Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam Diri

Tak mudah bagi mereka untuk membuka ingatan soal tragedi 98

Surabaya, IDN Times -  Suasana di salah satu ruangan Omah Gede, Tambak Bayan, itu tampak meriah dengan dekorasi khas budaya Tionghoa. Pada pintunya terlihat ornamen-ornamen bertuliskan huruf Mandarin. Di atapnya tergantung beberapa lampion merah yang cantik.

Panitia mondar-mondar karena sibuk bersiap. Para tamu, termasuk aku, celingak-celinguk untuk mencari tempat duduk yang kosong. Sembari diiringi musik tradisional Mandarin, pembawa acara mempersilakan kami untuk tenang sebab acara segera dimulai.

1. Refleksi Tragedi Mei 1998 di bulan Juni 2018

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Hari itu adalah Minggu sore (3/6). Udara dalam ruangan sedikit lembab dan panas. Namun, semangat untuk mendengarkan diskusi Layar Tambak Bayan tidak surut. Para tamu memenuhi lokasi hingga ke bagian depan.

Agendanya adalah refleksi Tragedi Mei 1998. Namanya juga refleksi, tentu dilakukan setelah peristiwa terjadi. Maka, tak heran bila secara simbolik acara ini diselenggarakan pada awal Juni. Ingatan mayoritas yang hadir pun masih sangat kuat tentang sejarah kelam bangsa tersebut.

2. Membuka luka yang sudah lama ditutup rapat

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

"Bangsa ini tidak biasa mendiskusikan aib," kata Aan Anshori selaku moderator saat membuka acara. Sulit untuk tidak setuju dengan Koordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur tersebut. "Luka itu kalau terlalu lama dibungkus bisa jadi borok," lanjutnya.

Luka yang dibuka sore itu secara khusus menjadi milik warga keturunan Tionghoa. Mereka menjadi salah satu kambing hitam serta korban dalam Tragedi Mei 98. Bukan hanya dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka juga jadi target penjarahan serta perkosaan.

"Tim Relawan Kemanusiaan paling banyak mencatatkan korban. Dari data yang ada, terjadi 52 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, paling banyak terhadap warga Tionghoa. Etnis ini yang paling ditargetkan," kata Andy Yatriany dari Komnas Perempuan.

3. Mengungkap perkosaan bukan hal yang mudah

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Luka yang paling sering disinggung adalah tentang kekerasan seksual terhadap perempuan keturunan Tionghoa. Akan tetapi, aku mendapatkan kesan bahwa persoalan ini terlampau sensitif untuk didiskusikan secara terbuka di depan publik.

Selain Andy, hanya sesekali saja pembicara atau tamu lain menyinggung tentang ini. "Sebenarnya ingin dibuka kasus itu, siapa saja korbannya, tapi ditahan oleh kelompok Tionghoa karena takut dipakai sebagai serangan balik," ujar Khanis Suvianita, aktivis perempuan Tionghoa yang pada 1998 ikut membantu merespons laporan perkosaan.

Saking sensitifnya sampai Tiwi, dosen Ilmu Psikologi Universitas Surabaya yang juga aktivis perempuan Mei 1998, menolak untuk membicarakannya. "Saya keberatan untuk membahas topik tentang jumlah korban maupun identitas mereka," tulisnya dalam sebuah pesan WhatsApp.

4. Ada pengakuan bahwa politik ketakutan dipakai sebagai senjata

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Keengganan untuk membicarakan tentang kekerasan seksual ketika adalah hal yang bisa dimaklumi. Aku sempat bertemu dengan salah seorang aktivis perempuan yang ikut turun ke lapangan saat itu. Ia meminta tak disebutkan identitasnya sebab intimidasi dari aparat sangat kuat.

Menurutnya, kekerasan seksual di Surabaya waktu itu terpusat di Surabaya bagian utara. Ia bahkan menyebut ada setidaknya tiga perempuan yang menjadi korban perkosaan di kawasan Sidotopo. "Rumah-rumah mereka langsung dikosongkan," ujarnya.

"Ketika ada keluarga yang anaknya diperkosa, keluarga merasa tercemar," tegas Poedjiati Tan, salah satu pendiri Konde.co dan Arek Feminis. Ia menilai ini yang dijadikan alat untuk menakut-nakuti keturunan Tionghoa, terutama para perempuan.

"Dampaknya dari Mei 98 adalah yang saya lihat ketika ada kerusuhan selalu ada himbauan untuk tidak keluar, terutama kepada perempuan Tionghoa. Rasa takut selalu ditanamkan dan diturunkan."

5. Prasangka itu berbasis primordialisme

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Rasa takut yang menghinggapi warga keturunan Tionghoa di Indonesia bukan tanpa alasan. Selain luka di masa lalu, saat ini Tiwi melihat ada metode lain yang juga digunakan untuk mendiskriminasi etnis Tionghoa.

Misalnya, penguatan politik aliran di mana seakan-akan hanya ada kelompok agama dan suku tertentu yang terbukti nasionalis. Warga keturunan Tionghoa dianggap tidak masuk di dalamnya tanpa alasan yang mendasar.

"Kemudian terbangunnya sentimen berdasarkan kelas dan penyempitan pandangan warga keturunan Tionghoa sebagai kelompok kapitalis," tambahnya. Prasangka seperti ini secara terus-menerus mendikte hubungan antara kelompok keturunan dengan masyarakat lainnya.

Pernyataan Tiwi senada dengan survei oleh Yusof Ishak Institute Singapura yang dilakukan usai Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Dari 1.620 responden yang merupakan non-Tionghoa, 59,8 persen mengatakan keturunan Tionghoa lebih kaya dibanding orang Indonesia lainnya.

48,7 persen menilai keturunan Tionghoa juga punya kesempatan lebih besar. Oleh karena itu, 48 persen percaya kehidupan mereka lebih mudah. Secara mengejutkan persepsi ini dipengaruhi oleh primordialisme di mana 68,1 persen yakin keturunan Tionghoa punya bakat alami untuk sukses.

6. Mereka ditekan untuk menunjukkan nasionalisme secara lebih

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Primordialisme itu tidak hanya menyakiti masyarakat yang berprasangka. Warga keturunan Tionghoa sendiri mengaku berada dalam posisi sulit untuk membongkar prasangka itu. "Kalau kita selalu diintimidasi, bagaimana kita mau aktif seperti anggota masyarakat yang lain?" kata salah satu pemuda Tionghoa yang saya jumpai dalam diskusi.

Seorang mahasiswi dari Universitas Kristen Petra mengatakan teman-temannya yang keturunan Tionghoa lebih banyak aktif di organisasi kampus dan gereja karena kerap jadi target rasisme dari orang luar. "Bukannya mereka mau sok eksklusif," tegasnya.

Khanis sendiri mengungkapkan rasa frustrasinya sebagai perempuan keturunan Tionghoa. Dengan nada yang cukup tinggi, perempuan yang mengenakan gaun batik sepanjang lutut itu berkata,"Kenapa hanya orang Tionghoa yang harus berkata,'Saya orang Tionghoa, saya juga orang Indonesia'?"

"Memangnya kalau saya bilang,'Saya orang Tionghoa', terus berarti saya bukan orang Indonesia? Orang Tionghoa seolah-olah harus selalu menunjukkan ke-Indonesiaan. Tidak bisa dilupakan ada darah Tionghoa dalam perjuangan Indonesia. Kita anak kandung Indonesia, bukan anak tiri."

Survei Yusof Ishak Institute Singapura menunjukkan 47,6 persen responden yakin keturunan Tionghoa masih loyal kepada Tiongkok. Ini dibantah oleh Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Dewi Susilo Budiharjo.

"Masalah [etnis] kelahiran saya tak bisa memilih. Tapi di darah saya, saya sangat Indonesia. Dari awal, [warga keturunan] Tionghoa ikut meletakkan fondasi bangsa. Yang jelas kami Indonesia sejak lahir," tegasnya.

7. Mereka sepakat sekarang waktunya berhenti berdiam diri

Warga Keturunan Tionghoa: Berhenti Berdiam DiriIDN Times/Rosa Folia

Ketika matahari mengirimkan pertanda akan segera tenggelam, ada semangat di antara para pembicara dan peserta diskusi bahwa sesuatu harus dilakukan. Tragedi Mei 1998 masih membekas. Mereka sepakat bahwa aib itu tidak boleh menimpa bangsa Indonesia lagi.

"Salah satu kesalahan orang Tionghoa itu diam. Kalau gak suka, ya sudah pergi saja daripada ribut," ucap Profesor Esther Kuntjara dari Universitas Kristen Petra. Bagi Poedjiati, ini saatnya warga Tionghoa "tidak lagi merasa sebagai kelompok minoritas yang play victim".

"Berani do something. Berani berbicara. Tidak hanya menanti pertolongan. Membangun bangsa perlu tindakan, gak cuma jadi penonton. Kita sebagai orang keturunan, jangan lihat-lihat dulu, berani lakukan sesuatu untuk membangun bangsa," tegasnya yang disambut tepuk tangan peserta diskusi.

Khanis pun satu suara. "Bagaimana caranya agar politik ketakutan jangan diturunkan kepada anak-anak kita. Kalau ada yang mau masuk organisasi, biarkan. Suara itu penting. Hadir itu penting. Ada dalam pembuatan keputusan itu penting," katanya.

Sekarang, apakah kita bersedia mengesampingkan prasangka, primordialisme, dan memberikan kesempatan kepada mereka?

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya