Kenangan Tentang Daniel Dhakidae: Sombong, Namun Dikagumi

Daniel tetap kritis hingga maut menjemputnya

Jakarta, IDN Times - Kepulangan mantan Kepala Litbang Kompas dan eks Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma, Daniel Dhakidae, masih menyisakan duka, tak terkecuali bagi Evi Mariani, salah satu jurnalis Indonesia.

Alhasil, untuk mengenang sosok Daniel, Evi membuat sebuah obituari khusus di Medium. Kira-kira, isi obituari itu berkisah tentang perkenalan antara dirinya dengan Daniel, plus bagaimana akhirnya buah pemikiran Daniel memengaruhi kehidupannya sebagai seorang jurnalis.

1. Daniel adalah sosok yang sombong, namun dikagumi

Kenangan Tentang Daniel Dhakidae: Sombong, Namun Dikagumiinstagram.com/cornelluniversity

Baca Juga: Kekerasan Jurnalis Nurhadi, Polda Jatim Periksa Redaksi Tempo

Dalam obituarinya, Evi mengungkapkan almarhum Daniel adalah orang yang sombong. Evi bercerita, almarhum pernah bilang kepadanya bahwa karena kemampuan berbahasa Inggris yang bagus, dia mudah diterima di Cornell University, Amerika Serikat, pada 1984.

Namun, entah kenapa, dia begitu mengagumi dan menghormati orang sombong tersebut. Setelah mengenalnya lebih dalam, dia sadar almarhum benar-benar sosok yang bermartabat. Apalagi, Evi melihat beliau tidak pernah merendahkan orang lain.

"Bang Daniel, sepanjang saya mengenalnya, tidak pernah merendahkan orang lain. Baik pujian maupun kritikan yang dia berikan untuk orang lain selalu pas," begitu tulisannya.

2. Awal berkelindannya Daniel dengan Kompas

Kenangan Tentang Daniel Dhakidae: Sombong, Namun Dikagumitekno.kompas.com

Di dalam obituarinya itu, Evi berkisah mengenai awal berkelindannya kehidupan Daniel dengan Kompas. Pada 1991, Daniel sempat membuat sebuah disertasi berjudul: The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry.

Lewat disertasi itu, Daniel menggambarkan dengan analisis yang bernas, bagaimana Orde Baru membunuh beberapa surat kabar yang politis dan memunculkan keadaan di mana Kompas, naik jadi koran terbesar di Indonesia saat itu, bahkan hingga kini.

Sejatinya, itu adalah kritik tajam untuk Kompas. Namun, apa yang dilakukan Kompas kepada Daniel usai menulis disertasi itu? Evi menjelaskannya dengan apik.

"Disertasinya merupakan kritik tajam bagi Kompas, tetapi Kompas malah merekrut Bang Daniel menjadi kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang Kompas). Waktu saya mahasiswa di tahun 1990an, kami menganggap Litbang Kompas, di bawah kepemimpinan Bang Daniel, sebagai satu institusi yang sangat keren." tulis Evi.

3. Daniel adalah mentor

Kenangan Tentang Daniel Dhakidae: Sombong, Namun Dikagumipexels.com/@nappy

Bagi Evi, sosok Daniel adalah mentor kehidupan. Ketika menjalani kehidupan sebagai jurnalis, yang tentunya dihiasi oleh naik dan turun, ia selalu menceritakannya kepada Daniel. Secara tidak langsung, Daniel mengajari Evi untuk menjadi sosok yang bermartabat dalam hidup.

"Setiap mengalami naik turun dalam hidup, saya mengabari beliau. Ketika saya memutuskan mundur dari The Jakarta Post dan membuat inisiatif jurnalisme sendiri, saya pun bercerita," kenang Evi.

"Beliau selalu mendukung saya, termasuk memberi pekerjaan kecil, menerjemahkan satu artikel untuk Prisma, karena beliau khawatir saya kekurangan uang setelah tidak bergaji tetap lagi," lanjutnya.

4. Konsistensi Daniel dalam bersikap kritis terhadap kekuasaan

Kenangan Tentang Daniel Dhakidae: Sombong, Namun DikagumiWarga melintas di samping mural bertema kritik sosial di Jalan Cikaret, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pada 3 Oktober 2019. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Salah satu hal yang juga membuat Evi kagum kepada sosok Daniel adalah bagaimana dirinya mampu tetap konsisten bersikap kritis kepada kekuasaan, ketika cendekiawan-cendekiawan lain mulai tergoyahkan oleh kekuasaan dan modal.

Berkat sikapnya itu, plus pergerakannya bersama Jurnal Prisma, dia berhasil menumbuhkan kepercayaan rakyat kepada cendekiawan di Indonesia, bahwa terus bersikap kritis terhadap kekuasaan adalah hal terhormat yang bisa dilakukan seseorang.

"Bang Daniel adalah seorang mentor, senior yang saya hormati, dengan integritas utuh, sampai akhir. Saya ingin seperti beliau, meninggalkan dunia ini dengan tanpa penyesalan setitik pun tentang kepada siapa saya berpihak sepanjang hidup saya," tutup Evi dalam obituarinya.

Baca Juga: Biografi Jakob Oetama, Anak Guru SD yang Jadi Pendiri Harian Kompas

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya