Mengenal UU ITE dan 9 Pasal Karetnya, Ingin Direvisi Lagi oleh Jokowi

Di periode keduanya, Jokowi ingin UU ITE direvisi lagi

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pertama kali disahkan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam praktiknya, UU ini mengalami polemik karena dianggap tidak memiliki keadilan hukum.

UU ITE ini lalu direvisi pada 2016. Mengutip situs kominfo.go.id, naskah UU tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah ditandatangani Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada tanggal 25 November 2016 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Sebelumnya, naskah UU tersebut telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016.

Awalnya, UU ITE dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menjadi payung hukum untuk kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (e-commerce). Namun seiring perkembangan penggunaan media sosial, sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Penyebabnya, sejumlah pasal cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran UU ITE.

"Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan," ucap Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, usai disetujuinya revisi UU ITE untuk ditetapkan menjadi UU melalui Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/10/2016).

Baca Juga: Mahfud MD Kirim Surat Minta Yasonna Prioritaskan Revisi UU ITE

1. Masih berpolemik, Jokowi ingin UU ITE kembali direvisi

Mengenal UU ITE dan 9 Pasal Karetnya, Ingin Direvisi Lagi oleh Jokowi(Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Meski sudah direvisi pada 2016, UU ini tetap berpolemik hingga Jokowi terpilih lagi menjadi presiden untuk kedua kalinya pada 2019. Di periode keduanya, tepatnya pada 2021, Jokowi kembali berbicara mengenai UU ITE.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini merasa masyarakat saat ini saling melapor satu sama lain, dengan menggunakan UU ITE. Jokowi juga merasa proses hukum yang berlangsung tak memberikan rasa adil.

Oleh karena itu, dia menyebut apabila UU ITE tak bisa memberi rasa adil, maka ia akan meminta DPR untuk merevisi UU tersebut.

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini. Revisi," ucap Jokowi dalam acara Rapat Pimpinan TNI-Polri, yang ditayangkan di channel YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/2/2021).

Beberapa bulan bergulir, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Kapolri, dan Jaksa Agung, menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE.

Pedoman ini diharapkan agar penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir, dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat, sambil menunggu rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021.

Petunjuk teknis yang sudah ada seperti Surat Edaran Kapolri atau Pedoman Jaksa Agung bisa terus diberlakukan.

"Ini dibuat setelah mendengar dari para pejabat terkait, dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kominfo, masyarakat, LSM, kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya, semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, usai menyaksikan penandatanganan di kantor Kemenko Polhukam RI, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/6/2021).

Pada prinsipnya, ujar Mahfud, adalah merespons suara masyarakat bahwa UU ITE kerap memakan korban, karena dinilai mengandung pasal karet dan menimbulkan kadang kala kriminalisasi, termasuk diskriminasi. Oleh sebab itu, pihaknya mengeluarkan dua keputusan yaitu revisi terbatas dan pembuatan pedoman implementasi.

"Di tengah suasana pandemik yang meningkat, kami tetap melaksanakan tugas kenegaraan dan tata pemerintahan, tadi kami berempat, saya Menko Polhukam, Menkominfo, kemudian Jaksa Agung, kemudian Kapolri, menindaklanjuti keputusan rapat kabinet internal 8 Juni 2021 kemarin, yang memutuskan tentang: satu, rencana revisi terbatas UU ITE, kemudian yang kedua tentang pedoman implementasi beberapa pasal UU ITE, Pasal 27, 28, 29, 36," ujar Mahfud.

Mahfud juga menegaskan, suara atau aspirasi masyarakat masih bisa diteruskan lagi ketika nanti dibahas di DPR atau sedang diolah di Kementerian Hukum dan HAM.

Revisi UU ITE pun masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Menteri Hukum dan HAH (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah mengusulkan lima rancangan undang-undang (RUU) masuk Prolegnas Prioritas 2021. Namun, yang disetujui DPR dan DPD hanya empat RUU.

"Maka pada kesempatan ini bila dimungkinkan pemerintah mendorong lima rencana undang-undang untuk dimasukkan daftar rencana undang-undang prolegnas prioritas 2001," ujar Yasonna saat rapat dengar pendapat dengan Baleg DPR dan DPD, Rabu (15/9/2021).

Yasonna memaparkan kelima RUU yang diusulkan pemerintah masuk Prolegnas Prioritas 2021, yakni sebagai berikut:

1. RUU Perampasan Aset
2. Carry over RUU KUHP
3. Carry over RUU Pemasyarakatan
4. RUU ITE
5. RUU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dalam kesempatan itu, Yasonna menjelaskan, Revisi UU ITE diperlukan karena ada pasal-pasal yang multitafsir. Revisi juga diperlukan untuk menambah ketentuan pidana bagi seseorang atau kelompok yang membuat dan menyebarkan hoaks yang menimbulkan keonaran.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan memperjelaskan kembali perbuatan-perbuatan yang dilarang menggunakan sarana elektronik, dengan menyesuaikan kembali ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP," ujar Menkumham.

Baca Juga: Revisi UU ITE, RUU KUHP, dan 2 RUU Masuk Prolegnas Prioritas 2021

2. Sembilan pasal di UU ITE dianggap bermasalah

Mengenal UU ITE dan 9 Pasal Karetnya, Ingin Direvisi Lagi oleh JokowiIDN Times/Sukma Shakti

UU ITE disebut bermasalah karena ada pasal-pasal yang dianggap karet. Mengutip cuitan Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto, di akun Twitter-nya @DamarJuniarto, ada sembilan pasal yang bermasalah di UU ITE.

"Persoalan utama Pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum. Selain itu, ada juga pasal-pasal lain yang rawan disalahgunakan dan perlu diperbaiki rumusannya," cuit Damar di akun Twitter-nya, dikutip Selasa (19/10/2021).

Kesembilan pasal itu adalah Pasal 26 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a, Pasal 40 ayat 2b, Pasal 45 ayat 3.

Damar menjelaskan, revisi UU ITE harus dilakukan. Sebab, UU ITE ini memiliki tiga persoalan.

Persoalan pertama adalah tafsir hukum. UU ITE dianggap tidak memiliki rumusan pasal yang ketat, tidak tepat, serta menimbulkan ketidakpastian hukum atau multitafsir.

Kedua, penerapan, yakni ketidakpahaman aparat penegak hukum di lapangan dalam menerapkan UU ITE.

"(Lalu) dampak sosial. (UU ITE) menimbulkan konsekuensi tidak diinginkan seperti ajang balas dendam, barter kasus, alat shock therapy, chilling effect, dan persekusi ekspresi," ujar Damar.

Baca Juga: Revisi Terbatas, SKB Pedoman Implementasi UU ITE Diteken

3. Isi kesembilan pasal UU ITE yang dianggap bermasalah

Mengenal UU ITE dan 9 Pasal Karetnya, Ingin Direvisi Lagi oleh JokowiIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Kesembilan pasal yang dianggap karet dalam UU ITE, berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26 ayat 3

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan

Pasal 27 ayat 1

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan

Pasal 27 ayat 3

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 28 ayat 2

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi

Pasal 36

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain

Pasal 40 ayat 2a

Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 40 ayat 2b

Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum

Pasal 45 ayat 3

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya