Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MK

Mereka berharap publik bisa punya banyak pilihan capres

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 12 akademisi dan kaum profesional menggugat UU nomor 7 tahun 2017 mengenai pemilu, khususnya mengenai syarat batas pencalonan presiden pada pemilu 2019 ke Mahkamah Agung. Ke-12 figur yang dikenal publik itu antara lain mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, mantan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar N. Gumay, sutradara film, Angga Dwi Sasongko hingga Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari. 

Mereka mengajukan gugatan pada Rabu (13/6) lalu dan menunjuk mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana sebagai kuasa hukum melalui Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY). Berdasarkan keterangan tertulis ada beberapa pakar yang menjadi ahli untuk mendukung permohonan tersebut yakni Dr. Refly Harun, Dr. Zainal Mochtar Arifin dan Dr. Bivitri Susanti. 

Kepada IDN Times, Denny mengatakan memang gak bisa memastikan gugatan kali ini akan diterima oleh MK. Apalagi gugatan serupa sudah pernah ditolak oleh Hakim MK pada 11 Januari lalu. 

"Memang ini bukan perjuangan yang mudah. Orang selalu mengatakan kan sebelumnya sudah diuji, kok diuji lagi? Itu perlu dijelaskan bahwa menurut peraturan MK nomor 6 tahun 2005 pasal ayat yang sudah diuji dapat diuji kembali sepanjang memiliki argumentasi atau alasan yang berbeda," ujar Denny melalui telepon pada Sabtu (16/6). 

Lalu, apa alasan yang diajukan oleh tim Denny ke MK nanti? 

1. Yang diatur seharusnya tata cara pengajuan calon presiden dan bukan syaratnya

Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MKIDN Times/Sukma Shakti

Menurut Denny, yang ia dan timnya tekankan nanti di gugatannya adalah seharusnya di dalam UU Pemilu bukan soal syarat untuk mengajukan calon Presiden, melainkan tata cara bagi partai politik untuk bisa mengajukan calonnya. Dalam dokumen slide yang dibagikan kepada IDN Times, "tata cara" memiliki perbedaan makna dengan "syarat".

Merujuk kepada makna yang ada di KBBI, "cara" adalah jalan melakukan sesuatu. Sementara, "syarat" adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk menyampaikan suatu maksud.

Sementara, untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres oleh parpol maka itu diatur di dalam pasal 6A bukan pasal 6 UUD 1945. Pemerintah menulis pasal 6, karena di sana tertulis "syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang". UU yang dirujuk di sini adalah UU nomor 7 tahun 2017, khususnya di pasal 222. Di sana tertulis "pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."

Sedangkan, pihak Denny berargumen yang seharusnya dijadikan landasan adalah pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai "tata cara" ke dalam UU. Bukan justru fokus ke "syarat" untuk bisa mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.

2. Dengan aturan baru justru memunculkan peluang adanya capres tunggal 

Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MKlcdc.law.ugm.ac.id

Denny menjelaskan gugatan terhadap ambang batas untuk bisa mengusulkan calon presiden atau calon wakil presiden bukan kali pertama ini digugat. Sebenarnya, sudah ada 8 kali gugatan serupa dengan UU yang lama. Sedangkan di UU yang baru yakni UU nomor 7 tahun 2017 sudah dua kali.

"Artinya, sudah diuji sebanyak 10 kali," kata Denny.

Perkara mengapa kemudian diuji kembali padahal awal tahun ini sudah ditolak oleh MK, menurut Denny gak ada masalah, karena menurut peraturan MK nomor 6 tahun 2005 ayat pertama, suatu pasal yang sudah diuji dapat diuji kembali.

"Yang penting punya argumentasi atau alasan-alasan yang berbeda," tutur dia.

Selain itu, Denny dan koleganya menilai kalau pasal ini gak segera direvisi maka membuka peluang hadirnya calon presiden tunggal.

"Kalau capres tunggal kan artinya bukan pemilihan presiden lagi namanya," ujarnya lagi.

3. Masyarakat menginginkan adanya banyak calon Presiden yang diusulkan

Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MK

Denny kemudian menganalogikan pemilihan Presiden 2019 seperti Piala Dunia 2018. Biasanya penonton menginginkan pertandingan yang seru, adil dan tercipta banyak gol indah.

Bagi dia dan koleganya, yang mereka gugat bukan soal sosok calon presidennya, tetapi pertandingan atau pilpres yang adil dan dapat dinikmati oleh masyarakat.

"Sementara, sekarang seolah-olah pilihan kita hanya ada satu atau dua calon saja. Padahal, makin banyak calon presiden yang sesuai dengan UUD itu jauh lebih bagus. Ingat, salah satu prinsip pemilu adalah bebas memilih, makanya tagar yang kami gunakan adalah rakyat mau banyak pilihan," kata dia lagi.

4. Hasil pemilihan legislatif tahun 2014 akan digunakan selama 10 tahun 

Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MKIDN Times/Sukma Shakti

Poin penting lainnya menurut Denny, mengapa ia dan koleganya menggugat kembali UU Pemilu, karena merujuk di aturan pasal 222 di mana parpol yang ingin mengusulkan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen suara di DPR atau 25 persen suara sah nasional, maka hasil pileg yang akan digunakan pasti pileg 2014. Mengapa, karena Pilpres 2019 dilakukan serentak dengan pileg di tahun yang sama.

"Berbeda dengan pemilu 2014, 2009, dan 2004. Karena di pileg tahun itu masih ada jeda dengan pilpres. Gak seperti tahun depan di mana pileg dan pilpres dilakukan secara serentak. Di situ yang gak logisnya," tutur Denny.

Menurut Denny, dinamika politik dinamis. Sementara, menurut sebagian orang, ibarat tiket nonton, justru tiket nonton yang sudah digunakan pada tahun 2014, nantinya akan menjadi penentu nasib bangsa ini hingga tahun 2024.

"Hasil pileg 2014 menjadi legitimasi presiden selama 10 tahun, bayangkan. Kan itu gak ada di belahan dunia mana pun sistem seperti itu. Kami juga menilai syarat ambang batas ini semakin gak logis. Ini juga yang menjadi salah satu argumen kami, karena gak ada yang menerapkan hal semacam itu kecuali di Indonesia," kata dia.

5. KPU desak MK segera putuskan gugatan presidential treshold

Akademisi dan Profesional Gugat Presidential Treshold ke MKwww.mahkamahkonstitusi.go.id

Di tempat yang berbeda, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memproses dan memutuskan gugatan terkait Presidential Treshold atau ambang batas pencalonan presiden. Putusan itu mendesak segera dilakukan mengingat hasilnya dapat mempengaruhi aturan yang sudah ada saat ini. Sementara, sesuai jadwal, pencalonan capres dan cawapres akan digelar pada 4-10 Agustus.

"Baiknya begitu, idealnya begitu (agar segera diproses dan diputuskan gugatannya)," kata Ilham yang ditemui media pada Selasa kemarin.

Dengan adanya putusan, maka KPU dapat segera menyesuaikan dengan norma yang berlaku.

"MK harus melihat itu. Kalau bisa sih keputusannya segera secepatnya, biar kami bisa menyesuaikan dengan keputusan yang lain," katanya lagi.

Topik:

Berita Terkini Lainnya