Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura 

Pemerintah kini bisa jemput koruptor yang kabur ke Singapura

Jakarta, IDN Times - Setelah dinegosiasikan selama 24 tahun, Indonesia akhirnya meneken perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Singapura. Kesepakatan itu ditandatangani di Pulau Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa, (25/1/2022).

Ini merupakan tonggak baru dalam sejarah lantaran kesepakatan ekstradisi yang diupayakan sejak 1998 lalu, sangat sulit terjalin. 

"Setelah melalui proses yang sangat panjang, akhirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat dilaksanakan," ungkap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly dalam keterangan tertulis pada hari ini. 

Ia mengatakan di dalam kesepakatan itu, dua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara yang diminta dan dicari oleh negara peminta. Baik itu untuk proses penuntutan atau persidangan atau untuk pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi. 

"Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana Indonesia dan Singapura," kata pria yang juga politikus dari PDI Perjuangan tersebut. 

Salah satu pelaku tindak pidana yang kerap kabur ke Negeri Singa lantaran ketiadaan perjanjian ekstradisi adalah koruptor. Sejumlah pelaku korupsi kelas kakap diketahui berada di Singapura, salah satunya adalah pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim. 

Lalu, apa efek yang dirasakan usai Indonesia dan Singapura resmi memiliki perjanjian ekstradisi?

Baca Juga: [KALEIDOSKOP 2021] Merampas Balik Aset Negara dari Pengemplang BLBI

1. Dengan perjanjian ekstradisi, gerak pelaku tindak kejahatan di Singapura terbatas

Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly meneken perjanjian ekstradisi dengan Menteri Hukum Singapura (Dokumentasi Kementerian Hukum dan HAM)

Penandatanganan perjanjian ekstradisi itu disaksikan secara langsung oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Menurut Yasonna, dengan adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura, maka bakal mempersempit ruang gerak pelaku tindak di Indonesia bila ingin melarikan diri ke Negeri Singa.

Apalagi Indonesia sudah memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tetangga lainnya.  "Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Tiongkok dan Hong Kong," kata Yasonna. 

Sebelumnya, Indonesia dan Singapura juga telah terikat dalam perjanjian bantuan timbal balik masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters/MLA). MLA tersebut berlaku antar negara anggota ASEAN sejak 2008 lalu. 

"Apabila kedua negara dapat dengan segera meratifikasi perjanjian ekstradisi yang ditandatangani, maka lembaga penegak hukum kedua negara dapat memanfaatkan perjanjian tersebut dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi dan terorisme," tutur dia. 

Baca Juga: Sudah Tahu Ada di Singapura, Kenapa Sjamsul Nursalim Hanya Masuk DPO?

2. Indonesia juga sepakat ambil alih ruang kendali udara Natuna dari Singapura

Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura (Kapal nelayan di Selat Lampa, Natuna) ANTARA News/Natisha Andarningtyas

Perjanjian penting lainnya yang diteken pada hari ini antara Singapura dan Indonesia yakni penyesuaian layanan ruang kendali udara (FIR) di Pulau Bintan dan Natuna. Kesepakatan itu diteken oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Indonesia dan Negeri Singa sudah bernegosiasi mengenai pengambil alihan FIR sejak tahun 1990-an.

Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (JAPRI) Gerry Soedjatman mengatakan persoalan FIR hanya menyangkut pengelolaan ruang udara. Menurutnya, jika pengambilalihan FIR telah dilakukan dengan baik dan benar, seharusnya tidak ada dampak signifikan untuk penerbangan di Indonesia.

Menurutnya, yang lebih penting dalam tercapainya keberhasilan negosiasi FIR adalah Defence Cooperation Agreementnya atau DCA. Dia mengatakan DCA ini yang memungkinkan pengalihan FIR ini akhirnya bisa terlaksana.

3. Presiden Jokowi dan PM Lee Hsien Loong bertemu di tengah pandemik COVID-19

Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong ketika bertemu Presiden Joko "Jokowi" Widodo di Jawa Tengah (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)

Presiden Jokowi dan PM Lee bertemu dalam Leader's Retreat atau pertemuan tahunan kedua pemimpin. Pertemuan tersebut sudah diselenggarakan sejak 2016 untuk membahas kerja sama yang menguntungkan kedua negara. 

Ini merupakan kali pertama keduanya bertemu di tahun 2022. Jokowi dan Lee kali terakhir bertemu di Roma, Italia pada Oktober 2021 ketika Indonesia menerima keketuaan G-20.

Baca Juga: Sri Mulyani ke Pengemplang Pajak: Mending Ikut Tax Amnesty Jilid II

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya