasangan kandidat yang bebas korupsi, tak merampas ruang hidup rakyat, dan tak tersangkut kasus HAM maupun diskriminasi terhadap minoritas.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Golput Bukan Pelanggar Hukum

1. Golput di Indonesia sudah ada sejak awal Orde Baru berkuasa

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Sebenarnya, golput bukan hal baru. Dalam buku Indonesian Politics and Society: A Reader dijelaskan, golput sudah ada menjelang pemilu 1971. Salah satu inisiatornya adalah Arief Budiman (Soe Hok Djin) yang merupakan kakak dari Soe Hok Gie, mendiang aktivis mahasiswa Universitas Indonesia.

Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia sedang dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Berbagai figur dan kelompok berupaya mencari bentuk pemerintahan yang tepat. Sebagian menolak sistem otoriter yang sempat diadopsi Sukarno ketika memimpin Indonesia.

2. Golkar dan Soeharto jadi tokoh antagonis yang memunculkan bibit kekecewaan masyarakat

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/FB Anggoro

Setelah Orde Lama tumbang, kalangan intelektual yang ingin memodernisasi Indonesia berharap ada partai progresif. Artinya, tak ada lagi semangat primordialisme dan ideologi radikal seperti komunisme. Partai-partai yang dianggap Soeharto mengeksploitasi nilai agama dan budaya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) pun jadi target.

Sebagai alternatif, dibentuklah Partai Golongan Karya (Golkar) saat seminar Angkatan Darat pada 1964. Partai yang didirikan agar militer bisa mengawal pemerintahan Soeharto itu, kemudian justru melenceng dari harapan untuk terbebas dari kepemimpinan diktator yang sempat ditunjukkan pendahulunya.

3. Sebagai bentuk protes, sejumlah kalangan menyatakan tak memilih saat pemilu

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Militer dikerahkan untuk memaksa masyarakat agar mencoblos saat pemilu. Secara khusus, mereka menjadi alat pemerintah untuk memastikan agar Golkar menang. Benar saja, pada pemilu pertama kali yang diikuti Golkar, partai tersebut meraih kemenangan. Menurut Arief dan banyak aktivis mahasiswa kala itu, pemerintah tidak menggunakan cara demokratis untuk memobilisasi masyarakat.

Menurut Manifesto Golput--dijelaskan dalam buku Analisa Pandangan Fenomena Politik Golput karangan Arbi Sanit yang terbit pada 1992--Golput bukanlah sebuah organisasi, melainkan suatu identitas sah.

Kurang lebih begini definisi golput yang dimaksud: "Sebuah identitas bagi mereka yang tak puas dengan situasi saat ini sebab aturan demokrasi sudah diinjak-injak, tak hanya oleh partai-partai politik (contohnya saat mereka menginisiasi regulasi pemilihan umum), tapi juga Golongan Karya [Golkar], yang bertujuan memenangkan pemilu ini menggunakan lembaga-lembaga pemerintah serta metode-metode tidak demokratis".

4. Golput bukan sebuah tindakan melawan hukum

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Reno Esnir

Bagi Arief dan rekan-rekannya yang tak memilih saat pemilu, menjadi golput tidak melanggar hukum. Sebaliknya, seperti ditulis dalam Manifesto Golput, "tujuan dari gerakan tersebut adalah untuk menguatkan kepatuhan terhadap hukum." Mereka menegaskan bahwa golput melakukan "protesnya dalam batasan-batasan hukum yang ada".

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana yang turut menjadi satu dari beberapa masyarakat golput mengatakan hal serupa. "Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum, dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput," ujar dia.

5. Golput bertujuan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Arief juga menegaskan golput bukan berarti apatis terhadap politik. Golput yang benar justru "ingin menciptkan atmosfer politik yang lebih sehat, contohnya, dengan membuat aturan-aturan dasar yang lebih baik dan menyediakan wasit yang adil". Ini yang tidak dilihat para golput menjelang Pemilu 1971.

Golput juga bermaksud untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Dalam Manifesto Golput dituliskan gerakan ini "tak bertujuan untuk membuat orang mengikuti arus politik tertentu, tapi mendorong mereka berpikir secara kritis dan kreatif dalam mengonfrontasi lingkungan mereka".

6. Dalam demokrasi, keputusan tidak memilih dalam pemilu harus dilindungi

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Cara agar masyarakat kritis adalah dengan membiarkan mereka memutuskan sendiri, apakah ada calon-calon pejabat publik yang pantas dipilih. Jika tidak, maka memilih tidak memilih harus dihormati.

"Tujuan golput adalah untuk menjaga tradisi demokrasi, yaitu melindungi, di segala situasi, opini-opini yang berbeda dari para penguasa," begitu bunyi salah satu isi Manifesto Golput. "Masyarakat Indonesia wajib menjaga tradisi ini. Masyarakat tak boleh terbiasa dengan sebuah situasi, di mana pemerintah bebas melakukan apapun yang mereka suka." 

7. Golput yang benar dilakukan tanpa kekerasan

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputANTARA FOTO/Anis Efizudin

Meski begitu, sebagai tokoh utama golput, Arief sempat mengingatkan golput harus dilaksanakan tanpa kekerasan. Dalam dialognya dengan Soeharto, Arief bertanya apakah jika dia "tak setuju dengan pemilu sekarang dan mengekspresikan rasa tak setujunya, dan tidak mencoblos" kemudian ia akan dipenjara?

Soeharto menjawab bahwa itu adalah hak Arief. "Hal yang penting adalah aku tidak memakai cara-cara di luar hukum, atau menyabotase atau mengganggu orang lain yang ingin mencoblos. Selama perilaku oposisiku tetap dalam batas hukum, ini adalah hak dasarku," ujar Arief.

Sudah Ada Sejak 1970-an, Begini Sejarah GolputIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Politikus PSI: Caleg Tak Turun ke Masyarakat Ciptakan Golput

Topik:

  • Rochmanudin
  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya