Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang Menggunung

Satu orang biasa buang makanan 184 kg per tahun

Jakarta, IDN Times - Seorang ibu rumah tangga bernama Asnita mengaku hampir setiap hari ia membuat makanan untuk anaknya. Dia sering memasak banyak makanan, padahal di rumah hanya ada dia dan satu anaknya.

"Kalau masak dikit tahunya kurang, ya capek masak lagi," ucap warga Bogor, Jawa Barat, itu kepada IDN Times, baru-baru ini.

Tapi terkadang, anak Asnita tidak makan di rumah sebelum pergi bekerja. Meski begitu, dia tetap rutin membuat makanan untuk sang anak. Alhasil, terkadang makanan yang ia masak tidak sampai habis.

"Ya kalau gak habis, dibuang. Kan basi," ujar dia.

Bila tidak memasak, Asnita biasa membeli lauk pauk saja, dan cukup banyak membeli lauk pauknya.

"Dari pada bolak-balik, mending belinya agak banyak. Kalau beli sayur di warteg atau nasi padang tahunya kurang, masa balik lagi beli," ujar dia.

Seorang warga lainnya, Victor yang belum lama menikah juga bercerita pada saat pesta resepsi pernikahannya keluarga memasak banyak makanan untuk tamu undangan. Tapi dari acara pernikahannya itu, makanan yang dibuatnya tidak habis.

"Iya gak habis makanan. Makanan yang gak habis itu dibuang ke tempat sampah. (Makanan sisa itu) dikumpulin di plastik sampah hitam gede, terus nanti diangkut sama petugas sampah," ucap dia.

Victor kini tinggal bersama istri dan mertuanya di Jakarta Timur. Sama seperti Asnita, ia terkadang membuang makanan yang dimasak sang istri atau mertuanya lantaran tidak habis dimakan.

"Gak habis. Ya kadang sudah masak buat pagi sama malam, tahunya pas pulang kerja pengin makan ini, beli dah. Ya makanan di rumah buat malam jadi sisa karena gak kemakan. (Iya) dibuang kan basi," ujar Victor.

Baca Juga: 5 Cara Mengurangi Sampah di Masa Pandemik

1. Satu orang Indonesia menghasilkan sekitar 184 kilogram sampah per tahun

Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang MenggunungIlustrasi buang sampah di sembarang tempat (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Ada satu masalah yang dihadapi Indonesia dan banyak negara lain, yakni sampah. Di negara berkembang, sampah memang menjadi bagian dari masalah yang belum terpecahkan solusinya.

Ada banyak jenis sampah. Namun sisa makanan, merupakan penyumbang terbesar dari jenis sampah di Indonesia. Ternyata, satu orang Indonesia bisa menghasilkan sekitar 184 kilogram (kg) sampah per tahunnya.

"Perkembangan kalau dari 2000 hingga 2019 itu memang trennya naik. Kita membuang-buang makanan dari 115 kg per orang per tahun, naik menjadi sekitar 184 kg orang per tahun. Ini tahun 2019, naik angkanya," ujar Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam pada acara bertema "Indonesia Mubazir Pangan, Kok Bisa?" Selasa, 12 Oktober 2021.

Medrilzam menyebut sampah 184 kg yang dihasilkan per orang tiap tahunnya adalah jumlah yang tidak sedikit. Menurut dia, sampah 184 kg itu sebagian besar dihasilkan food waste yaitu makanan siap konsumsi, yakni sekitar 55-60 persen.

Berdasarkan kajian, lanjut Medrilzam, masyarakat Indonesia sangat besar menghasilkan limbah makanan. Dia mengungkapkan, kerugian ekonomi Indonesia akibat mubazir pangan ini mencapai 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

"Kalau dihitung-hitung dari sisi ekonomi itu bisa sampai 4-5 persen PDB kita, kalau dihitung-hitung secara besar," kata dia.

2. Kota penghasil sampah terbanyak pada 2020 adalah Jakarta Timur

Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang MenggunungIlustrasi Sampah (Dok. KPNas)

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya menyebut timbunan sampah di Indonesia pada 2020 sekitar 67,8 juta ton. Dilihat di laman sipsn.menlhk.go.id, penyumbang terbesar sampah Indonesia berdasarkan jenisnya adalah sampah sisa makanan.

Sementara berdasarkan jenisnya, sampah terbesar berasal dari rumah tangga. Berikut rinciannya:

Komposisi sampah berdasarkan jenisnya

Sisa makanan: 40,3 persen
Kayu/ranting/daun: 14,1 persen
Kertas/karton: 11,9 persen
Plastik: 17,1 persen
Karet/kulit: 1,9 persen
Kain: 2,6 persen
Kaca: 2,2 persen
Logam: 3,2 persen
Lainnya: 6,7 persen.

Komposisi sampah berdasarkan sumbernya

Rumah tangga: 38,3 persen
Perkantoran: 3,1 persen
Pasar tradisional: 17,2 persen
Pusat perniagaan: 7,3 persen
Fasilitas publik: 5 persen
Kawasan: 15,4 persen
Lainnya: 13,6 persen.

Merujuk data tersebut, timbunan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga pada 2020 sebesar 33.186.583.20 ton per tahun.

Pengurangan sampah yang sudah berhasil dilakukan 13,54 persen atau 4.494.822,22 ton per tahun. Penanganan sampah sebesar 45,92 persen atau 15.240.553,06 ton per tahun.

Dengan demikian, total sampah terkelola 59,47 persen atau 19.735.375,30 ton per tahun. Sedangkan yang tidak terkelola 40,53 persen atau 13.451.207,90 ton per tahun.

Sementara, berdasarkan data yang sama, lima provinsi dengan timbulan sampah tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Utara, dan Banten. Rinciannya sebagai berikut:

Kabupaten/kota tertinggi dengan timbulan sampah

Jakarta Timur (DKI Jakarta)
Timbulan sampah harian: 2.273,25 ton
Timbulan sampah tahunan: 829.738,03 ton
Kota Surabaya (Jawa Timur)
Timbulan sampah harian: 2.222,62 ton
Timbulan sampah tahunan: 811.255,10 ton
Kabupaten Bekasi (Jawa Barat)
Timbulan sampah harian: 1.900,24 ton
Timbulan sampah tahunan: 693.586,51 ton
Kota Medan (Sumatra Utara)
Timbulan sampah harian: 1.704,68 ton
Timbulan sampah tahunan: 622.206,89 ton
Kota Tangerang (Banten)
Timbulan sampah harian: 1.623,02 ton
Timbulan sampah tahunan: 592.403,32 ton.

Baca Juga: DamoGo, Aplikasi Bantu Kurangi Limbah Pangan Indonesia

3. Penyebab sampah makanan banyak menjadi penyumbang sampah terbesar di Indonesia

Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang MenggunungIIustrasi sampah (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Team Leader Food Loss & Waste Study Waste4Change, Annisa Ratna Putri, menjelaskan mindset orang masih banyak yang berpikir 'lebih banyak lebih baik daripada kurang'. Alhasil, ketika makanan yang disajikan kelebihan atau tidak habis termakan, akan dibuang dan menjadi sampah.

Annisa mennilai pemikiran seperti kasus Asnita, Victor, dan banyak orang lainnya ini, tidak tepat. Contoh lainnya, kata dia, banyak orang yang memesan makanan di tempat makan namun tidak habis dimakan. Hal ini berujung sisa makanan itu akan menjadi limbah karena terbuang.

"Nah pola pikir gitu harus kita mulai evaluasi," ucapnya.

Hal lain yang menyebabkan munculnya sampah makanan adalah kurangnya good handling practices dalam mengelola pangan. Mulai dari kurang baiknya mengelola pangan menjadi makanan, banyaknya sisa bahan makanan yang tidak terpakai, hingga kurangnya pendistribusian.

"Kedua, ruang penyimpanannya. Kalau di rumah tangga mungkin kurang memahami bagaimana harusnya menyimpan makanan. Bahwa gak semua makanan tahan lama kalau di kulkas. Mindset kadang taruh kulkas aja, padahal ada makanan kalau di kulkas lebih cepat berjamur (alhasil dibuang dan menjadi limbah makanan)," ujar Annisa.

Selain itu, Annisa mengatakan, banyak orang yang terlalu memilih pangan atau makanan dari bentuknya. Padahal, kandungan nutrisi di pangan atau makanan tersebut sama.

"Akhirnya gak kejual, itu berpengaruh akhirnya terbuang karena konsumen gak mau beli," ujar dia.

Senada dengan Annisa, pengamat lingkungan hidup, Sonny Keraf mengatakan, masalah terbesar sampah makanan berasal dari warga sendiri. Contohnya seperti kasus Asnita, yakni membuat banyak makanan padahal tidak sanggup menghabiskan.

"Saya sendiri tidak kaget bahwa Indonesia itu bisa dikategorikan sebagai negara penghasil sampah pangan terbesar. Kenapa? Karena sudah lama saya amati pola konsumsi masyarakat Indonesia itu sangat boros terhadap makanan," kata dia.

"Jadi ini terkait dengan budaya, terkait pola makan. Yaitu orang Indonesia ambil makanan sebanyak-banyaknya tetapi makannya sebagian saja. Selebihnya dibiarkan saja menjadi sampah," sambung Sonny.

Permasalahan lain munculnya limbah makanan, menurut dia, karena industri kuliner (pusat kuliner, warung, restoran, dll). Sonny menjelaskan banyak industri kuliner yang menyediakan porsi makanan berlebih untuk konsumen. Padahal, tidak semua konsumen sanggup menghabiskan porsi yang dihidangkan itu.

"Khawatirnya industri ini, jangan sampai cenderung, supaya untung dia sediakan sebanyak-banyaknya dengan harga yang lebih mahal, mau habis atau tidak bukan urusan dia, yang penting kan makanan saya laku," ujarnya.

Hal lain yang menyebabkan banyaknya sampah makanan karena makanan itu didatangkan dari luar daerah atau impor. Karena didatangkan dari tempat jauh, sebagian makanan atau pangan akan rusak, busuk, atau menurun kualitasnya. Sebagian makanan terebut juga sering kali dibuang.

"Lalu produsen-produsen makanan olahan, itu sudah harus mengurangi sampah-sampah non-pangan ini, khususnya dengan beralih ke bahan-bahan yang nabati dari bio, (seperti) bioplastik dan seterusnya untuk tidak menimbulkan pencemaran yang berisiko ke lingkungan," ujar Sonny.

4. Dampak sampah makanan lebih merusak ketimbang karbon dioksida

Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang Menggunungsampah di TPA Cipeucang Tangsel (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Jika kita menyisakan makanan, kata Sonny, secara otomatis akan menimbulkan limbah dan sampah makanan. Perlu disadari bahwa sampah makanan tersebut akan dibawa ke tempat pembuangan akhir dan di sana akan terurai.

Banyaknya sampah makanan yang menumpuk, kata dia, juga mengakibatkan kebutuhan lahan untuk membuang sampah menjadi bertambah. Hal ini membuat lahan tanah menjadi sia-sia. Apalagi jika sampai menghilangkan fungsi lahan hijau ataupun lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih produktif.

Sampah makanan yang terurai itu akan melepaskan gas metana atau akan meningkatkan global warming. Gas metana dari sisa makanan itu, menurut Food Sustainability, akan memiliki daya yang jauh lebih merusak daripada karbon dioksida. Hal itu disebabkan metana 21 kali lebih merusak.

Menurut Sonny, sekitar 11 persen dari semua emisi gas rumah kaca yang berasal dari sistem pangan dapat dikurangi jika kita berhenti membuang-buang makanan. Di Amerika Serikat, makanan yang hilang (food loss) atau terbuang (food waste) menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan 37 juta mobil.

Sonny menjelaskan sampah makanan tentunya akan menjadi penyebab pencemaran lingkungan. Khusus untuk produsen makanan, kata dia, sampah yang dihasilkan tak hanya makanan. Tapi juga sampah non pangan seperti plastik, besi, atau bahan lainnya yang digunakan untuk mengemas makanan.

"Dan termasuk menyebabkan pemborosan energi karena mengantar makanan dari jauh," ucap Sonny.

5. Begini cara mengurangi sampah makanan

Kolotnya Warga Indonesia di Balik Sampah Makanan yang MenggunungIlustrasi sampah (Dok.IDN Times/Istimewa)

Menurut Sonny, cara untuk mengurangi sampah makanan sebenarnya mudah. Salah satu yang paling utama adalah mengubah pemikiran masyarakat Indonesia yang suka membuat atau mengambil banyak makanan tapi tidak dihabiskan.

"Didik masyarakat, ubah pola konsumsi cara makan orang Indonesia yaitu sederhana sekali, ambil secukupnya, boleh tambah sebanyak-banyaknya asalkan habis dimakan. Kalau orang Indonesia kan, termasuk mahasiswa di restoran, warung, dan sebagainya, mereka ambil sebanyak-banyaknya tapi sadar kenyang atau tidak cocok dengan seleranya lalu dibuang percuma. Itu sumber utama kenapa sampah sedemikian banyak," kata dia.

Untuk pusat kuliner, Sonny menyarankan, agar pelaku usaha itu menyediakan porsi secukupnya untuk konsumen agar makanan tersebut habis dimakan. Sementara untuk makanan atau pangan yang didatangkan dari daerah atau impor, bisa diatasi dengan memberdayakan produk lokal di daerah masing-masing.

"Solusinya pangan lokal, pangan yang tersedia sedekat mungkin dengan konsumen. Termasuk sedekat mungkin dengan industri kuliner tadi. Jangan diimpor, jangan dibawa dari tempat yang jauh. Kalau dibawa dari tempat jauh mudah busuk, kadaluarsa, dan menyebabkan pemborosan energi," ujar Sonny.

Bagaimana dengan makanan sisa dari sebuah acara? Sonny menyarankan masyarakat bisa memberikan makanan sisa itu ke tetangga sekitar atau diberikan volunteer yang bergerak di bidang food bank. Pemberian makanan ke food bank itu bila memungkinkan harus diberikan secepatnya agar tidak basi.

Makanan yang diberikan ke food bank ini, kata Sonny, nantinya akan diberikan ke orang-orang yang lebih membutuhkan.

"Bisa saja, katakan makanan sudah busuk, sudah tidak bisa diselamatkan, nah itu bisa diproses untuk menjadi pakan ikan atau pakan ternak. Atau bisa juga menjadi pupuk," tutur dia.

Untuk industri makanan atau pangan, selain menghasilkan limbah makanan, juga sampah non-pangan seperti plastik, besi, dan bahan lainnya yang digunakan untuk mengemas produksinya. Untuk mengurangi sampah dari produsen, kata Sonny, industri bisa beralih menggunakan bahan kemasan dari bioplastik atau bahan lain yang ramah lingkungan.

"Ada yang namanya extended producer responsibility, (yaitu) tanggung jawab produsen lah terhadap sampah ini. Wadah makanan dari plastik, itu bukan tanggung jawab konsumen, tapi produsen," kata Sonny.

Baca Juga: KTT G20, Jokowi Ajak Semua Negara Perkuat Arsitektur Kesehatan Global

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya